“Ekonomi global dalam lima tahun ini dan perkiraan-perkiraan dari lembaga-lembaga internasional, tahun depan akan menuju ke sebuah situasi yang lebih sulit. Bahkan banyak yang sampaikan menuju ke sebuah resesi”. ~ Presiden Joko Widodo, Jakarta, 30 Oktober 2019.
Ekonomi global tumbuh terendah pasca krisis keuangan global 2008. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global disunting berkali-kali ke bawah. Dalam setahun terakhir, proyeksi pertumbuhan global 2019 turun 0,7 poin persen. Karena perlambatan bersifat global dan merata, perlambatan terjadi baik di negara maju dan negara berkembang, termasuk mitra dagang utama Indonesia. Karena perlambatan bersifat global dan memengaruhi mitra dagang utama Indonesia, maka risiko global yang harus diwaspadai adalah perang dagang, penurunan manufaktur dan investasi, resesi ekonomi, serta tensi geopolitik (Kementerian Keuangan, November 2019).
Agar kita bisa memahami perlambatan pertumbuhan ekonomi global dan dampaknya ke Indonesia, berarti kita harus memahami pondasi utama ilmu ekonomi, yaitu permintaan dan penawaran di pasar yang berujung pada transaksi. Adanya perlambatan ekonomi global, berarti ada penurunan jumlah transaksi dibandingkan dengan periode sebelumnya yang berarti ada penurunan permintaan dan penawaran global.
Dari sudut pandang kita, jika Indonesia menjadi negara dengan orientasi ekspor, pendapatan negara didominasi transaksi perdagangan luar negeri, dan negara-negara mitra utama perdagangan mengalami perlambatan pertumbuhan permintaan produk-produk dari Indonesia, maka perlambatan pertumbuhan ekonomi global memiliki dampak signifikan kepada Indonesia. Misal 70 persen pendapatan transaksi luar negeri Indonesia berasal dari negara-negara yang sedang mengalami gejolak politik dan ekonomi, misal Hongkong, Venezuela, dan Suriah, sudah bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia terkena pukulan telak.
Dengan demikian, cara agar Indonesia tidak terlalu terpengaruh perlambatan pertumbuhan ekonomi global di masa kini maupun masa depan adalah dengan memiliki mitra dagang sebanyak mungkin (berarti menyebarkan risiko) dan menguatkan pasar domestik. Selain dua faktor tersebut, ada faktor-faktor lain yang menjelaskan kenapa ekonomi adalah ilmu yang kompleks, yaitu kemampuan produksi dalam negeri dengan bahan mentah serta baku yang berasal dari dalam negeri, nilai tambah produk, varian produk, hingga kemampuan menjaga sentimen publik (konsumen) dari gejolak politik, keamanan, hukum, dan isu-isu lainnya yang bisa mengganggu proses transaksi.
Menelisik fundamental ekonomi Indonesia
Ekonomi Indonesia adalah ekonomi yang berbasis pada transaksi domestik (konsumsi Rumah Tangga, konsumsi pemerintah, investasi). Inilah penyebab fundamental ekonomi Indonesia masih relatif sehat di tengah perlambatan ekonomi global. Seperti dapat terlihat pada data, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,05 persen di kuartal 2 2019 karena dorongan permintaan domestik yang kuat dan kinerja positif lintas sektor, khususnya sektor jasa (Kemeterian Keuangan, November 2019).
Laju inflasi juga masih cukup terkendali sehingga mendukung stabilitas konsumsi oleh pasar sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, kita tetap harus memerhatikan perlambatan ekonomi global karena tidak ada satu pun negara di era modern yang mampu hidup terisolir dari hubungan internasional, yang termasuk di dalamnya hubungan dagang. Maka seperti telah disampaikan sebelumnya, memahami perlambatan ekonomi global berarti harus memahami pondasi utama ilmu ekonomi, yaitu permintaan dan penawaran yang berujung pada transaksi di pasar.
Perlambatan ekonomi global tetap memiliki dampak ke perekonomian Indonesia lewat tiga jalur, yaitu pasar finansial, penanaman modal asing (Foreign Direct Investment – FDI), dan perdagangan. Dengan memahami pasar finansial, kita bisa memahami aliran modal masuk ke Indonesia yang dipengaruhi kebijakan moneter negara maju. Melalui FDI, kita mengetahui bahwa gejolak politik, keamanan, hingga hukum yang terjadi secara global hingga lokal berpengaruh terhadap kepercayaan investor untuk memasuki Indonesia. Sedangkan melalui perdagangan, kita mengetahui bahawa secara garis besar, kinerja ekonomi Indonesia dipengaruhi neraca migas dan nonmigas. Sedangkan saat ini, kinerja neraca nonmigas sedang tertekan dan neraca migas jelas defisit karena Indonesia saat ini sudah menjadi importir bersih migas.
