Geliat Lambat Produk Keuangan Syariah

Di Indonesia, tren konsumsi produk keuangan syariah tidak semoncer tren konsumsi produk-produk massal Islami. Apa penyebabnya?

“Saya orang bisnis dan keuangan. Tentu saja saya harus menghitung sebaik mungkin efek pembiayaan bank terhadap kinerja bisnis. Saat mengajukan kredit modal kerja (KMK) sebesar Rp 400 juta ke salah satu bank syariah besar di Indonesia, potongannya banyak hampir 50 juta, 12,5 persen tuh dari 400 juta. Jadi dapat uangnya cuma 350 juta. Cicilannya juga tinggi 14 juta/bulan (pokok + margin bank). GIla menyiksa! Lalu, masih harus bayar asuransi kebakaran, dll. Akhirnya saya ambil dari bank konvensional Rp 500 juta, dapet uangnya 472 juta alias potongan cuman 5,6 persen . Lalu, bayar cicilan cuma 5 juta/bulan (bayar bunga saja, pokoknya tidak perlu dibayar). Jadi menurut saya, produk keuangan bank syariah jelek-jelek, tidak kompetitif sama konvensional yang lebih mengerti konsumen dan banyak promo. Sesimpel itu.” – Ridho, calon konsumen kredit modal kerja dari salah satu bank syariah di Indonesia.

Opini tersebut, meski memerlukan pembuktian lebih lanjut, mungkin menggambarkan alasan kenapa produk-produk keuangan syariah masih kesulitan meraih pasar dan pijakan kuat di benak konsumen Indonesia. Hal berbeda justru dialami produk-produk massal Islami seperti buku agama, hijab, makanan & minuman halal, dll. Bahkan produk yang membutuhkan pembiayaan lebih tinggi, seperti umrah, mampu menarik perhatian puluhan ribu konsumen hingga memunculkan kasus-kasus penipuan dan penggelapan dana jamaah umrah.

Data berbicara pasar bank syariah

Per 2016, pangsa pasar bank syariah akhirnya tembus lima persen (OJK, 2017). Angka tersebut meleset sejauh delapan tahun dari yang semula direncanakan tercapai per 2008. