Bertahan dan Berkembang Kala Prediksi Resesi

Sudah ada prediksi resmi jika resesi global terjadi di 2020. Pemerintah Indonesia pun sudah mengeluarkan pernyataan resmi agar berhati-hati.

Lantas, bagaimana cara para pelaku bisnis bersikap? Berbasis data, daya tahan ekonomi Indonesia cukup resilien. Saat krisis ekonomi melanda tahun 1998, bisnis mikro dan kecil sukses menjadi bemper ekonomi masyarakat. Saat resesi global terjadi tahun 2008 sebagai imbas subprime mortgage 2008, ekonomi Indonesia tetap dapat bertumbuh.

Kini kita sudah memasuki tahun 2020 dan pertumbuhan ekonomi global 2019 menunjukkan angka terendah sejak krisis keuangan global 2008. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global terus direvisi ke bawah. Dalam satu tahun terakhir, proyeksi pertumbuhan global 2019 turun 0,7 poin persen. Penurunan pertumbuhan ekonomi global berkorelasi dengan pelemahan volume perdagangan global yang berimbas pada performa manufaktur global yang datanya sudah terlihat pada Purchasing Manager Index (PMI) global (sumber: Kemenkeu, 2020 Economic Outlook).

Pelemahan ekonomi global tentu berimbas kepada ekonomi Indonesia dan hal tersebut dapat dilihat dalam tiga parameter, yaitu pasar finansial, penanaman modal asing, dan perdagangan.

Pasar finansial. Karena ekonomi Indonesia sudah masuk dalam perputaran ekonomi global, berarti pasar finansial dipengaruhi oleh kebijakan moneter negara maju, khususnya Amerika Serikat. Kebijakan yang diputuskan di masa lalu, misal quantitative easing, taper tantrum, dan normalisasi moneter terbukti berpengaruh pada aliran modal di Indonesia.

Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment). Sentimen negatif global dapat memengaruhi investor confidence. Hal-hal yang berpengaruh kepada sentimen negatif global antara lain gejolak politik dan ekonomi yang berpengaruh terhadap rasa aman dan nyaman dalam berbisnis di Indonesia baik dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Jika basis data memberikan gambaran bahwa pemerintah Indonesia kurang mampu menjaga kestabilan dan memberikan rasa aman tersebut, PMA, khususnya yang cair, dapat segera pergi dari Indonesia.

Perdagangan. Kinerja neraca nonmigas Indonesia masih tertekan, antara lain karena nilai impor yang berkali-kali lebih tinggi daripada nilai ekspor. Sedangkan defisit neraca migas rutin tinggi sejak Indonesia resmi menjadi importir minyak bersih sejak 2003. Salah satu cara untuk menekan defisit neraca migas yang rutin tinggi, Indonesia harus membangun kilang minyak untuk menekan defisit neraca perdagangan.

Tumbuh dengan menilik data perekonomian domestik

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia – sumber Kemenkeu 2020 Economic Outlook

Sebelum membahas strategi umum bertumbuh dalam kancah domestik, kita perlu mengetahui lebih dahulu definisi umur resesi ekonomi. Resesi ekonomi dapat dideskripsikan sebagai penurunan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sebanyak dua kuartal lebih secara berturut-turut. PDB adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa yang diproduksi dalam suatu negara dalam satu kurun waktu tertentu.

Berbasis data Kemenkeu, ekonomi Indonesia jelas dibayangi resesi selayaknya ekonomi global. Maka, agar dapat bertumbuh, selain melihat ekonomi secara makro, kita juga harus melihat ekonomi secara mengerucut dalam bentuk pertumbuhan ekonomi secara sektoral.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia per sektoral – sumber Kemenkeu 2020 Economic Outlook

Berbasis data Kemenkeu (2020), terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia secara sektoral menunjukkan perlunya transformasi strukturan perekonomian. Alasannya adalah pertumbuhan sektor primer (2,67% yoy) dan sektor sekunder (4,60% yoy) di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.

Saat dilihat secara lebih dalam, pertumbuhan pertanian (3,08% yoy) dan pertambangan (1,94% yoy) pun masih di bawah rerata nasional. Khusus sektor pertambangan, nilainya sering fluktuatif karena pergerakan harga komoditas. Maka, Indonesia perlu meningkatkan nilai tambah produk pertambangan dengan mengurangi keluaran yang bersifat mentah dan menambah keluaran yang bersifat baku, antara lain dengan pembangunan smelter.

Mengenai sektor sekunder, pertumbuhan manufaktur (4,15% yoy) serta listrik, gas, dan air (3,81% yoy) juga masih di bawah rerata nasional. Hanya sektor konstruksi yang memiliki pertumbuhan di atas rerata (5,65% yoy). Namun angka tersebut terlalu kecil untuk mengangkat sektor sekunder secara keseluruhan agar di atas rerata nasional.

Sektor tersier menunjukkan pertumbuhan di atas rata-rata nasional (6,29% yoy). Pertumbuhan tersebut juga sukses mengerek pertumbuhan ekonomi nasional agar tetap ada di kisaran 5%. Angka ini sekaligus menunjukkan prediksi kuat bahwa ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang semakin berbasis jasa. Berarti, ada baiknya para pelaku bisnis meletakkan fokus atau diversifikasi bisnis dalam sektor jasa di tahun 2020.

Meski demikian, saat meneropong sektor tersier, perdagangan menunjukkan pertumbuhan (4,75%) di bawah rerata nasional. Namun, transport dan gudang (6,63%), informasi komunikasi (9,15%), jasa keuangan dan asuransi (6,15%), serta jasa lainnya (6,57%) menunjukkan pertumbuhan di atas rata-rata nasional.

Berarti dari sektor tersier, kita perlu menahan diri untuk melakukan ekspansi bisnis dalam subsektor tersier perdagangan. Namun ada kemungkinan, saat kita menilik berbasis wilayah, perdagangan justru menunjukkan kenaikan pertumbuhan di atas rata-rata nasional. Jadi jika ingin tetap ekspansi, eksekusi daerah-daerah tersebut.

Sedangkan informasi dan komunikasi, yang erat dengan teknologi digital, menunjukkan angka pertumbuhan yang gurih. Maka, tahun 2020 cocok menjadi tahun ekspansi bisnis di bidang tersebut.

Depok, 5 Januari 2020

(Andika Priyandana)

Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Februari 2020

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s