Berbagai artikel media massa daring pada Kamis, 6 April 2017, menyatakan bahwa Menteri Koordinator Bidang Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan memberikan klaim PT Freeport Indonesia arahnya setuju mendivestasikan 51 persen saham kepada pemerintah. Lalu melalui Facebook Fan Page resmi Luhut Binsar Pandjaitan (@luhutbinsar.pandjaitan) per 5 Mei 2017, dalam pertemuan dengan Secretary of Commerce Amerika Serikat Wilbur Ross Jr., Luhut menyampaikan bahwa pemerintah ingin memiliki 51 persen saham Freeport.
Melalui pernyataan yang sudah disampaikan pemerintah kepada publik mengenai tendensi PT Freeport Indonesia untuk melepas saham sebesar 51 persen menimbulkan pertanyaan dalam benak saya, “Mengapa belum ada pernyataan resmi di media dari PT Freeport Indonesia perihal persetujuan divestasi saham 51 persen?” Karena pernyataan sepihak oleh Pemerintah Indonesia bisa jadi dipahami oleh para investor PT Freeport Indonesia sebagai bentuk percobaan pengakhiran KK secara sepihak. Apalagi, pernyataan tersebut cenderung tidak sinkron dengan berbagai pernyataan PT Freeport Indonesia sebelumnya.
Untuk sementara waktu, meski pernyataan pemerintah mengenai divestasi 51 persen saham Freeport masih satu sisi, mari kita mencoba mengetahui terlebih dahulu berapa besar nilai jual Freeport. Pada 14 Januari 2016, PT Freeport Indonesia telah mengajukan penawaran resmi divestasi saham sebesar 10,64 persen kepada Pemerintah Indonesia dengan nilai sekitar US$ 1,72 miliar. Lalu, per Januari 2017 Kementerian ESDM menyatakan bahwa penawaran tersebut terlampau mahal dan nilai seharusnya adalah US$ 630 juta.
Dengan mengambil nilai saham PT Freeport Indonesia menurut Kementerian ESDM, rencana pemerintah untuk memiliki 51 persen saham Freeport, serta asumsi ceteris paribus, maka Pemerintah Indonesia harus mengeluarkan uang paling sedikit US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 33 triliun. Pertanyaan besar kedua yang ada dalam benak saya sehubungan dengan isu divestasi saham PT Freeport Indonesia adalah, “Dari mana sumber uang yang digunakan Pemerintah Indonesia untuk memiliki saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen?”
Menelisik sumber pendanaan divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia
Setelah tahun 2016 sempat mengeluarkan pernyataan bakal mengakuisisi PT Freeport Indonesia melalui holding BUMN tambang, Pemerintah Indonesia melalui Staf Khusus Menteri ESDM, Hadi M. Djuraid, kembali menyatakan kemampuan dan kesiapan membeli 51 persen saham PT Freeport Indonesia (Kumparan, 24 Februari 2017). Lalu per 22 Maret 2017, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, mengatakan pemerintah tengah menyiapkan holding BUMN tambang yang terdiri dari PT Aneka Tambang Tbk, PT Timah Tbk, PT Bukit Asam TBK, dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk membeli saham PT Freeport Indonesia.
Kementerian BUMN menyatakan terdapat tiga skema pendanaan untuk mendanai pembelian saham PT Freeport Indonesia. Skema pertama adalah bantuan BUMN bidang perbankan untuk pendanaan. Skema kedua adalah penerbitan obligasi jangka panjang oleh holding BUMN. Skema ketiga adalah sekuritisasi aset berupa tambang.
Berbasis Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2017, penawaran saham dilakukan secara berjenjang dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan badan usaha swasta nasional. Terakhir, divestasi berupa skema penawaran umum di Bursa Efek Indonesia dilakukan jika saham PT Freeport Indonesia tidak diminati pemerintah pusat hingga BUMN.
Saat kita mencoba menganalisis skema pertama, Menteri BUMN Rini M Soemarno menyampaikan bahwa pembiayaan akuisisi saham PT Freeport Indonesia hanya mungkin dengan melakukan pinjaman (Investor Daily, 21 Oktober 2015). Budi Gunadi Sadikin saat masih menjabat sebagai Direktur Utama Bank Mandiri (kini Staf Khusus Menteri BUMN) menyatakan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk siap mengucurkan dana pinjaman kepada konsorsium BUMN pertambangan untuk memboyong 10,64 persen saham PT Freeport Indonesia.
