Kecerdasan buatan benar-benar bisa menggantikan petugas pelayanan pelanggan, minimal dalam kegiatan repetitif saat berhubungan dengan konsumen.
Tidak perlu menunggu 5, 10, 50, atau bahkan 100 tahun lagi seperti yang ada di film-film sains fiksi saat kita melihat robot-robot berbicara dengan suara kaku, CEO Google, Sundar Pichai, membuktikan langsung di atas panggung I/O 2018 melalui Google Assistant. Betul, tahun 2018, meski masih dalam tahap purwarupa sudah menunjukkan bahwa peran manusia benar-benar bisa digantikan kecerdasan buatan. Salah satu contoh adalah keperluan menerima telepon dari pelanggan.
Di atas panggung I/O 2018, CEO Sundar Pichai secara langsung menunjukkan peran Google Assistant di sebuah salon rambut saat menerima panggilan telepon dari seorang pelanggan yang ingin melakukan pemesanan waktu dan tempat. Suara penerima telepon terdengar sangat alami hingga pelanggan yang menelepon tidak menyadari bahwa dia berbicara dengan suara kecerdasan buatan, bukan manusia. Bahkan, Google Assistant juga mengeluarkan kosakata kasual “mmmhmmm” pada awal pembicaraan.
Sundar Pichai lalu menegaskan bahwa yang dia tunjukkan benar-benar panggilan telepon asli menggunakan Google Assistant dan bukan demo atau rekayasa. Teknologi yang Google gunakan memungkinkan Google Assistant memahami nuansa warna obrolan. Sundar Pichai menamai teknologi tersebut Google Duplex.
Peran AI sebagai petugas pelayanan pelanggan
Google Duplex yang ditunjukkan Pichai adalah pamer teknologi AI yang terbaru yang meski demikian, disampaikan masih dalam tahap pengembangan sangat awal. Pichai menyampaikan bahwa Google berencana mengadakan uji awal Google Duplex pada musim panas 2018 untuk membantu pengguna melakukan pemesanan tempat di restoran, menjadwalkan janji potong rambut, dan mendapatkan waktu libur melalui telepon.
Saat ini, teknologi Google Duplex berfokus menyelesaikan tugas spesifik, yaitu menjadwalkan waktu perjanjian. Untuk menyelesaikan tugas tersebut, sistem Duplex memungkinkan pengalaman mengobrol terasa sealami mungkin, memungkinkan manusia yang terlibat berbicara secara normal, bagaikan berbicara dengan manusia lainnya dan bukan dengan mesin.
Tentu saja impian Google tidak berhenti sekedar pada penciptaan teknologi suara kecerdasan buatan untuk membuat janji dengan manusia, tetapi juga untuk menyelesaikan tugas-tugas lainnya yang berhubungan dengan dunia bisnis. Hal terakhir yang patut diingat, Google tentu bukan satu-satunya perusahaan teknologi yang mengembangkan kecerdasan buatan. Maka, potensi kompetisi kecerdasan buatan dengan manusia meningkat karena perkembangan teknologi kecerdasan buatan dapat semakin cepat dengan keberadaan lebih dari satu pengembang teknologi.
Bentuk kompetisi dengan kecerdasan buatan tersebut dalam jangka pendek dan menengah ada pada pekerjaan-pekerjaan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Pekerjaan yang bersifat repetitif, misal menangani permintaan transaksi konsumen,
- Pekerjaan dengan standar operasi sangat baku.
Dari dua ciri di atas, tak dapat dipungkiri jika salah satu pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan pelanggan dapat digantikan oleh kecerdasan buatan. Contohnya adalah yang sudah disampaikan sebelumnya, yaitu petugas penerima telepon dari pelanggan.
Berdasarkan data yang sudah disampaikan dalam artikel ini, terlihat kecerdasan buatan dalam wujud petugas layanan pelanggan yang menerima telepon sudah memiliki segmen konsumen yang sangat potensial, yaitu dunia industri yang memiliki atau mengalihdayakan operasional pusat kontak pelanggan.
Pusat kontak pelanggan memiliki permintaan pelanggan yang bersifat repetitif dan memiliki standar operasi sangat baku. Berarti, kecerdasan buatan mampu menggantikan peran manusia sebagai petugas pelayanan pelanggan, minimal untuk tahap komunikasi awal dengan pelanggan. Saat pembicaraan dengan pelanggan semakin intens, kompleks, dan mendalam, barulah petugas pelayanan pelanggan yang benar-benar manusia dapat masuk dalam pembicaraan untuk menggantikan kecerdasan buatan.
