Sepanjang umur hidup saya sebagai warga negara Indonesia dan generasi Y papan atas alias tuir, saya sudah melalui dua krisis negara, lebih spesifiknya krisis ekonomi, pada tahun 1997/1998 dan 2008.
Dari pengalaman tersebut, saya bisa menyatakan bangsa Indonesia dan para pemimpinnya menghadapi tekanan terbesar dalam 50 tahun terakhir melalui pandemi COVID-19.
Hal yang sangat membedakan krisis 2020 dengan krisis 2008 dan krisis 1997/1998 adalah adanya unsur kemanusiaan dan nyawa manusia (Destry Damayanti, 30 Maret 2020).
Jika akar masalahnya ada pada keuangan, urusan pengukuran batas bawah akan lebih mudah. Namun adanya unsur kemanusiaan dan nyawa manusia membuat kita sangat sulit mengukur sampai mana dasarnya. Ini sebabnya semua prediksi analis ternama mengenai puncak pandemi, jumlah korban, sampai urusan batas bawah penurunan IHSG selalu meleset dan berkali-kali berubah.
Sebenarnya sektor kesehatan, khususnya sektor ekonomi, sektor bisnis, dan sektor keuangan Indonesia sudah jauh lebih tertata dan teregulasi dibandingkan dengan 1997/1998 dan 2008. Tetapi kesiapan tersebut pun kurang di hadapan krisis yang dimulai dari masalah kesehatan, lalu merembet ke masalah ekonomi, dan berimbas ke sektor keuangan.
Menghadapi masalah ini, seperti yang sudah disampaikan Ibu Destry selaku Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, ada langkah-langkah kebijakan pemerintah bersama otoritas lainnya yang fokus pada tiga aspek:
- Kemanusiaan dan kesehatan masyarakat,
- Jaring pengaman sosial untuk golongan masyarakat 40% terbawah,
- Dukungan untuk UMKM, korporasi, dan sektor keuangan.
Dengan demikian, sudah pasti jurang defisit melebar. Tapi dalam keadaan tekanan luar biasa dalam 50 tahun terakhir, langkah ini harus dilakukan.
Dukungan saya kepada pemerintah untuk mengurangi dampak tekanan pandemi COVID-19 memang masih terlalu kecil. Tetapi sudah melebihi daripada sekedar cuap-cuap di medsos.
Semoga kita semua bisa selamat dari tekanan ini. Semoga pemerintah pusat hingga daerah dan khususnya daerah juga sadar sudah terlalu banyak kebijakan berbasis ego golongan. Jadi ke depan lebih menerapkan kebijakan berbasis sains terverifikasi dan faktual.
Ping-balik: Mengelola Konten Medsos Kala Pandemi | WebLog Andika Priyandana