Parpol Agama dan Identitas Agama dalam Politik, Quo Vadis?

Pandangan dan prediksi mengenai arah parpol Islam dan penggunaan isu agama dalam politik di Indonesia.

Kartu anggota parpol agama pernah saya miliki saat saya baru saja memasuki kategori usia dewasa. Pada masa-masa tersebut, saya memiliki ketertarikan untuk memelajari agama yang saya anut secara mendalam hingga tataran penerapannya dalam politik. Rasanya membosankan jika saya hanya belajar mengaji sejak usia enam tahun, mengenali fikih mazhab dan manhaj yang saya utamakan dalam kehidupan sehari-hari, maupun tajwid dan Bahasa Arab versi amatir saat SMA.

Saya mendapatkan kartu anggota parpol tersebut karena tawaran teman saya yang biasa menjadi teman nongkrong di langgar kompleks rumah. Lalu saat saya bisa menggunakan hak suara pertama kali pada pemilu tahun 2004, saya memilih parpol tersebut. Saat pemilu 2009, saya kembali menggunakan hak pilih saya dan kembali memilih parpol tersebut, namun tidak memilih capres dan cawapres yang diusung parpol tersebut. Tahun 2009 juga menjadi tahun saat saya menyadari identitas politik saya, yaitu pemilih mengambang (swing voter).

Alasan saya menjadi pemilih mengambang adalah idealisme saya yang berganti menjadi realitas bahwa parpol agama ternyata sama dengan parpol non-agama. Ada ketidaksesuaian antara janji dengan kenyataan dan semakin ke sini (2019), tokoh-tokoh parpol agama, termasuk para tokoh yang memiliki latar belakang pemimpin organisasi agama, terjerat kasus korupsi hingga pemerkosaan anak kandung.

Menelisik parpol agama dan penggunaan identitas agama dalam politik

5 Ketum Parpol Ditangkap KPK. Sumber: Katadata

Silahkan perhatikan gambar di atas. Kita bisa melihat bahwa dari lima ketua umum partai yang ditangkap KPK, tiga orang adalah ketua umum parpol agama (PPP dan PKS) dan satu orang adalah mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI. Hanya satu orang dari lima tokoh di atas yang tidak memiliki latar belakang sebagai ketua organisasi agama dan parpol agama.

Selain lima tokoh di atas, ada pula tokoh-tokoh parpol agama yang bukan ketua umum, tapi terjerat kasus korupsi. Bahkan yang lebih gila lagi, ada caleg parpol agama yang mencabuli putri kandungnya sejak anak tersebut masih kelas 3 SD.

Kasus-kasus di atas, selain tumpukan kejadian dan kasus bertahun-tahun sebelumnya, semakin menguatkan keputusan saya menjadi pemilih mengambang dan menganggap bahwa agama sekedar menjadi alat menuju kursi kekuasaan. Kepercayaan saya terhadap peran parpol agama dalam pemerintahan Indonesia sudah luntur akibat tumpukan kejadian ini. Kepercayaan saya terhadap berbagai bentuk promosi politik yang dibungkus agama pun sudah menurun jauh dibandingkan dengan masa-masa saat saya masih dipenuhi idealisme kala remaja hingga menjelang tahun 2009.

Per 2009, saya mempertanyakan idealisme pribadi, mengevaluasi pilihan saya, hingga doktrin-doktrin agama dalam kontestasi politik yang sudah saya terima. Proses berpikir, bertanya, dan riset yang saya lakukan kemudian menghasilkan beberapa pilihan yang sudah saya tuangkan ke dalam artikel-artikel saya yang membahas Islam, antara lain perlu adanya interpretasi ulang teks-teks Islam agar dapat beradaptasi dengan peradaban manusia terkini dan mayoritas pemeluk Islam enggan membawa Islam ke ranah politik.

