Transformasi digital sudah menjadi keharusan. Namun sejauh mana perusahaan perlu mengeksekusi?
Meski nilai kue ekonomi masih didominasi Generasi X, generasi langgas dan generasi Z yang lahir sejak tahun 1982 sudah mendominasi angkatan kerja total dunia. Mereka secara perlahan namun pasti bakal menggantikan peran Generasi X sebagai penguasa kue ekonomi sekaligus penggerak roda perekonomian.
Jika Generasi X sudah banyak yang melek teknologi, tetapi banyak di antara mereka yang tidak tergantung pada teknologi. Hal berbeda terjadi pada generasi langgas dan khususnya generasi Z. Generasi tersebut selain melek teknologi, tak dapat dipungkiri juga tergantung pada teknologi untuk melakukan kegiatan harian. Sebagai contoh, semakin sedikit generasi langgas dan Z yang tinggal di kawasan urban masih bertransaksi secara tunai. Penggunaan uang elektronik, kartu debit, hingga transfer bank semakin menjadi hal biasa dan bahkan bagai keharusan bagi mereka.
Maka dari perspektif perusahaan, mengakomodir konsumen generasi baru tersebut adalah kewajiban jika ingin memastikan roda perusahaan tetap melaju. Keterlambatan melakukan transformasi digital berkorelasi secara positif dengan keterlambatan pertumbuhan perusahaan. Misal, jika perusahaan tidak segera mengakomodir kebutuhan transaksi nontunai, sangat mungkin terjadi konsumen generasi langgas dan generasi Z memilih berpindah ke layanan yang mampu mengakomodir kebutuhan transaksi mereka dengan lebih baik.
Maka agar perusahaan dapat melakukan transformasi digital, secara umum ada dua hal yang wajib dipenuhi. Pertama adalah orientasi konsumen dan kedua adalah mengetahui batasan diri.
Merencanakan transformasi digital: Orientasi konsumen
Orientasi pada konsumen adalah langkah pertama yang wajib dilakukan untuk melakukan transformasi digital. Turunan dari orientasi konsumen adalah pengumpulan data-data yang berhubungan dengan konsumen yang ingin dilayani perusahaan. Data tersebut dapat dimulai dari jumlah penduduk di suatu wilayah, jumlah penduduk berbasis gender dan umur di suatu wilayah, hingga status sosial ekonomi mereka. Data-data tersebut dapat diperoleh antara lain melalui Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Sebagai contoh pada data jumlah penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin (2019) yang didapatkan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2018, berbasis data survei penduduk antar sensus (Supas) 2015, lalu diolah oleh Katadata (2019) yang menyatakan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada 2019 diproyeksikan mencapai 266,91 juta jiwa.
Dari data tersebut, dapat diketahui bawa kelompok usia produktif dengan rentang umur 20 s.d. 39 gender pria dan wanita terdapat terdapat lebih dari 80 juta jiwa. Pada golongan usia tersebut, terdapat generasi langgas dan generasi Z yang menjadi salah satu bahasan artikel ini karena mereka ada di usia produktif, sudah menjadi bagian dari pelaku ekonomi, dan menjadi alasan kuat kenapa transformasi digital wajib dilakukan perusahaan.
Mereka adalah generasi sudah terbiasa dan bahkan kecanduan memakai uang elektronik. Bagi yang sudah terbiasa memakai uang elektronik, dalam ponsel pintar mereka bisa dipastikan terdapat terdapat aplikasi setipe Gopay, Ovo, LinkAja, Dana, dkk. Ada pula yang terbiasa menggunakan kartu debit, atau paling mentok, masih menggunakan Anjungan Tunai Mandiri untuk bertransaksi. Namun perilaku transaksi generasi langgas dan generasi Z Indonesia terindikasi memiliki dampak signifikan terhadap penurunan transaksi di teller bank.
Sebagai contoh adalah data Bank Mandiri pada Januari – Agustus 2017 yang menemukan bahwa hampir 95 persen transaksi nasabah telah dilakukan melalui jaringan elektronik perseroan. Angka tersebut belum dihitung dengan bank-bank nasional lainnya, termasuk belum dihitung dengan data terbaru per 2019. Namun sudah rutin terdengar kabar bahwa banyak cabang-cabang bank yang semakin sepi sehingga membangun aset fisik bank dari nol secara jor-joran sebagai cabang di suatu wilayah dapat menimbulkan beban keuangan yang tidak perlu kepada perusahaan.
