Apa jadinya Jakarta saat ibu kota dan pusat pemerintahan benar-benar pindah ke luar Pulau Jawa?
Palu telah diketuk oleh Presiden Joko Widodo. Ibukota negara Indonesia diputuskan untuk pindah ke luar Pulau Jawa. Tidak lagi sekedar wacana seperti pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, selain langkah politik berupa pernyataan presiden di depan publik, rencana pemindahan ibu kota sudah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2025.
Saat keputusan tersebut benar-benar terealisasi, kita tidak akan lagi melihat Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis Indonesia. Opini-opini miring dari warga Indonesia suku dan etnis non-Jawa serta berasal dari luar Jawa yang berkali-kali menyatakan pemerintahan Indonesia sangat berorientasi geografis Jawa bakal ternetralisir. Lantas, akan menjadi hal menarik untuk mengetahui nasib Jakarta pasca pemindahan ibu kota karena pembangunan infrastruktur dan perputaran uang beberapa puluh tahun terakhir sangat condong ke wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Jakarta (hanya) sebagai pusat bisnis Indonesia
Jakarta sudah sejak lama memiliki citra tidak ramah di mata rakyat Indonesia. Selain sebagai pusat kekuasaan, Jakarta juga menjadi pusat bisnis yang mana persaingan antarpenduduk sangat kentara untuk berebut kue ekonomi. “Ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri” dan “Siapa suruh datang ke Jakarta” adalah contoh-contoh ujaran penggambaran tidak ramahan Jakarta kepada penghuni dan pendatang.
Pasca pemindahan ibu kota dan pusat pemerintahan ke luar Jakarta, setidaknya citra “ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri” dapat menghilang atau minimal ternetralisir pada kosakata “ibu kota”. Lalu, kepindahan pusat pemerintahan dan ibu kota ke luar Jakarta turut memberikan kesempatan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan penyegaran jenama yang sesuai dengan situasi dan kondisi Jakarta yang terbaru.
Ada beberapa konsep yang dapat kita gunakan, salah satunya adalah “Nation Branding” karya Profesor David J. Reibstein dari Wharton School of Business. Konsep Nation Branding karya beliau dapat diterapkan dalam konteks kota dan telah dieksekusi melalui survei terukur bersama dengan Frontier Consulting Group. Melalui survei yang dipublikasikan per 2017, persepsi masyarakat Indonesia mengenai kota-kota di Indonesia dapat terpetakan dengan jauh lebih baik dan karenanya, dapat menjadi pegangan para pejabat pemerintah daerah yang ingin menjadikan wilayahnya terus berkembang ke arah yang lebih baik.
Lalu ada juga konsep “City Branding” karya Simon Anholt melalui Anholt-GfK Roper City Brands Index, Saffron European City Brand Barometer, dan Creative City International – The Vitality Index.
Khusus mengenai Anholt-GfK Roper City Brands Index (ACBI), akarnya berasal dari Nation Brands Index yang pada tahun 2005 memperoleh kesuksesan komersial. ACBI melalui GfK Roper Public Affairs & Corporate Communications melakukan survey 40 pertanyaan kepada 20.000 orang dari 20 negara mengenai 50 kota yang dilakukan secara daring. ACBI memiliki enam parameter yang mengukur karakteristik kota.
Model pengukuran temuan Anholt dengan definisi city branding mengukur merek sebuah kota dari asosiasi yang teridentifikasi. Jadi, merek suatu kota adalah penjumlahan persepsi semua orang yang saling berinteraksi dalam jejaring informasi yang mereka miliki. Hasil dari pengukuran atau data yang diperoleh tentulah harus diketahui para pemangku kepentingan dan pengambil keputusan yang memiliki niat memajukan kota mereka. Maka, mereka dapat mengetahui karakteristik unik yang dapat diturunkan dalam gambar dan angka.
Jakarta: Citra apa yang ingin ditonjolkan?
Megapolitan-megapolitan yang ada di dunia memiliki merek yang terbangun secara organik. Sebagai contoh Paris identik dengan romantis, Hong Kong identik dengan berdagang, Kuta identik dengan eksotik, dan mungkin, Jakarta dapat diidentikkan dengan berbisnis.
Namun patut menjadi catatan bahwa kota ibarat manusia yang sulit diambil asosiasi tunggal untuk mencerminkan karakter. Seperti laiknya manusia, karakter-karakter yang dimiliki kota selalu bersifat multi-dimensi dan berubah. Maka, usaha menciptakan merek daerah yang kaku, stagnan, dan artifisial adalah tindakan ceroboh dan bodoh.
Amsterdam menuai sukses luar biasa dengan “I AMsterdam”. Kunci keberhasilan jenama Amsterdam adalah komunikasi dan kerja sama yang terintegrasi serta terarah mulai dari para pemimpin publik hingga para pemangku kepentingan untuk mencari dan mempublikasikan identitas Amsterdam yang terdiri dari berbagai latar belakang suku bangsa, agama, dan latar belakang budaya.
Dari hasil kerja terintegrasi tersebut, didapatkan karakter Amsterdammer (Penduduk Amsterdam) sebagai pemaaf, heroik, terbuka, aktif, artistik, blak-blakan, penuh humor, melawan otoritas, dan agak anarkis.
Bagi kita, khususnya generasi senior dengan pengalaman melanglang buana di Eropa Barat, tentu mengenal Amsterdam sebagai kota “sex, drugs, and rock-and-roll” sejak akhir dekade 60an. Namun stigma generasi bunga tersebut sudah mulai luntur di era modern. Kini, Amsterdam adalah merek yang sangat menarik di mata pebisnis dan turis. Selain urusan bisnis dan wisata, Amsterdam memiliki DNA toleransi tingkat tinggi dan sikap liberal yang bisa membuat gegar budaya bagi yang jarang hidup beraneka warna.
