Merawat dan Meruwat Citra Kala Krisis

Merawat dan meruwat (memulihkan kembali) citra jenama perusahaan dan produk kala krisis bukan hal mudah. Lalu, apa yang harus kita lakukan?

Warak – Doddy Sudibia

Sudah jatuh, tertimpa tangga, kejatuhan genteng. Mungkin itu analogi yang pas bagi kita yang kurang beruntung dalam menjalankan bisnis saat krisis. Bayangkan jika sampai akhir 2019 atau awal 2020, kita sama sekali tidak ada masalah dalam berbisnis, pertumbuhan pendapatan melaju positif, dan para pelanggan pun puas dengan layanan yang kita berikan. Lalu tiba-tiba, bum! Muncul pandemi COVID-19. Belum selesai berita pandemi menerpa, kembali muncul BAM! Deputi Gubernur Bank Indonesia menyatakan Indonesia tidak sekedar berpotensi krisis ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan yang memiliki cobaan lebih berat.

Akibatnya, mayoritas bisnis terkena imbas demi menekan persebaran pandemi COVID-19. Semua bisnis yang melibatkan sentuhan dan tatap muka dengan pelanggan harus dihentikan sementara. Jikalau tidak dihentikan sementara, bisnis yang berjalan wajib mengikuti protokol COVID-19 yang ketat, misal maksimal jumlah pengunjung pada suatu restoran maksimal 50 persen. Demi menjamin pelaksanaan protokol, peraturan pemerintah dibuat dan para pamong praja ikut mengawasi. Meski kenyataan lapangan masih banyak lubang di sana-sini, tetap saja imbas ekonomi terasa berat.

Imbas ekonomi terasa paling berat kepada sektor pariwisata dan turunannya, transportasi (khususnya transportasi udara) dan turunannya, hingga pergudangan. Imbas tersebut terlihat dari penurunan pendapatan perusahaan secara sangat signifikan, bahkan hingga nol, untuk jangka waktu yang belum bisa diketahui dengan pasti kapan berakhir. Akibat penurunan pendapatan berkepanjangan, mau tidak mau perusahaan harus melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Pemerintah tentu mencoba melakukan langkah-langkah penyelamatan ekonomi. Namun ternyata langkah penyelamatan ekonomi itu turut memiliki imbas ke sebagian perusahaan sehingga pendapatan mereka turun signifikan. Contoh langkah penyelamatan ekonomi tersebut adalah subsidi listrik berupa listrik gratis untuk segmen bawah dengan total penerima 31 juta pelanggan hingga Desember 2020. Perusahaan-perusahaan yang memberikan jasa pengelolaan keuangan UMKM dengan mengambil untung tipis melalui biaya listrik jadi terkena imbas.

Masa pandemi benar-benar bagai buah simalakama bagi banyak pihak.

Merawat dan meruwat citra

 

Pengantin Wanita Indonesia – sumber Pixabay – indahryu

Laporan Badan Pusat Statistik terbaru menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia berbasis data Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal kedua minus 5,32 persen. Jika Indonesia kembali mengalami pertumbuhan minus pada kuartal ketiga, Indonesia resmi mengalami resesi ekonomi.

Jika demikian, apa yang harus kita lakukan? Apa yang harus dilakukan perusahaan, khususnya yang masih memiliki keberuntungan mampu bertahan di tengah pandemi? Jawabannya dapat diperhatikan antara lain dengan menganalisis data PDB terbaru. Dalam data PDB, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sangat besar hingga 58 persen. Maka, setiap kontraksi (penurunan) yang terjadi pada konsumsi rumah tangga memberikan dampak signifikan terhadap penurunan PDB.

Menilik data ini, sangat dipahami jika pemerintah melakukan stimulus ekonomi berupa subsidi listrik ke golongan bawah hingga Desember 2020. Bahkan, pemerintah perlu memberikan bantuan sosial lebih banyak kepada masyarakat, antara lain melalui suntikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, untuk menahan kemerosotan lebih dalam. Apalagi, pandemi COVID-19 di Indonesia belum mencapai puncak kurva sehingga angka negatif PDB masih sangat mungkin terjadi pada kuartal tiga yang berarti menjadikan Indonesia mengalami resesi ekonomi.

Berarti, bisa dikatakan bahwa apa yang terjadi pada bisnis yang kita jalani sejak Maret 2020 hingga kini bisa dikatakan murni force majeure. Bisnis lesu, marketing terasa tiada guna, dan pendapatan menurun bukan karena layanan pelanggan kita buruk , pelanggan beralih kepada kompetitor, atau jenama salah dalam menerapkan strategi dan taktik marketing untuk memikat dan mengikat pelanggan.

