Mengarungi 2022 dengan tetap berpusat pada konsumen, pada level makro, meso, dan mikro.
Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 akan mencapai 4,7-5,5%, dari 3,2-4,0% pada tahun 2021, didorong oleh berlanjutnya perbaikan ekonomi global yang berdampak pada kinerja ekspor yang tetap kuat, serta meningkatnya permintaan domestik dari kenaikan konsumsi dan investasi. Hal ini didukung vaksinasi, pembukaan sektor ekonomi, dan stimulus kebijakan (BI, 2021).
BI juga mengeluarkan bauran kebijakan tahun 2022 yang mencakup lima instrumen kebijakan, yaitu kebijakan moneter, kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran, kebijakan pengembangan pasar uang, serta kebijakan UMKM dan ekonomi keuangan syariah (BI, 2021).
Spesifik mengenai kebijakan sistem pembayaran, digitalisasi sistem pembayaran terus diperluas untuk mengakselerasi ekonomi dan keuangan digital nasional, antara lain melalui penguatan konsolidasi industri, pengembangan infrastruktur sistem pembayaran yang modern (QRIS, SNAP, BI FAST), termasuk perluasan QRIS dengan target 15 juta pengguna, kerja sama QRIS antarnegara, dan melanjutkan Elektronifikasi Transaksi Keuangan Pemerintah Daerah, bansos G2P 4.0, moda transportasi, serta digitalisasi UMKM dan pariwisata (BI, 2021).
Sedangkan spesifik mengenai kebijakan UMKM dan ekonomi keuangan syariah, program-program pengembangan ekonomi-keuangan inklusif pada UMKM dan ekonomi-keuangan syariah juga terus diperluas, termasuk dengan digitalisasi serta perluasan akses pasar domestik dan ekspor (BI, 2021).
Sebagaimana dapat kita perhatikan penyampaian BI, terdapat kata kunci “digital” yang harus kita perhatikan. Digital perlu kita perhatikan tidak melulu pada tampilan perusahaan dan/atau jenama di hadapan konsumen, tetapi juga pada sistem pembayaran.
Menjejak tren 2022 dengan refleksi 2021

Pada tahun 2021, kita melihat seberapa cepat industri pemasaran dapat berkembang. Pada tahun 2021, yang sudah terlihat awalannya sejak 2020, marketer yang paling enggan pun mau tidak mau harus merangkul transformasi digital jauh lebih cepat daripada sebelumnya karena mereka beradaptasi dengan lanskap bisnis virtual dan hybrid yang terus berubah selama pandemi COVID-19. Penyebabnya terjadi secara makro, meso, dan mikro, mulai dari pandemi, kebijakan pemerintah, hingga perilaku konsumen.
Namun, ketika negara-negara dan pusat-pusat ekonomi dibuka kembali dengan hati-hati — dan lebih banyak konsumen mulai meninggalkan rumah dan meningkatkan mobilitas — beberapa bisnis mengalami penurunan dalam keterlibatan virtual dan lalu lintas daring yang baru-baru ini mereka andalkan. Sebagai marketer di tingkat pengalaman apa pun, mengikuti perubahan yang serba mendadak ini tidak selalu mudah. Namun, untuk berhasil di dunia pemasaran yang serba cepat — dan mempertahankan rasa relevansi dengan konsumen kita — sangat penting untuk tetap berpusat pada konsumen.
Karena artikel ini tidak dapat membahas mendalam tren semua konsumen dari berbagai generasi, fokus tren diletakkan pada konsumen generasi langgas dan generasi Z yang saat ini sudah menjadi segmen dengan populasi tertinggi di Indonesia.
Tren pertama, acara virtual akan terus berlanjut, tapi melambat. Penyedia platform konferensi video Zoom Video Communications Inc (Zoom), sesuai riset Synergy Research Group (2021), telah menguasai 50,4 persen pangsa pasar di Indonesia. Namun manusia sebagai makhluk sosial, apalagi melihat perilaku orang Indonesia, terindikasi semakin jengah dengan pertemuan dan acara virtual yang seakan tiada henti sejak 2020. Mereka ingin keluar, berinteraksi tatap muka dengan orang lain, bisa bersalaman, bisa cipika cipiki, dan berbagai kegiatan kontak fisik lainnya. Apalagi Kementerian Kesehatan (2021) menyatakan pada awal Desember 2021 bahwa tercatat 114,1 juta penduduk atau 69,2 persen sudah mendapatkan vaksin dosis pertama. Lalu penduduk yang sudah mendapatkan vaksin dosis kedua berjumlah 100,8 juta orang atau 48,4 persen dari target sasaran 208,2 juta penduduk.
Perusahaan dengan kekuatan data yang besar mengetahui hal itu dan akibatnya, sebagian merek akan berinvestasi lebih sedikit pada anggaran acara virtual. Terindikasi pada tahun 2022 yang sudah mulai terlihat awalannya pada 2021, akan terlihat lebih banyak strategi pemasaran hibrida yang masih memungkinkan konsumen untuk mengikuti acara dan konferensi virtual, sekaligus acara tatap muka meski dengan jumlah peserta terbatas. Saat polling profesional pemasaran global, data yang kami terima sesuai dengan prediksi ini. Jadi, pemasar tidak akan meninggalkan ruang acara virtual dalam waktu dekat, khususnya karena peraturan pemerintah.
Tren kedua, semakin sedikit media sosial yang menjadi fokus karena memperhatikan semua yang ada itu melelahkan. Berbasis data, Anda mengetahui jika segmen konsumen Anda memiliki lima akun tempat mereka biasa melihat dan membaca konten, misalnya YouTube, Instagram, Twitter, Facebook, dan TikTok. Kalau Anda memilih untuk menghabiskan waktu, biaya, dan tenaga, pada semua pelantar tersebut, Anda bisa kelelahan meski mengalihdayakan ke pihak ketiga. Tentu kasusnya mungkin berbeda jika Anda memiliki dana berlebih dan semuanya harus terserap pada tahun anggaran tertentu.
Namun saat Anda memiliki SDM terbatas, ditambah dana terbatas, Anda harus menentukan prioritas. Anda harus fokus terhadap pelantar yang dipilih untuk mengomunikasikan produk. Sebagian besar pemasar akan fokus hanya pada tiga pelantar atau pada pelantar yang mana 70 s.d. 80% persen konsumen rutin memakainya. Setiap konsumen memiliki satu pelantar favorit dan bisa membuat mereka menghabiskan 50% waktu yang mereka gunakan, bahkan lebih.
Lagipula, mengelola maksimal tiga pelantar itu realistis. Rentang ini memungkinkan merek dari semua ukuran untuk memperluas jangkauan mereka ke 70 s.d. 80% waktu yang dihabiskan konsumen untuk mengonsumsi konten-konten dalam pelantar. Namun secara umum, para marketer harus mengetahui jawaban-jawaban dari pertanyaan berikut untuk kelola alokasi waktu, biaya, dan tenaga, di media sosial:
- Berapa banyak marketer, khususnya marketer media sosial, di tim Anda?
- Pelantar media sosial mana yang paling banyak mengonsumsi waktu konsumen Anda?
- Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menguasai strategi di setiap pelantar yang Anda targetkan?
Dengan bertanya pada diri sendiri dan tim mengenai tiga pertanyaan di atas, Anda dapat menentukan berapa banyak waktu yang dibutuhkan tim media sosial dan merek Anda untuk membangun strategi yang efektif dan menarik di setiap pelantar, dan memprioritaskan pelantar mana yang harus Anda fokuskan.
Tren ketiga, marketing inklusif semakin dicari. Sekitar tahun 2009 s.d. 2017, tren marketing eksklusif dengan fokus agama sempat naik daun. Namun sebagaimana layaknya manusia, konsumen berubah. Terdapat indikasi yang didukung data bahwa konsumen, bahkan yang dulu gandrung dengan produk berorientasi agama, mulai bosan dan memilih produk-produk yang lebih menunjukkan karakter inklusif dalam kampanye pemasaran.
Hal tersebut disebabkan antara lain karena era informasi yang memungkinkan ada benturan pemikiran dan membuat konsumen semakin mengidentifikasi dirinya dengan populasi terdiversifikasi—berdasarkan ras dan etnis, orientasi seksual, atau perbedaan kemampuan, misalnya— yang kemudian sangatlah penting bagi merek untuk secara otentik mencerminkan berbagai latar belakang dan pengalaman dalam pesan mereka jika mereka berharap dapat terhubung secara efektif dengan pelanggan masa depan.
Namun tidak cukup sekedar inklusivitas, generasi langgas dan generasi Z terindikasi lebih loyal kepada merek yang berkomitmen untuk mengatasi ketidakadilan sosial dalam tindakan mereka. Menarik loyalitas pelanggan masa depan dapat mengharuskan merek untuk menunjukkan bahwa mereka mempromosikan hasil yang adil di semua bidang mereka berada: melalui perekrutan dan retensi, menggunakan pemasok yang beragam, atau memasarkan produk untuk pengguna dengan kemampuan yang berbeda.
Jika mereka bertemu atau mengetahui merek yang dianggap tidak berkomitmen mengatasi ketidakadilan sosial, mereka siap meributkannya di media sosial. Contoh aktual per Desember 2021 adalah jasa parsel/ekspedisi barang sangat ternama skala nasional yang menyatakan merekrut pegawai dengan syarat beragama tertentu. Tak pelak, lowongan kerja tersebut dibahas di media sosial sehingga menimbulkan banjir sentimen negatif kepada merek parsel tersebut. Meski perusahaan sudah memberikan pernyataan memberi tindakan tegas kepada cabang dengan iklan lowongan pekerjaan diskriminatif tersebut, jejak digital tetap eksis dan lekat di benak konsumen.
(Andika Priyandana)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Januari 2022.