Relatif senada dengan pernyataan Rini, Budi menyampaikan bahwa perseroan siap memakai dana sisa pinjaman dari China Development Bank (CDB) untuk disalurkan kepada konsorsium BUMN pertambangan. Eksekusi tersebut dapat dilakukan dengan asumsi pinjaman dibagi rata tiga hingga empat bank (CNN Indonesia, 27 Januari 2016). Sayangnya, pernyataan Budi bertolak belakang dengan pernyataan Rini sebelumnya perihal sumber pendanaan. Rini seusai memenuhi undangan Komisi VI DPR di Jakarta menyampaikan bahwa pendanaan akuisisi saham Freeport bukan dari China (20 Oktober 2015).
Per 2017, saat isu divestasi saham 51 persen PT Freeport mengemuka di publik, Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika Wirjoatmodjo menyampaikan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sudah memiliki pengalaman akuisisi finansial dengan contoh kasus pengambilalihan Newmont. Jika pembiayaan benar-benar dilaksanakan, Kartika berujar bahwa Bank Mandiri akan bermitra dengan pihak lain dan mencari sumber pinjaman dari luar negeri. Langkah tersebut dilakukan karena menurutnya, “Dalam bentuk dolar, di dalam negeri enggak (ada) sebesar itu.” (Majalah Gatra 25 / XXIII, 26 April 2017).
Namun ada dua catatan terhadap pernyataan Kartiko. Pertama, jika sebelumnya dengan rencana akuisisi 10,64 persen saham saja tidak dapat dipenuhi sendiri oleh perbankan pemerintah, lalu dari mana sumber pendanaan akuisisi hingga 51 persen saham Freeport? Kedua, meski perbankan pemerintah sudah berpengalaman dalam pendanaan akuisisi perusahaan tambang (PT Newmont Nusa Tenggara) oleh PT Medco Energi Internasional Tbk, total pinjaman Mandiri, BNI, dan BRI hanya sekitar US$ 750 juta atau sekitar 30 persen dari total US$ 2,6 miliar. Sudah jelas kasus rencana pendanaan akuisisi saham PT Freeport Indonesia berbeda signifikan dan tidak sebanding dengan PT Newmont Nusa Tenggara baik dari sisi dana yang dibutuhkan dan pelaku akuisisi.
Sekarang, mari kita analisis skema kedua, yaitu penerbitan obligasi jangka panjang oleh holding BUMN. Rencana pembentukan holding BUMN tambang per akhir 2016 sudah molor ke awal 2017. Trimester I 2017 sudah berlalu, trimester II sudah berjalan, dan pembentukan holding BUMN tambang masih belum ada kejelasan. Rencananya, holding BUMN tambang saat sudah terbentuk akan menerbitkan obligasi jangka panjang (tiga tahun ke atas) untuk membiayai pendanaan akuisisi 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Namun patut diingat bahwa waktu negosiasi dan jendela politik yang dimiliki pemerintah saat ini hanya hingga 2019 untuk merealisasikan semua rencana tersebut.
Rencana pembiayaan melalui obligasi memang dapat menjadi alternatif pembiayaan yang risikonya lebih rendah dibandingkan dengan sumber pendanaan dari perbankan. Namun ada hal esensial yang patut diperhatikan, yaitu reaksi pasar jika obligasi untuk pembiayaan akuisisi saham Freeport benar-benar dilaksanakan. Ada kemungkinan pasar bereaksi negatif karena kisruh yang ada di belakang isu divestasi saham Freeport. Belum lagi jika pasar juga melihat kesiapan holding BUMN tambang yang pembentukannya sudah mundur beberapa kali. Apalagi nilai pengambilalihan saham tersebut kurang lebih setara dengan obligasi yang dikeluarkan BUMN di bawah Kementerian BUMN sepanjang 2016, yaitu Rp 33 triliun.
