Strategi Diskon di Era Pandemi

Perlakukan diskon seperti layaknya stimulus ekonomi alias tidak bisa selamanya. Berarti, bagaimana caranya?

Warak – Doddy Sudibia

Menjalankan strategi dan taktik diskon di era pandemi termasuk gampang-gampang susah. Salah satu penyebabnya karena kita tidak mengetahui berapa lama harus memberikan diskon. Belum lagi masalah-masalah lainnya seperti kepada segmen atau subsegmen pasar mana yang perlu diberikan diskon dan berapa besaran diskon yang diberikan.

Namun ada satu rujukan menarik yang bisa menjadi pegangan kita mengenai strategi diskon di era pandemi. Rujukan tersebut bernama negara dengan memperhatikan kapan Pemerintah Indonesia memberikan dan menjalankan stimulus ekonomi. Sebagaimana kita ketahui bersama, kebijakan stimulus era pandemi dijalankan dengan tujuan menyelamatkan nyawa dan perekonomian. Stimulus ekonomi dijalankan Pemerintah Indonesia dalam payung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) antara lain dalam bentuk menaikkan defisit anggaran hingga enam persen per 2020, menurunkan bunga dan Giro Wajib Minimum (WNM), hingga relaksasi kredit.

Negara jelas memahami urgensi stimulus ekonomi, namun tidak bisa dijalankan selamanya. Stimulus ekonomi, khususnya stimulus fiskal, memiliki karakteristik triple T (timely, temporary, and targeted). Maksudnya adalah, kebijakan fiskal harus jelas kapan mulai dan kapan berakhir, segmen rakyat yang dituju jelas dan terukur, serta harus ada strategi redam dampak negatif terhadap ekonomi. Saat kita membawa perspektif stimulus ekonomi dalam skala mikro alias perusahaan, kita juga harus menentukan dengan jelas segmen konsumen yang dituju, berapa lama diskon berjalan, berapa besaran diskon, dan pastikan diskon memiliki dampak negatif minimal ke keuangan perusahaan.

Menjalankan strategi diskon berarti menjalankan disiplin keuangan, sikap fleksibel, dan membangun kapabilitas demi membentuk keunggulan kompetitif jangka panjang. Strategi harga adalah bagian krusial dari strategi pemulihan pendapatan perusahaan, baik di era pandemi maupun bukan. Sebagaimana layaknya marketer, kita harus berorientasi kepada konsumen saat menjalankan strategi diskon sambil tetap menjaga komunikasi dengan divisi lain, khususnya divisi keuangan. Secara umum, kita harus memperhatikan tiga isu saat menjalankan strategi diskon di era pandemi, yaitu perhatikan kebutuhan konsumen, jalankan kebijakan keuangan yang disiplin dan konservatif, serta naikkan nilai tambah seoptimal mungkin.

Perhatikan kebutuhan konsumen

Segmen konsumen yang kita tentukan sudah jelas mulai dari geografi, demografi, psikografi, hingga perilaku. Kita mengetahui apakah segmen konsumen adalah tipe pengejar diskon atau bukan, yang berarti kita tidak bisa sembarangan memberikan diskon. Sebagai contoh, rasa fleksibel kita harus berjalan saat berbisnis produk-produk eksklusif. Konsumen kita harus dibuat menyadari bahwa diskon diberikan bukan karena barang berkualitas rendah, tetapi karena faktor lain semisal kemunculan produk-produk seri terbaru (selain tentunya mengurangi biaya penyimpanan gudang untuk barang-barang lama yang belum terjual).

Berarti, pastikan konsumen mengetahui syarat dan ketentuan diskon. Sedangkan dari sudut pandang perusahaan, sikap fleksibel diperlukan saat menyusun syarat dan ketentuan dengan tujuan konsumen mau melakukan pembelian. Lalu seperti layaknya stimulus ekonomi skala makro, berikan diskon dalam jangka waktu terbatas. Jangka waktu terbatas perlu dengan tujuan pengukuran kinerja jangka pendek, selain untuk menjaga citra perusahaan agar tidak berkesan “palsu” karena diskon terus berlangsung dalam waktu lama.

Kita juga perlu mengetahui keadaan ekonomi konsumen. Pada era pandemi, konsumen premium pun dapat terkena dampak negatif secara signifikan. Jadi, memahami masalah konsumen tidak sekedar mengetahui kebutuhannya lalu menyediakan produk yang memenuhi kebutuhan tersebut. Memahami masalah konsumen berarti selalu memperhatikan apa saja masalah-masalah pelengkap lainnya   sepanjang rentang usia konsumen, termasuk masalah finansial yang dihadapi konsumen akibat pandemi. Salah satu solusinya dapat berupa diskon biaya pendaftaran tahunan produk jasa atau bentuk keringanan transaksi lainnya.   