Penerapan kecerdasan buatan dalam melayani pelanggan di Indonesia
Memang teknologi kecerdasan buatan dalam bentuk suara manusia yang dapat memberikan warna natural dan hampir tidak bisa dibedakan dengan manusia riil masih tahap purwarupa, tapi bukan berarti tidak ada teknologi kecerdasan buatan lain yang belum dipakai di dunia pelayanan pelanggan. Teknologi chatbot adalah teknologi kecerdasan buatan yang sudah umum digunakan di Indonesia, khususnya untuk pertanyaan-pertanyaan bersifat repetitif dan jawaban-jawaban standar.
Jika pertanyaan yang diajukan konsumen sudah lebih kompleks sehingga membutuhkan jawaban matang, petugas pelayanan pelanggan asli segera mengambil alih chatbot. Hal ini ditegaskan dengan pernyataan perwakilan Bank Mandiri sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia.
Shanti Ariani, Vice President – Customer Care Group PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, menyampaikan, “Artificial Intelligence dapat membantu peran agent contact center, tetapi belum dapat sepenuhnya menggantikan. Untuk permintaan nasabah yang sifatnya informasi, keberadaan Mandiri Intelligent Assistant (MITA) sangat membantu. Contohnya saja dalam pemberian informasi lokasi ATM dan Cabang Bank Mandiri yang sebelumnya merupakan salah satu informasi yang sering ditanyakan di contact center kami, sekarang sudah dapat diinformasikan melalui MITA. Harapan kami ke depannya tentunya lebih banyak lagi interaksi yang dapat diberikan oleh MITA.”
Shanti kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai alasan teknologi kecerdasan buatan belum bisa menggantikan peran manusia sepenuhnya, “Karena biasanya membutuhkan probing yang lebih dalam, teknologi AI belum dapat sepenuhnya menggantikan peran agent contact center dalam menangani permintaan dan keluhan yang lebih kompleks, selain itu hal mendasar yang saat ini masih menjadi pembeda antara layanan yang diberikan oleh agent contact center dengan teknologi AI adalah kedalaman empati yang diberikan kepada nasabah oleh agent contact center.”
Etika dalam kecerdasan buatan
Dari penyampaian yang sudah ada, kemajuan teknologi kecerdasan buatan sangat mungkin memunculkan perdebatan etika, antara lain dampak terhadap lapangan pekerjaan dan peningkatan jumlah pengangguran. Namun, ini adalah perdebatan yang sudah berlangsung lama sejak kemunculan revolusi industri.
Dulu kala mesin uap tercipta, manusia memiliki alat untuk produksi massal sekaligus mengurangi peran manusia dalam kegiatan produksi secara signifikan. Misal, jika sebelumnya produksi selembar kain membutuhkan waktu seminggu dengan 100% campur tangan manusia, mesin dapat mengerjakan dan menyelesaikan hanya dalam sehari.
Lalu muncul revolusi industri kedua, ketiga, dan kini kita memasuki revolusi industri keempat. Perdebatan etika pun terus berulang. Namun jika kita perhatikan secara makro, peradaban manusia justru maju pesat pasca revolusi industri. Dengan penciptaan mesin-mesin yang mendukung (dan bahkan menggantikan) pekerjaan manusia, justru tercipta pekerjaan-pekerjaan baru yang mungkin tidak terpikirkan sama sekali seabad lalu.
Kemajuan signifikan peradaban manusia ada antara lain karena teknologi membuat biaya produksi per unit barang berkurang signifikan. Dalam konteks kecerdasan buatan untuk pelayanan pelanggan, teknologi tersebut juga dapat mengurangi biaya perusahaan, misal jasa asuransi, untuk mengadakan pusat komunikasi pelanggan.
Lantas, bagaimana dengan manusia yang kehilangan pekerjaan karena kecerdasan buatan? Manusia adalah makhluk yang berpikir. Manusia harus adaptif. Manusia harus terus belajar. Tidak ada yang bertahan selamanya. Lagipula, tidak mungkin kita selamanya jadi petugas penabuh gong di tengah pasar atau penyala lampu jalan kan?
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)