Transformasi Pola Pikir Konvensional ke Pola Pikir Dinamis

Membangun perusahaan dari nol jelas hal sulit. Namun lebih sulit lagi memertahankan dan mengembangkan perusahaan lintas generasi

Belum lama ini di kalangan pengusaha, marketer, profesional SDM, dan banyak entitas bisnis lainnya beredar tulisan mengenai stasiun televisi swasta yang belum lama berdiri dibandingkan dengan stasiun televisi lainnya, namun sudah berani jor-joran skala tinggi. Mulai dari kualitas gambar definisi tinggi (HDTV), fasilitas studio yang megah, hingga standar gaji di atas rata-rata industri. Tujuannya memang idealis, yaitu memberikan tayangan berkualitas tinggi dari sisi konten hingga fitur kepada kalangan menengah atas di wilayah urban.

Namun idealisme tersebut tidak dibarengi realitas. SES A dan B memang masih ada, namun berapa banyak dari mereka yang masih melihat media TV konvensional? Jika masih ada, berapa jumlah mereka? Apakah nilainya sepantar dengan semua biaya pokok yang sudah dikeluarkan untuk menjalankan stasiun televisi tersebut plus laba yang diinginkan?

Anggap masih tahap investasi (membakar uang), namun bisa berapa lama bertahan? Jika ternyata respon terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sudah disampaikan adalah negatif, dapat dipahami isu-isu negatif seputar stasiun televisi tersebut segera viral dan mungkin, itulah contoh menjalankan idealisme dengan pola pikir konvensional di era digital.

Bergeser dari stasiun televisi tersebut, mari kita perhatikan produk-produk lokal yang sudah bertahan minimal dua generasi dan terindikasi mampu melintasi era digital. Tentu cara mereka melakukan pemasaran saat ini berbeda dengan cara mereka melakukan pemasaran di era 10 atau 20 tahun lalu.

Jika era orang tua kita, misal Baby Boomers saat usia 18 s.d. 28, sangat terbiasa mengisi waktu dengan membaca media cetak dan menonton televisi, generasi X dan Y saat berusia 18 s.d. 28 tahun sudah memiliki pilihan konsumsi media yang lebih bervariasi dan tervalidasi berbagai lembaga riset. Varian pilihan media tersebut ada kemungkinan lebih didominasi media berbasis internet, misal media sosial, media video daring, dan situs berita daring.

Jadi, meski segmen usia konsumen yang dituju, status sosial ekonomi, dan selera terhadap produk tertentu relatif tetap, pilihan media yang dikonsumsi dan gaya bahasa yang digunakan sangat mungkin mengalami perubahan.

Menggeser gaya pikir konvensional ke gaya pikir dinamis melalui data

Gadis Indonesia – sumber Hary Prabowo – Pixabay

Sebuah produk Fast Moving Consumer Good (FMCG) pada dekade 90an yang menyasar konsumen usia 18 s.d. 36, pria & wanita, tinggal di urban, status ekonomi AB, dan suka cemilan secara umum melakukan marketing terintegrasi sebagai berikut untuk berkomunikasi dengan konsumen:

  1. Pemanfaatan media cetak (koran, majalah, selebaran, dan brosur),
  2. Pemanfaatan media televisi (semua media TV utama),
  3. Pemanfaatan media radio (semua radio terkemuka di ibu kota provinsi),
  4. Pemanfaatan media luar ruang (misal: baliho),
  5. Kegiatan-kegiatan aktivasi merek di lapangan.

Berbagai media dan kegiatan  tersebut dilakukan karena segmen konsumen yang dipilih memang mengonsumsi media cetak, media televisi, media radio, melihat baliho, dan tertarik mengikuti keriaan aktivasi merek. Karena paparan rutin dan berkelanjutan hingga dorongan melakukan transaksi, dengan asumsi didukung dana yang sangat mencukupi, kemungkinan produk FMCG tersebut meraih keberhasilan pasar sangat besar.

Anggap produk FMCG tersebut mampu bertahan dan berkembang melintasi waktu hingga tahun 2019. Produk tersebut juga masih melayani keinginan konsumen usia 18 s.d. 36, pria & wanita, tinggal di urban, status ekonomi AB, dan suka cemilan. Hampir bisa dipastikan konsumen tersebut meski sama-sama berusia 18 s.d. 36 tahun, memiliki pola pikir dan pola konsumsi media yang berbeda dengan konsumen usia 18 s.d. 36 tahun pada dekade 90an.

