Catatan Blogger Akhir Pekan: Kematian

Bagaimana cara saya memandang kematian, mungkin berbeda dengan orang-orang pada umumnya.

Man Skull – sumber Pixabay – Ractapopulous

Belum lama ini, salah satu teman saya sejak SD meninggal setelah berjuang melawan kanker sejak 2015 dan menghabiskan biaya miliaran rupiah. Salah satu tetangga saya minggu ini baru saja meninggal karena kanker. Beberapa waktu lalu, ua (paman Sunda) saya meninggal karena kanker. Tidak, tulisan ini tidak berniat membahas kematian karena kanker dan biaya yang ditimbulkan.

Saya pertama kali mengetahui dan melihat kematian sudah sejak kecil. Contoh termudah adalah melihat nyamuk yang mati karena saya tepuk. Lalu, saya berkali-kali melihat kucing-kucing dan hewan peliharaan kesayangan saya mati baik karena usia maupun sebab-sebab lainnya. Saya masih mengingat saat membungkus tubuh-tubuh dingin mereka dengan baju singlet atau baju bekas milik saya, menggali tanah di sekeliling rumah, dan menguburkan mereka.

Kemudian, saya mengetahui kedua adik saya meninggal dari Mamah dan mungkin karena saya masih terlalu kecil, saya belum begitu memahami kematian. Lalu, pengalaman melihat mayat meningkat dengan menghadiri salat jenazah hingga upacara pemakaman kerabat hingga teman orang tua.

Akhirnya, saya melihat kematian yang paling memberikan saya guncangan batin dan fisik. Yaitu kematian Bapak saat saya masih SMP dan belum akil balig. Saya masih bisa mengingatnya dengan sangat jelas dalam ingatan saya, mulai dari nama rumah sakit, letak ruang ICU, letak kasur, darah stroke yang diperlihatkan pasca operasi, hilangnya kesadaran Bapak, berapa lama di ICU, saat alat bantu pernafasan dicabut, hingga saat detak jantung yang semula sangat lemah tiba-tiba meningkat dan kemudian melambat dan akhirnya berhenti.

Bapak meninggal di depan mata saya dan saya mengetahui setiap momen kematian tersebut dengan sangat jelas meski 20 tahun lebih sudah berlalu.  Saat-saat memandikan mayat Bapak dan mengusung jenazahnya ke dalam liang kubur pun masih saya ingat.

Pengalaman melihat kematian dan mayat manusia secara langsung belum berhenti sampai di situ. Saya kembali melihat kematian Pakde saya saat SMA, kematian senior saat masih menjadi siswa semester 1, hingga kematian kakak tiri saya dan melihat jenazahnya di salah satu rumah sakit di Jakarta.

Tak dapat dipungkiri, semua pengalaman melihat dan mengetahui kematian tersebut memiliki dampak terhadap cara saya berpikir dan melihat kematian. Sebagai contoh, saya merasa sangat santai dan biasa saja saat memasuki kamar mayat dan melihat jenazah-jenazah yang ada di dalamnya. Saya merasa biasa saja saat sepupu istri saya meninggal, duduk di samping jenazahnya pasca dimandikan, dan ikut membantu membersihkan darah yang masih keluar dari hidungnya.

Bagaimana jika saya yang meninggal?

Lantas, bagaimana jika saya yang meninggal? Bagaimana jika saya mati hari ini pasca mengetik tulisan ini, malam ini, besok, lusa, atau 100 tahun lagi? Jawabannya relatif, tetapi jawaban saya jika saya meninggal, ya meninggal saja.

Beberapa tahun lalu, teman saya ada yang agak syok dengan jawaban saya saat menanyakan bagaimana jika saya meninggal hari tersebut. Jawaban saya adalah, “Mau mati sekarang pun ya mati aja. Gw sih siap-siap saja, gw yakin belum ngelakuin dosa besar. Jadi kalau kena siksa kubur dan siksa akhirat, harusnya sih ngga berat.”

Namun jika sekarang saya kembali diajukan pertanyaan yang sama, jawaban saya akan sedikit berbeda. Secara pribadi saya tetap memandang kematian sebagai hal lumrah, tetapi saya belum siap dengan tanggungan-tanggungan dan kewajiban saya. Sebagai contoh, saya sekarang memiliki istri dan anak yang masih balita. Bagaimana tumbuh kembang dan pendidikan anak saya jika saya meninggal saat ini dan bukannya meninggal saat dia sudah dewasa?

Lalu, saya sekarang memiliki banyak impian dan pencapaian yang ingin saya raih. Impian dan pencapaian tersebut pun banyak melibatkan orang lain. Hal ini saya akui terasa memberatkan saya untuk menghadapi kematian. Kesiapan saya menghadapi kematian justru menurun dibandingkan dengan beberapa tahun lalu. Hahaha.

Pesan saya bagi yang membaca tulisan ini, kematian adalah hal yang bisa dikatakan mustahil untuk kita hindari. Jikalau kita dianugerahi umur panjang hingga seabad lebih, apakah kita siap untuk menjalaninya? Jika kita memang ingin berumur sangat panjang, siapkah kita dengan risiko-risiko yang menyusul, misalnya anggota keluarga inti kita tidak berumur sepanjang kita? Teman-teman terdekat kita tidak berumur sepanjang kita? Dan yang terpenting, apa yang ingin kita lakukan jika kita benar-benar memiliki umur yang panjang? Pikirkanlah hal-hal tersebut.

 

Semarang, 16 September 2018

Andika Priyandana

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s