“Unicorn” semakin menjadi kosakata yang sangat memikat remaja dan dewasa muda Indonesia. Lalu, seberapa sulit mewujudkan cita-cita menjadi unicorn?
Berdasarkan survei Indonesia Millennial Report 2019 yang dikerjakan bersama IDN Research Institute dan Alvara Research Center, aspirasi generasi millennial ndonesia ternyata tidak hanya menerima gaji bulanan melalui pekerjaan tetap. Sebanyak 55,4 persen millennial ingin memiliki usaha sendiri yang artinya tujuh dari sepuluh millennial memiliki impian menjadi pebisnis alias berwirausaha.
Data tersebut sebenarnya sangat menarik, apalagi jika banyak talenta-talenta Indonesia memang benar-benar semakin banyak yang menjadi pengusaha, khususnya yang tidak sekedar dagang tetapi masuk dalam dunia industri. Karena semakin banyak talenta Indonesia yang terlibat dalam dunia industri, deindustrialisasi Indonesia bisa melambat dan berbalik arah. Akhirnya tentu saja industri Indonesia turut terlibat signifikan dalam menjadikan ekonomi Indonesia dari berbasis konsumsi menjadi berbasis produksi. Indonesia tidak sekedar lagi menjadi pasar yang besar, tetapi juga menjadi produsen dengan jangkauan global.
Selain manfaat di atas, kita juga turut terlibat mewujudkan Indonesia Generasi Emas 2045, masa saat era surplus generasi produktif Indonesia mencapai puncak dan harapannya, generasi tersebut memberikan banyak pemasukan bagi negara dan mampu menjadikan Indonesia masuk dalam negara berpendapatan tinggi.
Lalu, saat kita mengecek data kata kunci populer di Google AdWords, terdapat kata kunci-kata kunci populer yang selaras dengan temuan survei IDN Research Institute dan Alvara Research Center. Kaya kunci-kata kunci tersebut antara lain “bisnis apa ya?”, “usaha apa ya?”, “bisnis yang gampang apa ya?”, dll adalah tanda bahwa minat menjadi pebisnis memang eksis dan besar.
Namun di sisi lain, penelusuran dengan kata kunci tersebut turut menunjukkan berbisnis atau mendirikan start-up itu susah. Sekedar memikirkan bisnis yang cocok untuk kita saja sudah kesulitan. Hal tersebut belum terhitung dengan menjalaninya.
Kita akan berurusan dengan banyak isu dan karenanya, kita harus mengetahui lima hal berikut terlebih dahulu jika ingin berbisnis, menjalankan start-up, dan menjadikannya unicorn.
Kesatu, ketahui apa itu unicorn. Sebutan unicorn tersemat spesial untuk perusahaan-perusahaan, khususnya yang terlibat dalam industri modal ventura, dan berhasil mendapatkan valuasi minimal $1 milyar. Bagi pengusaha konvensional dan mengetahui bagaimana proses valuasi unicorn, angka $1 milyar mungkin terkesan gelembung, seperti halnya kasus gelembung dotcom pada awal abad 21.
Namun tidak dapat dipungkiri, seperti yang sudah disebut dalam artikel Majalah Time bahwa perusahaan-perusahaan muda dan sangat penuh energi ini telah menancapkan pengaruhnya dengan sangat kuat dalam dunia bisnis yang kompetitif; menciptakan rasa terancam pada perusahaan-perusahaan konvensional.
Perusahaan-perusahaan ini, yang lazim disebut start-ups, sekarang seperti ada di mana-mana, mulai dari benua Amerika, Eropa, hingga Asia. Sebutlah nama-nama seperti Uber, Xiaomi, Spotify, Airbnb, Go-jek, Traveloka, Tokopedia, dan Bukalapak. Inilah perusahaan-perusahaan yang dibekingi oleh pasar bullish dan terdiri dari generasi baru pelaku teknologi disruptif.
Kedua, pahami ekonomi makro. Pada tahun 2013, dari lima perusahaan paling bernilai di bumi, hanya ada satu perusahaan teknologi informasi, yaitu Apple. Per 2018, dari lima perusahaan paling bernilai di bumi, kelimanya adalah perusahaan teknologi informasi. Tren global menunjukkan bahwa ekonomi selalu dinamis dan karenanya, jalur menuju perusahaan paling bernilai juga selalu berubah.
Data tersebut turut menunjukkan bahwa ada perubahan paradigma dari ekonomi berbasis komoditi ke ekonomi berbasis properti intelektual / berbasis budaya serta ekonomi berbagi (sharing/circular economy).
Pesan utama dari hal kedua adalah, jangan mencoba melawan kondisi pasar terkini. Kita bisa membentuk masa depan kita, tetapi kita tetap perlu memerhatikan arah arus ekonomi. Jika memang jalan menjadi perusahaan paling bernilai di muka bumi tidak lagi melalui jual beli hasil bumi, maka jangan memaksakan kehendak.
Ketiga, terus tingkatkan nilai tambah profil para pendiri start-up. Perusahaan modal ventura papan atas melihat profil sang pendiri start-ups sebagai faktor pertama dan paling utama agar perusahaannya bersedia menggelontorkan dana. Bahkan di mata mereka, pendiri yang memiliki pengalaman bisnis itu kurang penting. Yang jauh lebih penting adalah keinginan untuk selalu belajar.