Skema ketiga adalah sekuritisasi aset. Berbasis Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2017, penawaran saham akan dilakukan secara berjenjang dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan badan usaha swasta nasional. Opsi selain badan usaha swasta nasional jelas hampir mustahil dieksekusi saat kita melihat kekuatan dompet pemerintah yang sudah terengah-engah membiayai ambisi infrastruktur di seluruh penjuru Indonesia hingga 2019, baik dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maupun Penyertaan Modal Negara (PMN) pada BUMN.
Lagipula, pendanaan APBN dan APBD berarti harus melalui pengawasan anggaran oleh DPR dan DPRD. Sedangkan PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara Pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas dianggap bermasalah dan bertentangan dengan tiga undang-undang. Undang-undang tersebut adalah UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Sehubungan dengan pengelolaan dan pembiayaan oleh swasta, hal tersebut relatif dapat terwujud. Hal ini terlihat dari penyampaian Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani di hadapan media massa , “Saya rasa bila dibuka tender, swasta masuk dan bisa melakukan konsorsium dengan BUMN atau BUMD,” (Senin, 27 Februari 2017). Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja, menyatakan kesiapan khusus berbicara pembiayaan oleh perbankan. Jahja berkata, “Kalau memang bagus kenapa tidak, kemudian lihat proyeknya. Tapi ya kami tetap harus analis dulu.” Namun baik Harijadi dan Jahja belum memberikan pernyataan eksplisit dan detail mengenai bentuk pengelolaan yang diinginkan maupun besaran dana yang siap dikeluarkan.
Sebenarnya berdasarkan penelusuran penulis, masih ada opsi lain selain tiga skema pembiayaan yang telah disebutkan. Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Komunikasi, Hadi Djurait menyampaikan kepada media massa bahwa pemerintah sudah mendapatkan kepastian dana pembelian saham divestasi dari dana pensiun (dapen) BUMN. Menurut Hadi, dana sudah sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Selasa, 7 Maret 2017). Namun penggunaan dana pensiun BUMN untuk divestasi saham PT Freeport Indonesia memiliki risiko sosial politik yang tinggi bagi pemerintah. Salah satu sebabnya karena kontrol anggaran dana pensiun BUMN dilakukan oleh Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun, bukan pemerintah secara langsung.
Di mana fokus dan prioritas pemerintah?
Saat membuka acara Musrenbang Nasional 2017 di Hotel Bidakara (Rabu, 26 April 2017), Presiden Jokowi menyatakan bahwa APBN dan APBD belum fokus, anggaran tidak pernah fokus, perencanaan tidak pernah fokus, dan tidak memiliki prioritas yang jelas. Presiden Jokowi kemudian menegaskan bahwa pemerintah pusat saat ini meletakkan prioritas pada pembangunan infrastruktur dan keterbukaan investasi.
Maka, jika Pemerintah Indonesia tetap memilih langkah pengambilalihan 51 persen saham PT Freeport Indonesia, termasuk mengeluarkan pernyataan sepihak, apakah tindakan tersebut termasuk dalam kategori prioritas pembangunan infrastruktur dan keterbukaan investasi? Apalagi melihat biaya dan kesiapan pemerintah yang sangat meragukan untuk mencapai kepemilikan saham mayoritas.
Jikalau pemerintah tidak memiliki anggaran untuk memiliki saham mayoritas PT Freeport Indonesia, jangan sampai BUMN dijadikan makelar para pihak yang ingin menguasai saham PT Freeport Indonesia. Apalagi kalau ada pihak asing yang turut terlibat di balik layar, posisi politik pemerintah Jokowi – JK dapat semakin runyam.
Karenanya, pemerintah Indonesia wajib mengedepankan negosiasi dan sikap hati-hati untuk menghindari tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan blunder skala nasional maupun internasional.
Catatan 1 12.11.2018: Versi tersunting artikel ini sudah dimuat di media daring Kumparan per 22 Mei 2017
Catatan 2 12.11.2018: Sumber pendanaan divestasi melalui Global Bond yang diterbitkan PT Inalum dalam empat seri yang dimulai per 8 November 2018 dengan Joint Global Coordinator adalah BNP Paribas, Citi, dan MUFG.