“Perang Dagang AS versus China adalah hal paling bodoh di dunia” – Jack Ma, pendiri Alibaba Group Holding Ltd
Sepanjang 2018, “perang dagang” menjadi kosakata populer di seantero dunia dan menjadi bahan pembicaraan di berbagai forum ekonomi internasional. Namun, sebelum kita membicarakan mengenai perang dagang secara lebih jauh, sebaiknya kita memahami dengan baik terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perang dagang.
Perang dagang adalah kejadian saat sebuah negara mengenakan tarif atau kuota impor dan negara asing terdampak tarif dan kuota tersebut memberikan tindakan balasan proteksi dagang. Saat adu tarif dan kuota semakin intens, perang dagang menurunkan perdagangan internasional.
Perang dagang biasa dilakukan suatu negara dengan tujuan melindungi industri domestik dan menciptakan lapangan kerja. Dalam jangka pendek, kebijakan tersebut dapat bekerja. Namun dalam jangka panjang, perang dagang berdampak pada ketersediaan lapangan kerja dan menekan pertumbuhan ekonomi negara-negara yang terlibat dalam perang dagang. Lebih jauh lagi, perang dagang juga dapat memacu inflasi saat tarif yang dikenakan menaikkan harga produk-produk impor.
Perang dagang Amerika Serikat versus Republik Rakyat China
Sepanjang 2018, kosakata “perang dagang” meraih popularitas melalui kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Pada 22 Januari 2018, Presiden Trump memulai perang dagang dengan RRC melalui pengenaan tarif dan kuota panel surya dan mesin cuci yang diimpor dari China. Alasan yang dikemukaan pemerintah Amerika Serikat kepada publik adalah adanya defisit perdagangan Amerika Serikat dan China hingga pada 8 Maret 2018, Trump meminta China merencanakan menurunkan defisit neraca perdagangan sebesar USD 100 miliar dari total USD 375 miliar.
China menerima rencana tersebut karena salah satu rencana reformasi ekonomi China adalah mengurangi ketergantungan ekonomi terhadap kegiatan ekspor. Tetapi hal yang patut menjadi perhatian adalah hal tersebut sulit dilakukan karena defisit dipicu oleh permintaan AS yang tinggi terhadap barang-barang berbiaya rendah dari China.
Pada tanggal yang sama, Presiden Trump meluaskan eskalasi perang dagang ke negara-negara lain dengan mengumumkan tarif 25 persen untuk baja impor dan 10 persen untuk aluminium impor. Pengenaan tarif dilakukan karena Amerika Serikat adalah pengimpor baja terbesar dunia dan Trump percaya penerapan tarif akan melindungi 147.000 pekerja baja dan alumnium Amerika Serikat. Tetapi, pengenaan tarif ini dapat menyakiti 6,5 juta pekerja industri Amerika Serikat yang mengimpor baja.
Trump juga menyatakan, “Perang dagang adalah hal baik, dan mudah untuk dimenangkan.” Tetapi pasar berkata lain. Pasar saham di seluruh dunia berguguran karena sentimen negatif perang dagang antarperekonomian besar dunia. Inisiasi perang dagang ini telah menaikkan biaya dan menurunkan laba pengimpor baja, seperti pembuat produk otomotif. Namun untuk memuaskan pemegang saham, biaya-biaya ini dialihkan kepada konsumen. Ujungnya, biaya akibat pengenaan tarif impor dapat melebihi manfaat reformasi pajak yang sebelumnya sudah dikenakan Trump.