Pemerintah tentu memiliki perhatian dan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapi perekonomian Indonesia. Maka, Kementerian Keuangan (November 2019) sebagai representasi pemerintah memberikan informasi publik mengenai arah kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi tekanan perlambatan perekonomian global, yaitu:
- Menjaga konsumsi dan daya beli Rumah Tangga, stabilitas pasokan dan harga,
- Mendorong investasi dengan insentif fiskal, peran kuasi-fiskal, dan partisipasi swasta,
- Mendorong ekspor sektor manufaktur dan menggalakkan pariwisata
Menelisik pasar dan konsumen Indonesia
Di tengah perlambatan ekonomi yang sudah terjadi di Indonesia, apalagi ditambah tekanan pertumbuhan ekonomi global, mewajibkan para pelaku usaha, termasuk marketer, mewaspadai langkah-langkah strategi dan taktik bisnis yang perlu dilakukan. Belum tentu usaha tertentu pantas melakukan ekspansi dan lebih baik menjaga kestabilan. Sedangkan bisa jadi ada bisnis yang sebaiknya melakukan ekspansi karena data internal maupun eksternal memang sangat mendukung ekspansi pasar.
Maka, hal yang perlu diperhatikan adalah menganalisis pasar dan konsumen Indonesia. Membicarakan pasar dalam perspektif makro, berarti kita perlu memerhatikan pertumbuhan pasar secara sektoral.
Berbasis data Kemenkeu (November 2019), sektor pertanian, industri, dan perdagangan selalu tumbuh di bawah rata-rata nasional, padahal total kontribusi ketiga sektor tersebut terhadap Produk Domestik Bruto adalah 47 persen.
Kemudian saat mengecek pertumbuhan sektor pertambangan, terlihat angka fluktuatif seiring pergerakan harga komoditas. Hal ini dapat dipahami karena produk tambang Indonesia masih sangat berorientasi komoditas dan bukan nilai tambah. Maka, akan lebih baik jika para pebisnis tambang mulai memikirkan pengembangan produk turunan tambang dengan nilai tambah yang tentu lebih tinggi.
Sedangkan pertumbuhan sektor jasa selalu tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan nasional. Sehingga menilik data ini, secara umum pelaku bisnis dapat melakukan langkah ekspansif. Jika ingin lebih spesifik, jasa pariwisata dapat menjadi fokus ekspansi karena kebijakan pemerintah sudah jelas mendukung sektor pariwisata.
Selain sektor-sektor di atas, masih ada sektor konstruksi yang juga tumbuh rutin di atas rata-rata nasional. Hal ini dipahami mengingat Presiden Joko Widodo pada periode pertama sangat fokus pada pembangunan infrastruktur sehingga ada yang menamakan “Rezim Infrastruktur”. Namun yang patut disayangkan, pembangunan infrastruktur masih banyak dikuasai BUMN, BUMD, dan anak usahanya. Jika ada swasta ingin ikut terlibat, biasanya menjadi sub-con dan harus bersiap-siap dengan pembayaran terlambat, bahkan tertunda.
Sektor transportasi juga rutin tumbuh di atas rata-rata nasional dan yang paling menarik, swasta dapat terlibat secara aktif dalam sektor ini. Permasalahan perhubungan di Indonesia masih sangat kompleks, membebani APBN, yang berarti menunjukkan potensi bisnis luar biasa karena ada masalah di mana-mana. Potensi bisnis tersebut antara lain produk teknologi yang dapat mengatur alokasi penempatan armada truk secara optimal di Pulau Jawa, pengadaan moda transportasi barang, hingga tentunya pengadaan moda transportasi publik.
Memerhatikan pasar berarti juga memerhatikan konsumen. Hal ini menjadi kewajiban karena bisnis yang baik dan berkelanjutan adalah bisnis berorientasi konsumen. Saat ini memang kontribusi ekonomi masih didominasi generasi X dan baby boomers, namun semua generasi langgas sudah memasuki pasar tenaga kerja dan sedang menapak tangga karier. Sebagian generasi Z juga sudah memasuki pasar tenaga kerja yang berarti turut berkontribusi kepada produksi sekaligus konsumsi.
Memahami para konsumen berbasis sektor yang potensial tetap melaju di 2020, termasuk memahami segmentasi geografi, demografi, psikografi, dan perilaku sesuai dengan kebutuhan perusahaan akan menentukan stabilitas dan keberlangsungan usia perusahaan.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Desember 2019