Jadi, ketahui bagaimana perilaku konsumen yang dituju perusahaan, khususnya dalam konteks digital. Jika konsumen generasi langgas dan Z sudah terbiasa mengecek segala macam informasi melalui situs penelusur, maka memiliki situs yang diperbarui secara rutin adalah kewajiban. Jika konsumen dalam mayoritas transaksi rutin melalui fasilitas elektronik, maka kebiasaan tunai wajib segera ditinggalkan. Apalagi pemerintah sudah sangat mendorong dengan kebijakan cashless society.
Kemudian saat perusahaan sudah berkomunikasi dan bertransaksi dengan konsumen melalui fasilitasi digital, pastikan pengumpulan data internal berupa profil konsumen. Profil ini terdiri dari informasi pribadi konsumen (nama, alamat, nomor telepon, latar belakang) hingga perilaku mereka dalam bertransaksi.
Terakhir, olah data tersebut untuk menyesuaikan model bisnis perusahaan dengan kebutuhan konsumen yang tentunya termasuk cara melakukan pemasaran.
Maka secara umum hal-hal yang perlu dilakukan adalah:
- Pengumpulan data profil dan perilaku konsumen melalui sumber sekunder (BPS, Bappenas, dll),
- Pengumpulan data profil dan perilaku konsumen melalui sumber primer,
- Pengolahan data-data primer dan sekunder untuk keperluan transformasi digital, baik marketing hingga transaksi keuangan.
Merencanakan transformasi digital: Ingat batasan diri!
Asumsikan perusahaan sudah memiliki data-data awal mengenai konsumen yang diperlukan untuk transformasi digital.
Anggap pula data-data awal tersebut sudah mendukung inti kekuatan perusahaan yang sulit disalin oleh kompetitor.
Sekarang, perusahaan harus mengevaluasi diri sendiri. Seberapa mampu perusahaan mampu merancang dan yang terpenting, mengeksekusi transformasi digital? Akan menjadi hal percuma jika perusahaan mampu merencanakan transformasi digital dengan sangat canggih, namun kemampuan eksekusi di bawah 10 persen.
Maka, perusahaan harus memulai bukan dari langsung besar, tetapi dari kecil baru ke besar. Jika perusahaan langsung memaksakan besar, level konglomerasi pun bisa gagal. Contoh-contohnya sudah ada di Indonesia.
Batasan yang wajib diperhatikan pertama kali adalah sumber daya manusia. Jika sumber daya manusia yang ada memang belum mencukupi baik dari sisi kualitas dan kuantitas, jangan memaksakan melebihi kapasitas perusahaan pada waktu tersebut. Jikalau dipaksakan dengan kekuatan uang, bisa jadi justru dari sisi konsumen yang belum siap dengan transformasi digital yang dilakukan perusahaan dengan beragam alasan.
Masih mengenai sumber daya manusia. Pastikan SDM tersebut mendukung terlebih dahulu kekuatan inti perusahaan, misal dalam pengumpulan data internal konsumen yang kemudian diolah untuk keperluan transformasi digital. Setelah mendapatkan SDM tersebut, langkah berikutnya adalah mendapatkan SDM-SDM yang mampu bertindak sebagai pendukung kendaraan transformasi digital, misal pengembang aplikasi.
Setelah batasan diri dari sisi SDM, perhatikan pula batasan diri dari sisi keuangan. Adagium membuat uang dengan menggunakan uang orang lain memang sudah biasa dan sebenarnya diperlukan dalam bisnis agar perekonomian berputar.
Namun, ketahui batasan-batasan berupa pertumbuhan pasar, kecepatan adaptasi teknologi oleh konsumen, data kurva belajar konsumen, dan data-data lain yang berkorelasi dengan transformasi digital.
Memahami batasan-batasan tersebut berarti mengetahui seberapa jauh transformasi teknologi yang perlu dilakukan oleh perusahaan dalam kurun waktu tertentu. Memahami batasan tersebut juga berarti perusahaan mengetahui besaran uang yang diperlukan dan alokasi uang tersebut ke pos-pos yang diperlukan untuk mengeksekusi transformasi digital secara mangkus dan sangkil.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Januari 2020