Namun reaksi pasar global ternyata tidak menyurutkan niat Trump untuk tetap melancarkan perang dagang karena pada 3 April 2018, Pemerintah AS mengenakan tarif yang bernilai USD 50 miliar terhadap produk-produk elektronik, kedirgantaraan, dan mesin yang diimpor dari China. China segera membalas beberapa jam kemudian dengan mengumumkan tarif 25 persen yang bernilai USD 50 miliar kepada produk-produk ekspor AS ke China. Lebih spesifik, tarif yang dikenakan China menargetkan 106 produk AS. China juga mengenakan penalti terhadap produk sorghum dan pesawat Boeing. Tarif ini ditujukan kepada industri-industri di negara bagian yang mendukung Trump saat Pilpres AS 2016.
Aksi balas China terus berlanjut dengan menunda kontrak impor semua produk kedelai AS. AS lalu kembali membalas melalui pernyataan mewacanakan tarif ke produk-produk impor dari China lainnya dengan nilai total USD 100 miliar. Akhirnya, seperti yang sudah bisa diduga para pengamat ekonomi dan politik internasional, Amerika Serikat mengajukan tuntutan-tuntutan kepada China yang mulai meluas dari sekedar perang dagang, yaitu:
- Menghentikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan teknologi.
- Menghentikan pencurian properti intelektual Amerika Serikat.
- Memotong tarif barang-barang Amerika Serikat per 2020.
- China lebih membuka diri terhadap investasi Amerika Serikat.
- Menurunkan defisit perdagangan sebesar USD 200 miliar per 2020.
Tujuan perang dagang Amerika Serikat, khususnya terhadap China dan reaksi yang diberikan China mengindikasikan adanya pendekatan filosofi Merkantilis karena kebijakan dan pasal-pasal perjanjian yang ada sejalan dengan tujuan-tujuan politik para pemimpin negara yang terlibat.
Sudah tentu perang dagang ini menunjukkan hal yang sangat jelas, mudah dimulai tetapi sulit untuk diselesaikan.
Dampak perang dagang Amerika Serikat dan China terhadap Asia Tenggara dan Indonesia
Perang dagang dapat memberikan masalah bagi negara-negara yang terlibat secara langsung, namun sekaligus memberikan kesempatan bagi negara-negara yang ada di luar perseteruan langsung. Dalam konteks Asia Tenggara, kedekatan geografis dengan China dapat memberikan berbagai manfaat, antara lain dalam konteks manufaktur global dan rantai pasok.
Contoh, untuk produk-produk yang terkena tarif impor dan kuota, pelaku importir dari Amerika Serikat dapat memikirkan untuk relokasi ke negara yang berdekatan dengan China dan mampu memenuhi persyaratan-persyaratan yang ada. Sedangkan dari sisi China, pelaku eksportir dapat memikirkan membuat perusahaan patungan untuk keperluan relokasi tersebut khusus untuk memenuhi permintaan pasar Amerika Serikat.
Sedangkan jika China menjadi pasar produk Amerika Serikat yang terkena kebijakan tarif dan kuota impor, eksportir Amerika Serikat dapat memikirkan untuk mencari pasar yang memiliki kedekatan profil dengan pasar China, sebagai contoh dalam konteks jumlah kelas menengah dan jumlah penduduk.

Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla berfoto bersama 98 walikota seluruh Indonesia – sumber: setkab.go.id
Dari perspektif penduduk, terdapat tiga negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih dari 90 juta, yaitu Viet Nam, Filipina, dan Indonesia. Jumlah penduduk yang besar tersebut menunjukkan kesempatan yang besar. Apalagi Indonesia yang memang sangat dikenal sebagai pasar dengan jumlah konsumsi tertinggi di Asia Tenggara dan memiliki jumlah penduduk terbanyak. Maka, agar pemerintah masing-masing negara mendapatkan manfaat maksimal, tentu perlu membuat kebijakan simbiosis mutualisme yang mendorong Penanaman Modal Asing, investasi industri, dan tenaga kerja terdidik serta terampil.