Jelas bahwa Amsterdam memiliki modal yang sangat kaya dari sisi warisan budaya maupun kontur alam untuk melakukan city branding. Moto ‘I AMsterdam’ pun tersemat sejak September 2004 dan menjadi contoh kasus kesuksesan city branding dan city marketing di berbagai literatur penelitian bisnis dan tata kelola pemerintahan kota.
Langkah-langkah merumuskan citra jenama Jakarta
Belajar dari pengalaman Amsterdam dan kota besar dunia lainnya yang sukses menonjolkan karakter yang menarik di mata dunia, Jakarta tentu juga bisa melakukannya. Apalagi, Jakarta sudah memiliki banyak modal, antara lain Kota Tua – Oud Batavia, kota dengan infrastruktur paling lengkap di Indonesia, transportasi publik modern, kekayaan budaya, dan masih banyak lagi. Dengan basis pengetahuan marketing, kita bisa melakukan langkah-langkah berikut untuk merumuskan serta memetakan citra dan karakter Jakarta.
Langkah Pertama: Riset Pasar.
Lakukan riset baik kepada penduduk kota Jakarta, komuter Jakarta, penduduk kota lain di Indonesia, dan warga negara asing dengan berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan sosio ekonomi untuk mengetahui pandangan mereka mengenai karakter yang menonjol dari Jakarta dan para penduduknya. Langkah ini adalah langkah standar saat kita ingin merumuskan karakter produk dan dalam konteks city branding dan city marketing, langkah ini sudah disebutkan dalam berbagai literatur.
Para pemangku kepentingan dan pemerintah kota serta provinsi DKI Jakarta harus mengetahui bahwa Jakarta bakal tergeser dari posisi puncak untuk urusan tujuan konvensi, acara, dan berbagai pertemuan yang berhubungan langsung dengan pemerintah pusat. Karenanya, perlu ada kesadaran bersama mengenai penyegaran jenama Jakarta.
Dari hasil keluaran studi, dapat diambil tiga hingga lima nilai khas Jakarta. Tiga hingga lima nilai tersebut ditentukan sebagai profil kota Jakarta yang dapat terbagi lagi hingga menjadi belasan atau bahkan puluhan subnilai. Sebagai contoh, orang Jakarta, komuter, penduduk kota lain, dan orang asing adalah menjadikan Jakarta sebagai pusat bisnis dan maka, mereka menjalankan berbagai bisnis mulai dari kuliner, perhotelan, hingga logistik. Maka, salah satu nilai atau karakter yang dapat dilekatkan ke Jakarta baik sebagai daerah maupun personifikasi manusia adalah kota bisnis – aktif berbisnis.
Langkah Kedua: Pembentukan Visi. Jakarta memiliki banyak fungsi, misal sebagai:
- Kota budaya Betawi, China, Arab, dll, yang ada di satu wilayah,
- Kota pertemuan berbagai urusan bisnis dan pemerintahan,
- Kota pengetahuan tempat berbagai institusi pendidikan dasar dan pendidikan tinggi ternama berada,
- Kota bisnis yang terkenal dengan segitiga emas, dan
- Kota tinggal yang terdapat kantong penghuni elit, menengah, dan kumuh.
Kelima hal di atas dapat dijadikan sebagai dimensi-dimensi prioritas Jakarta. Dari lima dimensi tersebut juga dapat dilihat bahwa Jakarta lebih dari sekedar kota bisnis. Jakarta juga menjadi tempat untuk hidup dan belajar. Maka, Jakarta memerlukan pencitraan jenama yang tidak sekedar menonjolkan gedung-gedung dan MRT, tetapi sekaligus katalis perubahan kota yang riil pasca pindahnya ibu kota ke luar Pulau Jawa.
Langkah Ketiga: Menyusun Kegiatan Marketing Jenama Jakarta dan kegiatan marketing yang dilakukan setelah mendapatkan keluaran data hasil riset pasar harus menonjolkan karakter intrinsik yang sangat sulit dibedakan di antara grup audiens responden dengan berbagai latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan sosio ekonomi. Lalu keluaran data tersebut diolah hingga terasa konsensus bersama yang menjadi asosiasi pertama yang melekat dengan Jakarta dan menjadi kondisi awal untuk beranjak ke tahap berikut yang menjadikan penduduk percaya dengan nilai-nilai inti Jakarta, merasakan ruh Jakarta, dan bangga dengan Jakarta.
Langkah Keempat: Implementasi. Untuk meningkatkan rasa memiliki Jakarta, pemerintah Jakarta sebaiknya membentuk semacam konsorsium, perkumpulan, atau koperasi yang mewakili berbagai elemen penduduk Jakarta. Kesemua proyek dan pihak yang terlibat didesain saling mendukung dan terintegrasi satu sama lain, dengan tujuan utama memasarkan Jakarta.
Bentuk proyek pemasaran Jakarta misalnya acara dan festival, ramah tamah, kebijakan pers internasional, portal internet baru, dan kegiatan pendidikan dasar.
Langkah Kelima: Evaluasi. Sebuah model evaluasi diciptakan untuk keperluan peningkatan kualitas pekerjaan secara efektif dan efisien yang berlangsung rutin, sehingga kontribusi-kontribusi aktivitas marketing di masa depan dapat diukur dan tujuan-tujuan terukur terhubung dengan semua grup audiens yang dituju. Perbarui pula asosiasi dan citra Jakarta secara berkala dengan tujuan melacak perubahan dan preferensi karakteristik kota.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah termuat di Majalah Marketing edisi Juni 2019