Catatan: Harap merujuk karantina (lockdown) yang benar ke UU nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Perhatikan bab per bab dan pasal per pasal saat karantina diterapkan jika ingin menganalisis. Jika ada rujukan jelas, analisis karantina yang dilakukan tidak akan amburadul.
Catatan 2: Merujuk UU nomor 6 tahun 2018, kalian bisa membedakan antara karantina dan pembatasan sosial (social distancing). Contoh pembatasan sosial dapat dilihat pada Jakarta dan Solo.
Di lini masa hingga grup WA sangat ramai soal karantina (lockdown). Secara mayoritas, banyak yang mendukung lockdown. Dalam lingkaran saya dan profil-profil yang saya ketahui, 100% penganjur karantina adalah orang-orang golongan sosial ekonomi menengah, menengah atas, dan atas.
Kemudian, banyak analisis saya perhatikan tidak merujuk ke UU nomor 6 tahun 2018. Akibatnya analisis-analisis tersebut lebih banyak menimbulkan kegaduhan dan kepanikan kosong.
Maka, tulisan saya mencoba membahas karantina dari perspektif berbeda. Saya tidak akan membahas hal-hal berikut karena sudah banyak yang menulis:
- Tipe-tipe karantina yang mungkin diterapkan, apakah parsial? Apakah penuh? Apakah skala kota? Skala provinsi? Skala pulau? Skala negara?
- Potensi golongan sosial ekonomi bawah kolaps dan hancur duluan jika karantina diterapkan,
- Potensi kelas buruh, petani, dan pelaku sektor informal kolaps dan hancur duluan jika karantina diterapkan,
Alasan saya membahas adalah latar belakang saya dari sisi bisnis dan tergabung dalam grup-grup logistik dan rantai pasok nasional. Saya mencoba membahas karantina dari tiga hal, yaitu keadaan jika karantina terjadi, ketersediaan sumber daya manusia, dan ketersediaan sarana prasarana.
Keadaan jika karantina terjadi
Merujuk pasal 53, 54, dan 55 UU nomor 6 tahun 2018, kita bisa mengetahui mengenai karantina wilayah atau bahasa populer yang beredar adalah lockdown. Wilayah yang dilakukan karantina mengalami hal-hal berikut:
- Pemerintah wajib memenuhi kebutuhan dasar. Pertanyaan, apakah pemerintah mampu memenuhi dan memastikan kebutuhan dasar masyarakat?
- Anggota masyarakat dilarang keluar masuk wilayah yang dibatasi. Pertanyaan, mampukah masyarakat diam di rumah? Jadi bukan kabur dari RS kalau jadi pasien Corona (COVID-19) atau malah liburan ke Puncak pas diminta pembatasan sosial dua minggu.
- Aparat melakukan penjagaan. Apakah jumlah aparat mencukupi? Apakah pakaian hazmat mencukupi?
- Wilayah yang dikunci dijaga oleh aparat. Apakah jumlah aparat mencukupi? Apakah pakaian hazmat mencukupi?
Ingat bahwa saat karantina terjadi, tidak ada warung kaki lima diizinkan berdagang, tukang mie dan nasi goreng keliling dilarang berdagang, tukang jasa parsel dilarang mengantar paket belanja, semua transportasi umum ditutup, sampai penggunaan kendaraan pribadi harus sepengetahuan aparat.
Ingat juga saat karantina terjadi, sampah-sampah rumah tangga akan menumpuk dengan cepat dan tidak ada yang mengambil karena pergerakan tukang sampah sudah dilarang. Ngga perlu kasih solusi goblok dengan membakar sampah rumah tangga karena bisa menimbulkan penyakit lainnya, apalagi kalau bakar sampahnya di wilayah kota kena karantina.
Jadi, silahkan bayangkan sendiri dampak sosial ekonomi yang bakal terjadi jika karantina dilaksanakan. Ingat pula bahwa kota-kota terdampak Corona (COVID-19) di Indonesia adalah Jakarta (DKI Jakarta), Tangerang (Banten), Depok (Jawa Barat), Bandung (Jawa Barat), Solo (Jawa Tengah), Yogyakarta (DIY), Manado (Sulawesi Utara), dan masih ada lagi kota-kota lainnya.
Ketersediaan sumber daya manusia
Jika karantina diberlakukan, sumber daya manusia yang diperlukan akan luar biasa besar meski hanya skala DKI Jakarta. Pihak yang akan diberdayakan untuk melakukan karantina sangat mungkin adalah polisi dan tentara.
Jadi, apakah jumlah polisi dan tentara mencukupi untuk melakukan karantina? Sementara jumlah kota-kota ditemukan kasus Corona (COVID-19) ada banyak. Jumlah kota banyak berarti pintu-pintu masuk dan keluar yang luar biasa jauh lebih banyak untuk dijaga dan diawasi. Jakarta aja ada ribuan pintu keluar masuk, bagaimana jika dijumlah dengan kota lainnya? Ingat masih ada tugas-tugas lain seperti polisi menjaga keamanan kota, tentara menjaga perbatasan negara, dll.
Ketersediaan sarana prasarana
Pakaian Hazmat – sumber: Media Indonesia
Kemudian, asumsikan jika jumlah aparat mencukupi untuk karantina, sekaligus menjaga keamanan kota, menjaga perbatasan negara, patroli laut, dll. Pertanyaan berikutnya adalah: Apakah jumlah baju hazmat mencukupi? Ingat karantina dilakukan untuk meredam penyebaran virus Corona (COVID-19), bukan meredam penyebaran begal atau tentara asing. Jadi, baju yang dikenakan aparat karantina harus khusus.
Selain urusan baju hazmat, apakah sarana prasarana pendukung lainnya untuk karantina mencukupi? Misal jumlah desinfektan, alkohol, alat-alat pembersihan, alat-alat laboratorium untuk pengecekan Corona, P3K, dll.
Penutup: Risiko lainnya saat karantina terjadi
Selain hal-hal yang harus dipikirkan di atas, saya melihat ada potensi rusuh jika karantina terjadi. Saat sudah terjadi rusuh, sementara Indonesia memiliki keterbatasan polisi dan tentara, justru penyebaran Corona (COVID-19) bisa jauh lebih menggila daripada saat ini dan jika terjadi karantina.
Rusuh bisa dimulai dari mosi tidak percaya yang diajukan ke Presiden karena pelaksaan karantina yang dipaksakan dan tidak sesuai kemampuan riil pemerintah. Sementara perencanaan mosi tidak percaya dan langkah lanjutan dilakukan dari ruang berpendingin sambil duduk di kursi empuk.
Kalau misal benar-benar terjadi karantina, demi memenuhi pelaksanaan UU nomor 6 tahun 2018, berarti pemerintah sangat mungkin harus berhutang dalam skala sangat besar untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat selama masa karantina. Bisa jadi hutang tersebut menyebabkan batas atas hutang menurut UU langsung tercapai. Itu dengan catatan bahwa pengadaan polisi dan tentara untuk memenuhi rasio ideal karantina tetap tidak bisa dilakukan.
Kembali di sini, gorengan politik berujung rusuh bisa terjadi. Musibah Corona (COVID-19) sangat seksi untuk dipolitisasi dan sudah dipolitisasi. Apalagi dengan status pandemi yang mana 180 dari 193 negara anggota PBB sudah terdampak. Jelas Corona (COVID-19) memberikan kesempatan sekali seumur hidup.
Ditulis dari Depok (kota pertama konfirmasi pasien Corona (COVID-19)), 15 Maret 2020