Mulai dari entitas pemerintah hingga entitas swasta, banyak yang masih gagap menjaga citra di era digital. Artikel ini membahas ringkas cara menjaganya.
Menjaga citra bukan hal mudah, apalagi sejak era internet dan media sosial semakin menggila di Indonesia. Facebook, Twitter, Instagram, dan kita tidak tahu apalagi media sosial yang akan muncul di masa depan dan populer di benak warganet Indonesia. Lebih rumit lagi, masing-masing media sosial yang ada memiliki ciri khas masing-masing sehingga meski prinsip penanganan sama, eksekusi bisa berbeda.
“Prinsip penanganan sama” yang dimaksud adalah fokus pada pelayanan segmen konsumen terpilih. Berarti entitas apa pun itu, harus fokus melayani segmen konsumen yang sudah mereka pilih dan memberikan dampak paling signifikan kepada keberlangsungan entitas. Memang ada kasus-kasus tertentu seperti entitas pemerintah yang tidak bisa mengklasifikan rakyat sebagai “konsumen” dan memperlakukan mereka seakan pemerintah adalah perusahaan berorientasi laba. Namun, ada kemiripan fokus yang dapat diterapkan.
Kemiripan tersebut adalah memperhatikan mana rakyat yang menjadi konstituen dan mana yang bukan. Sebagai contoh adalah kasus saat Presiden Joko Widodo mengucapkan “Bipang Ambawang” yang dengan segera digoreng di media sosial. Siapakah penggoreng utama “Bipang Ambawang” dan kosakata turunan dengan kata kunci “babi” di media sosial? Berdasarkan analisis piranti-piranti lunak pembaca percakapan media sosial, adalah akun-akun yang sejak dulu memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah. Sedangkan akun-akun pendukung pemerintah cenderung mendiamkan dan bahkan ada yang mendukung.
Dengan kejelasan data dan peta siapa aktor penggoreng isu babi, sebaiknya pihak-pihak yang mewakili pemerintah, baik juru bicara, kementerian, dan lainnya, mendiamkan gorengan di media sosial atau memberikan peryataan formal secukupnya yang sekedar menunjukkan pemerintah tidak diam total dengan isu gorengan babi.
Dalam konteks perusahaan, cara menangani citra di era digital jelas lebih mudah dibandingkan dengan pemerintah. Kuncinya adalah perusahaan wajib memahami segmen konsumen yang dilayani, mulai dari geografi, demografi, psikografi, hingga perilaku. Semua keributan yang berasal dari luar segmen konsumen yang dilayani tidak perlu terlalu ditanggapi.
Warganet Indonesia paling tidak sopan di Asia Tenggara

Hasil riset Microsoft (2021) dalam laporan bertajuk “Digital Civility Index (DCI)” menempatkan warganet Indonesia di peringkat 29 dari 32 negara untuk tingkat kesopanan warganet di Asia Tenggara. Microsoft menyusun laporan tersebut berdasarkan survei terhadap 16.000 responden di 32 negara. Sistem penilaian laporan tersebut berkisar dari skala nol hingga 100. Semakin tinggi nilainya, semakin rendah kesopanan daring di negara tersebut.
Survei membuktikan bahwa kesopanan daring warganet Indonesia menurun di tahun 2020 dibandingkan dengan 2019. Hal tersebut ditunjukkan dengan kenaikan delapan poin dari 67 pada 2019 menjadi 76 pada 2020. Ketidaksopanan terlihat antara lain dari perundungan di internet dan jika diperhatikan berbasis generasi, 54 persen generasi langgas terkena dampak paling parah perundungan internet. Kemudian disusul Generasi Z sebesar 47 persen, Generasi X sebesar 39 persen, dan lansia sebesar 18 persen.
Raihan poin Indonesia secara resmi menempatkan warganet Indonesia dalam posisi buncit kesopanan interaksi daring sebagai perwakilan negara di Asia Tenggara. Sedangkan Singapura kembali menjadi negara percontohan di Asia Tenggara. Negara ini menempati peringkat keempat secara global dan pertama di Asia Tenggara untuk tingkat kesopanan daring.
Sudah dapat diduga bahwa warganet Indonesia segera bereaksi dengan temuan Microsoft. Reaksi yang dilakukan tentu saja semakin mengafirmasi hasil survei Microsoft, yaitu dengan menyambangi berjamaah akun media sosial Microsoft dan menumpuk sebanyak mungkin komentar sampah di sana. Apa yang dilakukan Microsoft sangat cerdas, yaitu tidak menanggapi berlebihan dan cukup dengan mengunci kolom komentar.
