Catatan: Tulisan ini membahas gempa bumi dan tsunami dengan bahasa yang sudah jauh dipermudah agar mudah dipahami khalayak umum. Untuk lebih memahami gempa bumi sebagai peristiwa alam, silahkan pelajari fisika gempa bumi.
Saat kita melihat ikan yang sedang berenang bebas di dalam air, kadang kita bisa melihat permukaan air yang bergelombang karena pergerakan ikan tersebut. Semakin dekat ikan tersebut berenang ke permukaan, gelombang akan semakin terlihat. Kejadian ini relatif mudah dilihat dan diketahui karena air adalah benda cair dan tembus pandang sehingga kita bisa mengetahui penyebab gelombang di permukaan air.
Hal berbeda terjadi saat kita sedang membuat bubur nasi di dalam panci. Saat bubur nasi tersebut dipanaskan di atas kompor, kita dapat melihat bubur tersebut bergolak dan menimbulkan letupan-letupan gelembung udara yang muncul di permukaan bubur, tetapi kita tidak dapat melihat bahwa penyebabnya adalah panas yang berasal dari bawah panci. Panas yang berasal dari bawah panci menimbulkan gejolak di dalam bubur karena udara memuai dan tekanan-tekanan yang timbul mendorong udara bergerak ke atas permukaan bubur.
Saat pemanas dimatikan dan bubur nasi menjadi dingin, permukaan bubur akan membeku namun bagian dalamnya belum tentu ikut membeku. Saat mulai kembali dipanaskan, bagian dalam bubur akan kembali bergejolak, tekanan timbul, namun bagian permukaan yang membeku seakan terlihat tenang. Jika pemanas dinaikkan suhunya, permukaan bubur dapat mulai retak dan akhirnya melalui celah-celah retakan yang ada, udara keluar dari dalam bubur. Akhirnya permukaan bubur kembali bergejolak.
Gempa bumi dan tsunami
Memahami gempa bumi dapat dilihat antara lain dengan analogi pergerakan gelombang permukaan air karena ikan berenang dan bubur nasi yang sedang dimasak, didinginkan sampai permukaannya membeku, kemudian dipanaskan kembali.
Bumi yang kita tinggali sebenarnya terbentuk dari materi panas yang sudah membeku. Meski bumi saat ini sudah berusia sekitar 4,5 miliar tahun, hanya permukaan bumi yang sudah membeku dan menjadi tempat tinggal kita, homo sapiens. Permukaan bumi yang sudah membeku ini tidak terdiri dari satu luasan utuh, tetapi terdiri dari beberapa lempengan bumi. Lempengan bumi tersebut terbagi menjadi tujuh lempeng utama, yaitu Afrika, Antartika, Eurasia, Indo-Australia, Amerika Utara, Pasifik, dan Amerika Selatan. Lempeng-lempeng utama ini masih terbagi lagi menjadi lempeng sekunder dan lempeng tersier.

Lempeng-lempeng bumi yang terus bergerak di atas cairan yang sangat panas. Daerah-daerah pinggiran lempeng adalah daerah yang berpotensi tinggi mengalami gempa bumi.
Sedangkan di bagian dalam perut bumi masih ada cairan sangat panas dengan suhu mencapai ribuan Celsius. Cairan yang sangat panas tersebut letaknya di bawah lempengan-lempengan bumi sehingga dapat dikatakan, kita hidup di atas lempengan bumi yang mengapung di atas cairan yang sangat panas. Dengan kata lain, tanah yang kita pijak tidak ada dalam posisi diam tetapi terus bergerak.
Cairan dengan panas ribuan derajat Celsius tersebut memberikan tekanan sangat tinggi yang berpengaruh terhadap pergerakan lempeng-lempeng bumi. Ada kalanya kita tidak merasakan pergerakan tersebut, ada pula kala kita bisa merasakan pergerakan tersebut. Pergerakan tersebut akan semakin kita rasakan saat lempeng-lempeng yang bergerak saling bertumbukan. Pergerakan karena tumbukan ini memberikan gelombang kejut hingga ke permukaan bumi dalam bentuk gempa bumi.
