Sudah ada kasus skala global bernama WeWork. Sebelumnya ada Uber. Masih ada lagi contoh-contoh lainnya yang wajib dijadikan alarm oleh perusahaan rintisan Indonesia.
Bagi para penggila kosakata “start-up” alias perusahaan rintisan berbasis teknologi, termasuk yang menjadi pelaku aktif, tentu mengetahui tolok ukur kinerja seperti tractions, engagement rates, Daily Active Users, dan Monthly Active Users. Bagi yang sudah dapat guyuran duit, pasti mengetahui burn rates. Jika level permainan sudah burn rates, bisa dipastikan harus punya stok nafas panjang, alias duit lagi, demi memenangkan pasar.
Namun, berapa lama dan berapa kuat perusahaan mampu bertahan dengan tolok ukur-tolok ukur tersebut? Sangat mungkin terjadi bahwa saat start-up terbutakan oleh kumpulan parameter tersebut, lawan sebenarnya adalah diri sendiri. Jika sudah bergulat dengan nafsu pribadi, apalagi keinginan tumbuh drastis, probabilitas keropos turut meningkat. Berarti, valuasi perusahaan yang awalnya sudah melambung tinggi bisa jatuh signifikan. Sudah ada contoh-contoh kasus skala global mengenai hal tersebut, misal Ofo dari China dan yang terbaru adalah WeWork dari Amerika Serikat.
WeWork: Melambung lalu jatuh. Pelajaran untuk startup Indonesia
Didirikan Adam Neumann pada 2010 dan nilainya dengan segera melesat hingga US$ 47 miliar per Januari 2019. Namun hanya dalam hitungan bulan, valuasi tersebut anjlok di bawah US$ 9 miliar dan bahkan mungkin lebih rendah lagi. Kasus ini sukses membuat malu Masayoshi Son sang bos Softbank sebagai salah satu beking dana karena kasus WeWork bukan yang pertama dan tentunya jika waras, Masayoshi Son tidak ingin tersandung lagi. Maka dengan segera timbullah kewaspadaan kepada startup di dunia, termasuk Indonesia.
Jadi, jika dulu tumbuh, tumbuh, dan tumbuh menjadi mantra utama start-up, sekarang sudah muncul balik modal, balik modal, balik modal, dan jauh lebih baik lagi, menuai laba.
Sebelumnya, startup kawasan Asia, mulai dari India, Malaysia, hingga Indonesia, begitu terbius dengan berbagai kisah pertumbuhan fenomenal startup Amerika Serikat. Hasrat tumbuh berapa pun biayanya menjadi prioritas. William Tanuwijaya, CEO Tokopedia, bahkan pernah menyatakan kepada NIkkei Asian Review pada Januari 2019 bahwa belum ada waktu definitif untuk meraih laba dan akan tetap mengutamakan investasi pertumbuhan karena parameter tersebut juga menjadi visi Masayoshi Son.
Sekarang sepertinya pandangan terus tumbuh tersebut sudah berubah. Informasi terakhir juru bicara Tokopedia menyatakan bahwa perusahaan berniat meraih “titik impas” per 2020. Tokopedia akhirnya menyadari sebagai perusahaan teknologi, keberlangsungan sekaligus pertumbuhan perusahaan harus selaras.
Sangat mungkin pernyataan tersebut muncul karena tidak sedikit portofolio Softbank telah mengalami masalah dan menimbulkan kerugian miliaran dolar, misal WeWork dan Uber. Maka, selain Tokopedia, Grab, Oyo, Paytm, Didi Chuxing, dan start-up lainnya yang dipandang masih membakar uang segera diminta mengetatkan ikat pinggang dan pengeluaran segera diawasi dengan ketat.
Maka sudah dapat diprediksi bahwa per 2019, apalagi di bawah bayang-bayang prediksi resesi global per 2020, tolok ukur kinerja startup tidak lagi sekedar tractions, engagement rates, Daily Active Users, Monthly Active Users. hingga burn rates, tetapi juga kapan meraih titik impas dan kapan meraih laba. Memang itulah sejatinya alasan sebuah perusahaan komersial didirikan.
Meraih laba sebaiknya rencanakan sejak awal. Ingat MASDA
Sebuah start-up sebaiknya merencanakan perolehan laba sejak awal dan dalam kurun waktu tertentu, misal dalam tiga tahun, empat tahun, lima tahun, atau bahkan lebih. Kuncinya adalah adanya kejelasan skala waktu yang ingin dicapai. Jika dirasa belum mampu dicapai, maka buat rencana turunan untuk mencapai tujuan tersebut.
Agar rencana dapat tersusun dengan baik meski data awal masih terbatas, ingat prinsip MASDA sebagai tolok ukur segmentasi pasar yang efektif.
Measurable (terukur). Kita harus bisa mengukur jumlah konsumen potensial, besaran kebutuhan, daya beli, dan profil konsumen. Jika belum bisa mengumpulkan semua data yang diperlukan, lakukan sembari berjalan. Optimalkan pengumpulan data internal seperti jumlah dan profil konsumen yang merespon iklan maupun data eksternal dengan menggunakan alat-alat yang sangat berguna. Jika ada yang mengeluh mahal dan ingin mencari murah bahkan gratis, ingat Google Trends, Alexa, Facebook Ads, dan masih banyak lagi.
Accessible (dapat diakses). Segmen yang dituju perusahaan harus bisa dijangkau dan dilayani perusahaan melalui berbagai kanal yang tersedia. Tentu akan menjadi hal yang sangat bodoh jika ada start-up loka pasar sengaja memasang iklan ke seluruh Indonesia hanya karena ada uang, sementara di saat sama masih ada daerah-daerah Indonesia yang meski bisa dijangkau internet, tetapi masih sangat sulit dijangkau jasa layan antar.
Substantial (bernilai). Segmen yang dituju harus bernilai dalam arti mampu menghidupi perusahaan secara berkelanjutan. Hitung baik-baik besaran skala, batasan pasar, dan tren pertumbuhan. Manfaatkan baik-baik data pemerintah seperti data BPS dan Kemenkeu.
Differentiable (dapat dibedakan). Segmen yang dituju harus bisa dibedakan dengan segmen lainnya. Berarti kita harus punya kemampuan membagi pasar berbasis homogenitas tertentu sesuai kebutuhan perusahaan. Tidak usah berlagak ingin mendapatkan semua karena bisa jadi malah kehilangan semua.
Actionable (dapat dikerjakan). Semua rencana yang sudah disusun untuk melayani segmen yang dituju sebaiknya bisa dieksekusi sesuai dengan kemampuan start-up. Jika tahun pertama start-up baru bisa beberapa langkah kecil, jangan paksa membuat lompatan besar jika pada akhirnya tidak dapat dieksekusi. Lompatan besar itu tentu dapat dilakukan, tetapi berproses dan tidak dadakan.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Desember 2019