Jika kita memperhatikan kelompok warganet Indonesia yang dikategorikan tidak sopan yang menggeruduk Microsoft tersebut dapat dibuat menjadi beberapa subkelompok, antara lain perundung karena iseng, perundung karena benci sejak lama, dan perundung karena latah. Dari ketiga kelompok tersebut, hampir bisa dipastikan mereka semua bukan konsumen utama Microsoft.
Fokus pada konsumen!
Apa yang dilakukan Microsoft dapat menjadi pembelajaran sangat baik bagi perusahaan-perusahaan Indonesia dalam menjaga citra perusahaan di era digital. Sekali lagi, kuncinya adalah fokus pada konsumen dan benar-benar memahami kebutuhan konsumen.
Jadi, usahakan perusahaan memiliki divisi komunikasi yang benar-benar memahami hal tersebut. Jika perusahaan memiliki anggaran khusus untuk penanganan citra di era digital, lakukan sebaik mungkin. Antara lain dengan merekrut talenta-talenta, khususnya dari generasi Y dan generasi Z, yang memahami dinamika obrolan media sosial. Termasuk tentunya memahami hal-hal sangat spesifik seperti Instagram rutin dipakai untuk pamer gambar dan keindahan, Twitter untuk menggergaji lawan bicara dengan kata-kata, dan Facebook untuk menyampaikan pesan-pesan dengan jumlah kata banyak seperti layaknya artikel 400 – 800 kata.
Kemudian jika memungkinkan, perusahaan perlu memberdayakan jasa pihak ketiga yang mampu menjaring, menganalisis, dan kemudian menyarikan hasil obrolan di media sosial. Misal saat perusahaan tiba-tiba diterpa isu negatif, bahkan hitam, di media sosial, perusahaan dapat memberdayakan pihak ketiga untuk menjaring semua obrolan mengenai isu tersebut selama periode waktu tertentu.
Dari hasil tangkapan data selama periode waktu tertentu tersebut, data dapat diklasifikasikan siapa saja akun-akun berpengaruh, apa saja tagar yang dipakai, siapa yang memulai, bagaimana segmen usia, dari kota mana saja jumlah obrolan tertinggi, dan masih banyak lagi. Kemudian setelah dianalisis dan diolah, perusahaan dapat mengetahui respon yang perlu diambil, apakah mendiamkan, merespon secukupnya, atau merespon secara mendalam. Khusus merespon secara mendalam, lakukan jika obrolan medsos melibatkan segmen konsumen secara signifikan.
Bagaimana jika perusahaan mengganti segmen konsumen?
Perubahan profil perusahaan dapat berdampak pada citra perusahan di era digital. Perubahan profil tersebut tidak melulu karena segmen konsumen yang dilayani saat ini sudah tidak memberikan kontribusi laba, tetapi bisa juga karena perusahaan merasa tidak nyaman dengan profil saat ini, perusahaan memahami bahwa lebih baik mengganti profil karena tidak bisa menjadi nomor satu atau nomor dua di segmennya, dan masih banyak lagi.
Dalam konteks demikian, perusahaan dapat mengambil pelajaran dari kasus-kasus selebriti medsos Indonesia yang mengalami perundungan karena memutuskan lepas jilbab. Perundungan tersebut bisa jadi lebih keras kepada selebriti medsos yang sejak awal terbiasa terlihat berhijab, lalu secara tiba-tiba di akun media sosial terlihat tidak berhijab.
Rachel Vennya adalah salah satu contoh kasus. Dia adalah selebriti di Instagram. Saat artikel ini disusun, Instagram Rachel Vennya memiliki 5,7 juta pengikut. Pada Desember 2020, tepat di Hari Ibu, Rachel Vennya mengunggah foto dirinya tanpa hijab di Instagram. Keputusan Rachel Vennya mengunggah foto dirinya tanpa hijab tentu mengagetkan karena selama ini dirinya identik dengan hijab dan dengan sendirinya, memiliki subsegmen konsumen yang mengidolakan dirinya dengan balutan hijab.
Maka dapat diduga, protes dan perundungan segera datang dari subsegmen konsumen yang menginginkan Rachel Vennya tetap berhijab. Namun hal sangat menarik adalah, ada pula subsegmen konsumen yang menyatakan Rachel Vennya terlihat sangat cantik tanpa hijab, sangat mendukung Rachel Vennya lepas hijab, dan subsegmen konsumen lainnya yang mendukung profil baru Rachel Vennya.
Dari contoh kasus Rachel Vennya, ada baiknya perusahaan mengambil semacam langkah terukur jika ingin mengganti profil yang berdampak pada penggantian sebagian atau seluruh segmen konsumen. Terapkan juga skenario terburuk dan pastikan perusahaan siap menanggung skenario terburuk tersebut jika tetap mengganti segmen konsumen.
(Andika Priyandana)