Ingat juga bahwa konsumen itu dinamis. Meski segmen usia dan sosial ekonomi konsumen kita tidak berubah sama sekali, mereka tentu mengalami perubahan perilaku dan kebutuhan. Maka, sesuaikan produk sesuai dengan perubahan kebutuhan konsumen. Sebagai contoh, jika konsumen sebelumnya sangat terbiasa dan mewajibkan transaksi tatap muka, kini mereka justru lebih mengutamakan transaksi nirtunai tanpa tatap muka. Berarti, perusahaan harus menyesuaikan layanan produk sesuai dengan perubahan kebutuhan dan perilaku konsumen.

Jalankan kebijakan keuangan yang disiplin dan konservatif

Diskon dapat dijalankan di era pandemi, namun dengan perspektif yang lebih konservatif dibandingkan dengan era normal. Berarti, anggota tim antardivisi, mulai dari marketing, penjualan, hingga keuangan harus bisa membuat keseimbangan antara penetapan harga (sambil tetap menjaga nilai) dan kebutuhan konsumen yang terus berubah.

Bentuk-bentuk kebijakan keuangan konservatif tersebut antara lain lebih mengetatkan pengambilan keputusan persetujuan diskon. Perusahaan perlu menyadari bahwa perlambatan transaksi terjadi karena faktor multidimensi sehingga tidak bisa begitu saja menyetujui permintaan menjalankan diskon demi mengejar kuantitas transaksi. Perhatikan tidak sekedar faktor ekonomi mikro, tetapi juga ekonomi makro. Dalam konteks lingkungan mikro, perhatikan nilai tambah yang dirasakan konsumen melalui pemberian diskon. Perhatikan pergerakan nilai tambah tersebut, apakah bertambah, stagnan, atau berkurang. Jika nilai tambah yang dirasakan konsumen justru berkurang karena diskon, berarti perusahaan tidak perlu melanjutkan kebijakan pemberian diskon.

Kebijakan konservatif dalam menyetujui diskon perlu dilakukan juga kepada para pelanggan yang melakukan transaksi skala besar. Pahami keadaan keuangan mereka, sekaligus keadaan keuangan kita, sehingga sikap fleksibel perlu diberlakukan. Berarti, kita perlu mengawasi dan mengelola secara aktif kebijakan penentuan harga. Contoh tindakan tersebut antara lain dengan mengevaluasi ulang kebijakan batas minimum-order-quantity (MOQ) yang mana di era pandemi, batas tersebut dapat diturunkan.

Perhatikan dan pahami pula kebijakan diskon dalam konteks Business-to-Business (B2B). Dalam pasar ini, wiraniaga memiliki peran krusial yang karenanya, lakukan evaluasi insentif wiraniaga dan target harga secara lebih sering. Lakukan perubahan antara lain pada level kuota, bonus jangka pendek, dan/atau menambah variabel insentif wiraniaga.

Naikkan nilai tambah seoptimal mungkin

Banyak pebisnis dan marketer sudah mengetahui bahwa masa krisis ekonomi adalah masa terbaik berinvestasi. Namun harus diakui bahwa ngomong jauh lebih mudah daripada melaksanakan! Namun, memiliki rencana meski baru tahap wacana lebih baik daripada tidak ada rencana sama sekali.

Perlu jadi catatan, investasi tersebut tidak melulu bersifat massal dan memakan biaya besar. Dalam pasar B2B, kebiasaan wiraniaga mengunjungi para pelanggan menurun drastis akibat pandemi. Maka, inilah saat terbaik menjalankan kebijakan peningkatan kapabilitas wiraniaga untuk menciptakan konversi ke penjualan dengan perantaraan daring. Berikan alat-alat dan pendidikan yang para wiraniaga perlukan agar nilai tambah perusahaan meningkat di mata konsumen.

Masa pandemi juga mengakibatkan revolusi digital marketing. Banyak perusahaan yang sebelumnya menafikan atau mengalokasikan anggaran mini untuk digital marketing, kini mendadak harus memberikan porsi anggaran digital marketing secara signifikan demi menjaga komunikasi dengan konsumen. Maka, tingkatkan kemampuan analisis, khususnya pemasaran digital, demi masukan yang lebih baik. Ketahui kanal mana saja yang terbaik untuk berkomunikasi dengan konsumen, kanal pembayaran yang mereka sukai, termasuk waktu-waktu terbaik melakukan unggahan di media sosial.

Terakhir, jangan malu meminta bantuan eksternal, antara lain lembaga konsultasi atau para individu yang mampu memberikan masukan bisnis dan marketing sesuai kebutuhan perusahaan. Mereka tentu mengetahui masa pandemi mengakibatkan banyak prospek mengalami kesulitan keuangan sehingga mereka harus menurunkan biaya konsultasi. Maka, alokasikan anggaran untuk konsultasi marketing hingga kebijakan harga dengan tujuan keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang.

(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)

Catatan: Versi tersunting artikel ini telah terbit di Majalah Marketing edisi Februari 2021.

Pos ini dipublikasikan di Tidak Dikategorikan. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s