Menjalankan perusahaan pemula berbasis teknologi (start-up) dapat menimbulkan stres, bahkan depresi, khususnya saat capaian tidak sesuai ekspektasi.
Belum lama ini jagat bisnis Indonesia dihebohkan berita salah satu start-up Indonesia yang sedang melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam jumlah signifikan. Tindakan PHK yang melibatkan tiga digit angka tersebut meski mengejutkan, namun dapat dipahami dalam perspektif keuangan perusahaan yang ingin bernafas lebih lama.
Start-up, atau perusahaan pemula berbasis teknologi, memang sedang tumbuh bagai jamur di musim hujan. Pemerintah Indonesia saat ini rajin menggadang-gadang penambahan jumlah start-up di Indonesia sebagai salah satu cara mencitrakan iklim bisnis Indonesia sebagai ramah industri start-up. Dalam berbagai panggung, pemerintah khususnya melalui Kominfo, rajin menggandeng para pendiri start-up berstatus unicorn untuk tampil ke atas panggung dan membagikan tips serta trik mendirikan start-up sukses.
Tentu saja banyak generasi muda Indonesia yang terbius dengan sorotan citra yang rutin tersebut, apalagi ditambah kisah-kisah para pelaku industri start-up yang bekerja di kantor dengan desain modern, dilengkapi akses internet berkecepatan tinggi, nyaman untuk nongkrong, sambil rapat rutin di kafe sembari menyesap kopi. Efek bius tersebut semakin bertambah kuat saat muncul berita-berita gelontoran dana ratusan ribu hingga jutaan dolar AS yang diterima start-up Indonesia. Sayangnya, banyak dari para pemimpi tersebut lebih banyak menerima kisah-kisah manis yang sebenarnya terbatas daripada kisah pahit dalam menjalankan start-up.
Tekanan investor: tekanan pertumbuhan, tekanan keuntungan
Ecommerce start-up (perusahaan pemula berbasis teknologi perdagangan dalam jaringan) adalah model bisnis dengan persaingan sangat ketat di Indonesia, membutuhkan biaya luar biasa besar, dan dukungan teknologi terkini. Dapat dikatakan, jika ada pemain yang ingin memasuki kompetisi perdagangan daring di Indonesia per 2019, pemain tersebut dapat dikatakan terlambat sehingga jika ingin tetap memaksa masuk, diperlukan biaya luar biasa besar agar dapat menyeruak ke papan atas ecommerce start-up. Start-up yang melakukan PHK massal pada awal artikel, masuk dalam kategori ecommerce start-up yang bertindak sebagai market place (loka pasar).
Saat start-up sudah mendapatkan gelontoran dana, apalagi dalam skala juta dolar AS, sudah pasti start-up tersebut memiliki tugas utama yang wajib dicapai, yaitu meningkatkan valuasi perusahaan dalam skala tiga hingga empat digit per tahun, bahkan lebih. Usaha peningkatan valuasi perusahaan tersebut dapat diraih dengan beberapa cara, antara lain:
- Peningkatan kapasitas teknologi agar dapat melayani penyedia produk dan konsumen dalam jumlah sangat besar (bisa mencapai skala juta per hari),
- Peningkatan jumlah karyawan dan karyawati untuk mendukung peningkatan jumlah penyedia produk dan konsumen tersebut,
- Peningkatan jumlah basis penyedia produk dan konsumen yang berujung pada peningkatan omzet.
Tekanan pertumbuhan dari investor adalah kegiatan normal yang diterima start-up yang sudah menerima gelontoran dana. Hal yang membuat tekanan tersebut menjadi berlipat ganda adalah kenyataan bahwa ketersediaan uang semata belum tentu mampu mewujudkan pertumbuhan tersebut. Ada faktor-faktor lain yang berpengaruh, misal ketersediaan SDM dan dukungan politik.
Anggap dibutuhkan SDM dengan spesifikasi tertentu sebanyak 100, sedangkan pasar hanya bisa menyediakan maksimal 50, berarti start-up tidak bisa mencapai target kecepatan pertumbuhan yang diinginkan. Agar pertumbuhan yang diinginkan tercapai, perlu mendatangkan SDM dari luar negeri. Namun ternyata ada masalah lain, yaitu isu penolakan TKA oleh masyarakat. Kesialan tersebut bertambah jika pemerintah diam saja alias tidak memberikan dukungan politik untuk mempercepat pertumbuhan melalui perekrutan TKA.
Di saat sama, ada pesaing yang sudah memahami peta tersebut dan memilih pemodal ventura (venture capital) dengan jaringan internasional ke tempat-tempat penyedia SDM mumpuni sekaligus mampu menyediakan dukungan lebih dari sekedar uang untuk pertumbuhan start-up. Maka, pesaing tersebut mampu menyediakan teknologi yang mengatasi masalah ketersediaan SDM dan dukungan politik di Indonesia sehingga produk-produk yang dijual di loka pasar yang dikelola lebih cepat terjual dan didukung dashboard penyedia produk yang lebih canggih daripada pemain serupa.
Akhinya karena kalah bersaing dalam teknologi, persaingan muncul dalam konteks menahan SDM agar tidak berpindah ke lain hati. Komponen gaji besar dan manfaat besar bak korporasi mapan pun diberikan, misal:
- Asuransi kesehatan dengan plafon yang hampir menyamai perbankan papan atas,
- Bonus tahunan,
- Fasilitas karyawan dan karyawati,
- Employee referral program scheme,
- Dan masih banyak lagi.
Berbagai fasilitas bak korporasi mapan tersebut diberikan start-up tersebut belum memiliki pondasi sekuat korporasi mapan. Mungkin terdengar kurang masuk akal, namun semua hal tersebut dilakukan demi mencapai tujuan utama, yaitu peningkatan valuasi perusahaan setinggi dan secepat mungkin. Jika pertarungan demikian berlangsung terus-menerus, pemilik nafas terlama dengan cara bertarung sama adalah start-up dengan dukungan dana terbesar.
Jika start-up dengan dukungan dana lebih kecil tetap berkompetisi dengan cara sama, nafas akan habis. Maka mau tidak mau agar start-up bertahan lama, efisiensi harus dilakukan, antara lain efisiensi keuangan.
Efisiensi keuangan dapat dilakukan dalam bentuk pemotongan fasilitas karyawan dan karyawati, misal kuantitas ketersediaan makanan dan minuman. Sedangkan cara lain yang lebih efektif dan berdampak signifikan adalah memotong biaya per individu alias melakukan PHK secara massal. Adanya PHK massal membuat beban biaya perusahaan dapat berkurang signifikan yang berarti dapat membuat start-up bertahan lebih lama. Harapan selanjutnya tentu mampu meraih keuntungan yang lama diidamkan setelah membakar uang bertahun-tahun.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah tayang di Majalah Marketing edisi Oktober 2019