Jika pergerakan dan tumbukan lempeng tersebut terjadi di kedalaman laut, gelombang kejut muncul ke permukaan bumi yang ada di dasar lautan. Namun gelombang kejut tidak berhenti dan berlanjut ke air laut yang ada di sekitar pusat gempa hingga terjadi tsunami. Tsunami adalah kumpulan gelombang yang diakibatkan perpindahan mendadak air laut dalam jumlah yang sangat besar akibat gempa bumi bawah laut. Berarti, tsunami dapat dipahami sebagai reaksi lanjutan dari kejadian gempa bumi.
(Suntingan 26.12.2018: Tsunami Selat Sunda 22.12.2018 menunjukkan kejadian anomali tsunami yang dipicu bukan oleh gempa bumi, tetapi oleh longsoran aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau).
Jadi, gempa bumi biasa terjadi di pinggiran lempeng-lempeng bumi, baik primer, sekunder, dan tersier, baik daerah yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Gempa bumi adalah fenomena alam yang lumrah dalam perspektif sains dan sudah terjadi sejak dahulu kala, kini, dan akan terjadi pula di masa mendatang.
Gempa bumi dan tsunami dalam kebudayaan manusia

Peta titik-titik gempa bumi (M6.0+) di seluruh dunia tahun 1900 – 2017 (sumber: United States Geological Survey (USGS))
Saat gempa bumi terjadi di wilayah yang tidak dihuni manusia, gempa bumi dilihat sebagai “hanya” gempa bumi alias kejadian alam yang lumrah.
Namun hal berbeda akan terjadi saat gempa bumi terjadi di wilayah manusia. Kematian dan kerusakan dapat terjadi dalam skala massal. Komunitas hancur, mobilitas terganggu, dan denyut nadi peradaban terganggu. Karena itulah, manusia menyebut gempa bumi sebagai bencana. Hal sama dapat terjadi saat peradaban manusia terkena tsunami. Gedung-gedung dapat runtuh, kendaraan berat terbawa arus, dan banjir bandang tercipta.
Gempa bumi dan tsunami paling merusak kebudayaan dan peradaban manusia yang berlokasi di pinggiran lempeng-lempeng bumi primer, sekunder, dan tersier. Jadi, jika kita hidup di lokasi yang ada di tengah-tengah lempeng, kemungkinan kita terkena gempa bumi berkurang secara sangat signifikan.
Dalam konteks Indonesia, karena banyak lokasi Indonesia yang teletak di pinggir lempengan dan tempat pertemuan beberapa lempeng bumi, Indonesia disebut sebagai negara yang terletak di cincin api. Karena terletak di cincin api, gempa bumi adalah kejadian alam yang rutin terjadi di Indonesia. Lalu, tempat yang paling aman dari ancaman gempa bumi di wilayah Indonesia adalah Pulau Kalimantan karena terletak di tengah lempengan.
Saat peradaban manusia belum semaju saat ini, manusia belum mengetahui penyebab gempa bumi sehingga biasa mengaitkan kejadian bencana tersebut dengan hal-hal gaib.
Namun seiring dengan kemajuan peradaban dan kemajuan umat manusia, sains mulai menyingkirkan hal-hal gaib sebagai penyebab gempa bumi sehingga manusia melakukan tindak persiapan jika terjadi gempa bumi, termasuk mengetahui apa saja penyebab gempa bumi yang antara lain adalah rotasi bumi yang melambat. Pengetahuan tersebut terwujud antara lain karena usia spesies Homo Sapiens yang sudah mencapai 350.000 tahun (catatan terbaru) sehingga memiliki akumulasi pengetahuan yang dapat diwariskan ke generasi penerus.
Contoh pengetahuan tersebut selain pengetahuan prediksi gempa bumi hingga beberapa tahun ke depan, adalah pembuatan skala gempa bumi:
4.0 – dapat menggetarkan rumah kita seakan-akan ada truk besar sedang lewat di samping rumah. Karena getaran kecil, sebagian orang tidak menyadari.
6.0 – Barang-barang di rak berjatuhan. Tembok rumah dapat retak dan jendela rumah pecah. Sebagian besar orang yang tinggal dekat dengan pusat gempa merasakan hal ini.
7.0 – Gedung dengan konstruksi lemah akan runtuh. Jembatan dapat rubuh dan jalanan terbelah.
8.0 – Banyak gedung dan jembatan rubuh. Rekahan lebar di permukaan bumi terlihat.
>= 9.0 – Seluruh kota rata dengan tanah dan hanya sedikit bangunan yang tersisa. Kerusakan skala massal tercipta.