Dengan demikian, hal-hal yang perlu kita lakukan dalam merawat dan meruwat citra kala krisis adalah tetap meletakkan orientasi pada konsumen. Marketing berorientasi pada konsumen dan adagium tersebut berlaku hingga kapan pun, dalam kondisi apa pun. Dalam konteks orientasi kepada konsumen, minimal ada empat dimensi yang perlu kita perhatikan, yaitu performance, quality, attractiveness, dan responsibility.

Performance adalah bagaimana perusahaan berkinerja dan mengelola risiko. Selama masa pandemi, kita harus memperhatikan berbagai hal eksternal, antara lain kebijakan pemerintah untuk meredam pandemi, peraturan daerah yang berhubungan dengan pengendalian COVID-19, peraturan daerah yang berkaitan, hingga kapan vaksin COVID-19 akan diproduksi massal dan diberikan massal kepada masyarakat.

Selama belum ada kejelasan kapan pandemi akan berakhir, sebaiknya kita sangat berhati-hati menjalankan roda bisnis dan menghitung risiko, misalnya ekspansi, meski bisnis kita mereguk untung dari pandemi. Alasannya karena krisis yang kita alami adalah krisis kemanusiaan dan bukan berhubungan dengan ekonomi semata. Krisis yang kita alami memiliki potensi waktu panjang sehingga menelan ongkos ekonomi dan sosial yang besar. Jika demikian, cepat atau lambat meski perusahaan terlihat berkinerja baik, akan terkena imbas negatif.

Quality adalah bagaimana perusahaan mengelola kualitas produk, pelayanan, dan inovasi. Dalam konteks pandemi COVID-19, kualitas berkaitan sangat erat dengan jaga jarak. Maka, jika perusahaan dan/atau jenama harus melakukan inovasi pelayanan pelanggan dan kualitas produk, letakkan fokus pada segala aktivitas yang menjadi pengejawantahan jaga jarak. Misal, kurangi secara drastis transaksi tunai dan alihkan pada transaksi elektronik. Spesifik mengenai transaksi elektronik, sedapat mungkin jalankan transaksi nirsentuh, misal transfer rekening atau menggunakan uang elektronik. Jika tidak memungkinkan, gunakan kartu debit atau kartu kredit.

Lakukan juga kegiatan nirsentuh pada saat komunikasi dengan pelanggan (jaga jarak dan menggunakan masker) sejak pra transaksi hingga pasca transaksi.

Attractiveness adalah hal-hal yang berhubungan dengan kualitas karyawan dan seberapa besar daya tarik perusahaan tersebut sebagai tempat bekerja. Sebagai dari penyesuaian dengan pandemi, perusahaan harus melatih dan mendidik berbagai kebiasaan baru yang berhubungan dengan operasional perusahaan, misal cara melakukan transaksi nirsentuh hingga menjaga jarak dengan konsumen dan mengenakan masker.

Jika perusahaan sama sekali tidak bisa beroperasi akibat pandemi dan kebijakan pemerintah, sampaikan apa adanya kepada karyawan dan karyawati termasuk risiko-risiko PHK. Jika perusahaan mampu melakukan retensi karyawan dan karyawati, lakukan selama mungkin dan sampaikan pula risikonya kepada para pegawai, misal gaji hanya bisa diberikan 50 persen. Tekankan pula bahwa faktor eksternal, misal pandemi dan peraturan pemerintah daerah, memiliki pengaruh kuat terhadap kebijakan perusahaan.

Responsibility adalah gambaran citra perusahaan yang berhubungan dengan kesadaran terhadap lingkungan dan tanggung jawab sosial mereka. Membicarakan dimensi ini berarti perusahaan harus kembali memahami konsumen selama masa pandemi.

Keadaan ekonomi rumah tangga sekarang dibandingkan dengan sebelum COVID-19 (SMRC, 2020)

Temuan survei nasional Saiful Mujani Research and Consulting selama 29 Juli – 1 Agustus 2020 menemukan bahwa 69 persen warga merasa bahwa ekonomi rumah tangganya sekarang lebih buruk atau jauh lebih buruk dibandingkan sebelum ada wabah COVID-19. Sisanya sekitar 18 persen merasa tidak ada perusahaan dan 12 persen merasa lebih baik.

Berarti, secara umum pelanggan perusahaan tanpa memandang segmen yang kita pilih, merasakan beban ekonomi yang meningkat signifikan. Maka, perusahaan sebaiknya bersikap bijak untuk tidak berusaha meningkatkan beban tersebut, misal dengan tidak menaikkan harga produk, memberikan bantuan sosial kepada masyarakat umum, dan hal-hal lain yang menunjukkan perusahaan memiliki tanggung jawab dan menjalankan tanggung jawab.

Depok, 16 Agustus 2020

(Andika Priyandana)

Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi September 2020

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s