Bahkan pendiri yang memiliki banyak pengalaman bisnis bisa mendatangkan kekhawatiran tersendiri bagi perusahaan modal ventura. Bentuk kekhawatiran itu adalah si pendiri terlalu dikendalikan oleh pengalamannya di masa lalu dalam menjalankan bisnis. Padahal bisa jadi pengetahuannya tersebut kurang cocok dalam situasi dan kondisi terkini.
Selain penyampaian di atas, ada tiga faktor yang dilihat pemodal ventura papan atas dalam diri seorang pendiri startup. Faktor pertama adalah integritas. Apakah profil pendiri adalah jujur, bersih, lurus, dan bisa dipercaya menjadi perhatian pemodal ventura. Sedangkan faktor kedua adalah cara berpikir yang paradoks. Maksud paradoks di sini adalah memiliki pengetahuan global dunia start-ups dan di saat yang sama memiliki kecerdasan lokal menerapkan pengetahuan tersebut dalam konteks Indonesia. Faktor ketiga adalah gairah, yang berarti tidak menunda-nunda atau terlalu banyak berpikir saat akan bekerja. Sang pendiri tidak segan untuk merasakan segala risiko yang mungkin timbul dari tindakannya untuk langsung terjun tanpa terlalu banyak perhitungan.
Keempat, miliki model bisnis yang scalable. Ingat pada hal kedua bahwa tren ekonomi terkini adalah ekonomi berbasis properti intelektual / berbasis budaya serta ekonomi berbagi. Melalui bentuk ekonomi tersebut, duplikasi model bisnis jauh lebih mudah dilakukan daripada masa lalu.
Sebagai contoh, jika kita memberikan hak waralaba, maka pastikan kita sudah memiliki jenama yang kuat, produk yang populer, dan model bisnis yang teruji sebelum menawarkan ke pihak lain. Dalam konteks terkini, jika kita memiliki produk teknologi informasi berupa piranti lunak dan melakukan penjualan secara daring, maka biaya produksi per unit piranti lunak mendekati nol dan biaya distribusi dapat ditekan serendah mungkin.
Tentu saja sebelum melakukan semua itu, pastikan kita memiliki pemahaman pasar yang baik dan memiliki produk yang mampu memenuhi kebutuhan pasar tersebut.
Kelima, selalu cek realitas pertumbuhan start-up. Kenyataan pertama yang sudah disampaikan di awal artikel mengenai dunia wirausaha di Indonesia, tren mendirikan bisnis sendiri semakin meningkat. Semakin banyak pemuda dan pemudi Indonesia yang memilih berbisnis bukan karena kepepet, tapi karena ada kesempatan dan menjadi pilihan personal sedari awal. Ini adalah kenyataan yang baik.
Kenyataan kedua dunia wirausaha di Indonesia, banyak dari para pemuda dan pemudi tersebut belum memiliki pengalaman bisnis dan bahkan tidak mengetahui administrasi bisnis. Mereka memiliki ide mengenai suatu barang atau jasa, kemudian mengeksekusi ide tersebut, dan berpikir mereka sudah menjalankan bisnis dengan baik. Jelas ini bukan kenyataan yang baik.
Menjalankan bisnis adalah hal yang sangat sulit. Berbagai riset menunjukkan bahwa tingkat stres yang dialami para pemilik dan pelaku bisnis lebih tinggi dari para karyawan dan karyawati. Menjalankan bisnis tidak sekedar memikirkan sebuah ide bisnis, menjalankannya, dan melakukan validasi beberapa asumsi.
Mungkin ada di antara kita yang beropini sudah mengetes asumsi-asumsi paling berisiko dan mereka ternyata salah. Kemudian berdasarkan kesalahan tersebut, segera memikirkan asumsi-asumsi baru yang sepertinya layak dijalankan. Bagus, tetapi kegiatan tersebut hanya sebagian sangat kecil dari pertumbuhan bisnis.
Mengeksekusi rencana bisnis usaha rintisan adalah proses yang monumental, melelahkan, terus-menerus, dan sangat menekan mental sekaligus spiritual. Inilah fase ‘cek realitas’ dalam pertumbuhan bisnis usaha rintisan. Pada fase inilah, para pelaku usaha rintisan mulai mampu membedakan mana khayalan dan mana kenyataan yang tetap didukung sikap optimis.
Menjalankan bisnis ternyata tidak sekedar menciptakan transaksi jual beli dan akuisisi konsumen yang sudah memusingkan kepala. Berbisnis juga melibatkan urusan legal formal, pengurusan SIUP dan NPWP, pengecekan manajemen operasional, memastikan rantai pasokan, melakukan pencatatan keuangan setiap waktu, dan masih banyak lagi detail-detail kecil lainnya.
Ya, realitas bisnis memang menciutkan nyali. Maka sedari awal, usahakan menjalankan bisnis yang berada dalam lingkup pengetahuan dan sumber daya yang kita miliki. Semakin jauh lingkup pemahaman dan sumber daya yang kita miliki, risiko kegagalan pun meningkat.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah terbit di Majalah Marketing edisi Juni 2019