Alasan-alasan yang mendasari pernyataan terseut adalah generasi muda Indonesia yang lebih terdidik, lebih informatif, dan lebih terpapar teknologi digital dibandingan dengan generasi sebelumnya. Khusus berbicara mengenai teknologi digital, pada dekade 90an masih sangat sedikit konsumen Indonesia yang mengetahui teknologi internet. Biaya mengaksesnya pun sangat mahal sehingga menjadikan media internet sebagai salah satu media komunikasi pemasaran jelas sangat membebani keuangan perusahaan.

Kecantikan Wanita Indonesia – sumber Pixabay – agoengadyrirawan76

Pada tahun 2019, konsumen usia 18 s.d. 36 tahun yang mewakili Generasi Y dan Generasi Z adalah generasi yang sangat terkoneksi dengan internet dan mereka familier dengan surel, blog, aplikasi pesan instan, media sosial, dan media daring (Badan Pusat Statistik, Profil Generasi Milenial Indonesia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018).

Karena mereka sangat terhubung dengan teknologi internet, media komunikasi marketing yang perlu dilakukan pun menjadi berbeda, misal dengan langkah-langkah prioritas sebagai berikut:

  1. Pemanfaatan media sosial (Facebook, Instagram, dan YouTube),
  2. Pemanfaaan loka pasar daring (Tokopedia dan Bukalapak),
  3. Situs dan aplikasi merek FMCG,
  4. Kegiatan -kegiatan aktivasi merek di mal-mal dengan penekanan gaya hidup,
  5. Pemanfaatan media radio konvensional dan daring (hanya di ibu kota negara dan pada jam-jam kemacetan muncul),
  6. Pemanfaatan media televisi (televisi tertentu)

Seperti dapat diperhatikan dari contoh di atas, radio dan televisi masih digunakan sebagai media komunikasi pemasaran, tetapi letaknya di dua terbawah. Sedangkan tiga teratas didominasi oleh penggunaan media berbasis internet. Kemudian, media cetak dan media luar ruang (baliho) sudah tidak digunakan lagi.

Langkah tersebut dilakukan perusahaan yang menaungi produk FMCG tersebut karena temuan data bahwa segmen konsumen mereka dalam rentang waktu bangun tidur hingga tidur lagi secara umum melakukan kegiatan di bawah ini:

06.00: bangun tidur dan mengecek ponsel pintar untuk melihat media sosial dan aplikasi pesan instan.

06.30 – 07.30: persiapan aktivitas luar ruang (mandi, ganti baju, dan sarapan) sambil diselingi mengecek ponsel pintar.

07.30 – 08.30: Keluar rumah dan menaiki kendaraan pribadi. Di sela-sela perjalanan melihat YouTube sambil mendengarkan radio.

08.30 – 09.00: Memarkir mobil di dekat stasiun MRT, lalu menaiki MRT. Di dalam MRT sembari menunggu sampai tujuan, melihat linimasa media sosial.

09.00 – 12.00: Bekerja.

12.00 – 13.00: Makan siang sambil mengecek berbagai loka pasar daring untuk membandingkan mana yang memiliki harga termurah.

13.00 – 17.00: Kembali bekerja.

17.00 – 19.00: Sepulang bekerja, nongkrong dulu di mal dengan penekanan gaya hidup. Jika di tempat nongkrong ada televisi, disambi menonton televisi.

19.00 – 19.30: Menaiki MRT dan di dalam MRT sembari menunggu sampai tujuan, melihat linimasa media sosial.

19.30 – 20.30: Pulang ke rumah menaiki kendaraan pribadi. Di sela-sela perjalanan melihat YouTube sambil mendengarkan radio.

20.30 – 22.30: Bersantai di rumah sambil persiapan tidur (mandi, makan cemilan, mengecek media sosial dan aplikasi pesan instan).

22.30: Menjelang tidur, mengecek dulu aplikasi-aplikasi di ponsel pintar.

Maka dapat dilihat bahwa data temuan perusahaan ternyata selaras dengan data BPS (2018) yang menyatakan bahwa generasi milenial Indonesia sangat terkoneksi internet. Tentu menjadi wajar jika media komunikasi marketing yang digunakan memiliki pertalian erat dengan internet.

Ingat bahwa bahwa dalam situasi pasar dengan persaingan ketat, produk yang mampu bertahan lama adalah produk yang berorientasi pelanggan. Ingat pula bahwa profil pelanggan selalu dinamis dan tidak pernah statis. Menjadi tugas Marketing Award dan Majalah Marketing untuk menemukan perusahaan-perusahaan dengan strategi marketing terbaik yang memahami pelanggan.

Jakarta, 16 Agustus 2019

(Andika Priyandana)

Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi September 2019

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s