Viet Nam harus diakui adalah negara di Asia Tenggara yang paling mampu memenuhi kedekatan profil dengan China, yaitu jumlah penduduk yang besar dan jumlah tenaga kerja terdidik serta terampil yang mencukupi. Sebagai contoh, produsen telepon pintar terbesar dunia, Samsung, telah berinvestasi lebih dari USD 17 miliar di Viet Nam dan karenanya, memberikan kontribusi mendekati 25 persen total ekspor USD 214 miliar hanya di 2017. Melalui kasus Samsung, Viet Nam sudah menunjukkan keunggulan dalam hal rantai pasok, performa logistik, hingga kemampuan tenaga kerja di wilayah Asia Tenggara.
Saat kita mencoba melirik Filipina, performa logistik, ketersediaan infrastruktur memadai, kecukupan energi dengan biaya terjangkau, birokrasi yang bersahabat dengan dunia bisnis, masih jauh dari harapan untuk menjadi lokasi relokasi industri yang memadai. Berarti jika ada perpindahan produk Amerika Serikat dari China ke Filipina, Filipina akan sekedar menjadi pasar tanpa kesempatan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan produksi. Jelas pilihan ini adalah pilihan yang jelek.
Indonesia sebagai negara terbesar dari segi luas wilayah dan terbesar dari jumlah penduduk di Asia Tenggara secara sepintas paling mampu menarik jumlah Penanaman Modal Asing terbesar. Namun kenyataannya Viet Nam mampu menarik PMA senilai USD 35,88 miliar. Sedangkan Indonesia dengan jumlah penduduk hampir tiga kali lipat hanya mampu menarik USD 32,34 miliar (Bank Dunia, 2018).
Ringkasnya, PMA juga pilih-pilih tempat menanamkan modal dan jumlah penduduk dan besaran pasar hanya sebagian faktor yang diperhitungkan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan antara lain:
Pertama, tenaga kerja terdidik dan terlatih. Untuk menciptakan tenaga kerja terdidik dan terlatih, pendidikan berkualitas menjadi faktor kunci. Salah satu definisi pendidikan berkualitas adalah kemampuan menyesuaikan keluaran kualitas tenaga kerja dengan kebutuhan industri. Sumber daya manusia Indonesia memiliki data-data pendidikan yang miris, mulai dari kemampuan matematika yang rendah dan konsisten menurun sejak 2000, kemampuan sains rendah, literasi keuangan rendah, serta minat baca rendah membuat industri mana pun akan berpikir ulang untuk melakukan perekrutan. Jelas pendidikan adalah tugas pertama dan paling utama yang wajib dipikirkan Pemerintah Indonesia.
Kedua, nasionalisme. Pemerintah Amerika Serikat memainkan isu nasionalisme saat mengenakan kebijakan tarif dan kuota terhadap produk impor. Retorika nasionalisme dalam konteks perdagangan global dapat menjadi salah satu hambatan bagi pemain asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Apalagi ekonomi Indonesia saat ini sangat dikuasai pemain lokal dan bahkan, perusahaan milik negara dan daerah mengambil kue ekonomi yang sangat signifikan. Lebih jauh lagi, terdapat 350 bisnis dalam 16 industri yang masuk daftar negatif partisipasi pemain asing.
Selain kedua faktor di atas, masih ada faktor-faktor lain yang perlu menjadi perhatian, misal kebijakan politik serta kepastian hukum dan perundangan.
Kasus perang dagang Amerika Serikat dan China menunjukkan bahwa tindakan tersebut adalah tindakan sangat bodoh, apalagi di era globalisasi. Jadi, apa yang Jack Ma sampaikan memang benar. Perdagangan internasional sebaiknya dijadikan sebagai sarana membangun kepercayaan dan bukan senjata untuk saling berkelahi. Peradaban manusia abad 21 memiliki banyak tantangan yang lebih besar dan perlu diselesaikan dengan kerja sama. Jika ada isu defisit neraca perdagangan, masih ada solusi-solusi lain yang dapat didiskusikan selain menerapkan perang dagang.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Desember 2018