Khusus temuan saya jika mayoritas pemeluk Islam enggan membawa Islam ke ranah politik dapat dilihat dari perolehan suara dalam pemilu tahun 2014. Persentase populasi pemberi suara sah yang mendukung parpol dengan warna Islam yang kuat hanya sekitar 31.41 persen (PPP, PKB, PKS, PAN, PBB), sebuah penurunan persentase sangat signifikan saat dibandingkan dengan pemilu 1955 yang mencapai sekitar 55 persen (Masyumi dan NU) – dengan catatan pemilu 1955 memiliki cakupan sangat terbatas dibandingkan dengan Pemilu 2014. Persentase 2014 juga secara signifikan berada di bawah persentase penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Saat dibandingkan dengan tahun 2009 dengan perolehan sekitar 27,51 persen (PKS, PKB, PPP, PBB, PAN, PKNU, PPNUI) dan tahun 2004 dengan raihan sekitar 36.91 persen (PKB, PPP, PKS, PBB, PAN, PPNUI), perolehan angka tersebut tetap menggambarkan bahwa keterlibatan pergerakan berbasis Islam dalam politik mendapat tempat yang kecil dalam benak masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Padahal pada pemilu 2014, politik identitas sudah kencang dipasarkan bersama dengan kampanye Pilpres. Tren penggunaan identitas agama, baik positif dan negatif, terlihat semakin kencang digunakan pada pemilu 2019. Namun jika melihat data sejak Pemilu 1955, saya sangat meragukan ada parpol agama yang mampu masuk ke papan atas dan tetap sangat ragu-ragu jika kumpulan suara parpol agama mencapai >50%, paling tidak dalam lima tahun ke depan.

Bahkan saya melihat indikasi kuat bahwa pada Pileg 2019, parpol-parpol agama mendapatkan kumpulan suara relatif stagnan dan bahkan beberapa di antaranya sangat mungkin mendapatkan penurunan perolehan suara dibandingkan dengan Pileg 2014. Alasannya sekali lagi karena semakin banalnya penggunaan identitas agama dalam kontestasi politik di Indonesia, padahal mayoritas umat Islam Indonesia tidak tertarik memasukkan agama dalam konteks politik pemerintahan.

Jika ada parpol agama yang mampu menaikkan perolehan suara, bahkan secara signifikan, kemungkinan tertinggi hanya dimiliki PKB. karena ketokohan Bapak Ma’ruf Amin yang sangat identik dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan maju sebagai cawapres pendamping Bapak Joko Widodo. Sedangkan jika ada parpol agama lainnya yang mampu menaikkan suara meski tipis, kemungkinan hanya PKS. Kemungkinan penyebabnya adalah paparan komunikasi berbasis identitas dengan warna yang sangat lekat ke PKS sudah berlangsung sekitar dua hingga tiga tahun terakhir.

Lalu, PKS pun sebenarnya terlihat sangat menyadari kenyataan bahwa jualan isu agama tidak kuat memacu elektabilitas partai. Maka, yang penjadi daya tawar utama PKS adalah kampanye ultra populis kepada para pemilik suara berupa usaha perwujudan SIM seumur hidup dan penghapusan pajak sepeda motor. Tawaran dua hal tersebut menunjukkan gamblang bahwa menjual isu agama, misal perwujudan perda agama dalam skala luas hanya menarik minat yang sangat kecil.

Parpol agama dan identitas agama dalam politik, mau dibawa ke mana?

Mengedepankan simbol-simbol, agenda, dan slogan agama memang masih mudah menarik simpati masyarakat. Namun dengan semua kasus yang sudah terjadi, seperti korupsi pengadaan Al Quran, politik uang, dan pemerkosaan anak kandung, pemilu 2019 terindikasi menjadi antiklimaks karena para tokoh parpol agama dan tokoh agama yang terlibat dalam politik sudah dianggap melanggar dan melecehkan ajaran agama.

Masyarakat jauh lebih menghujat dan marah terhadap kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan para tokoh parpol agama dan tokoh agama dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang tidak mengusung simbol-simbol agama.

Jika keadaannya sudah demikian, mau di bawa ke mana parpol agama dan identitas agama dalam politik? Apalagi dengan temuan terkait karakteristik dan identitas Islam menurut masyarakat global (termasuk Indonesia) yang sangat mungkin semakin menguatkan proses sekularisasi sistem politik di Indonesia.

Semarang, 16 April 2019

Andika Priyandana

Suntingan 22.04.2019: Selain suntingan minor, PAN akhirnya dimasukkan sebagai parpol Islam setelah sebelumnya para pendiri dan mantan ketua umum menyatakan bahwa PAN adalah parpol nasionalis terbuka.

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s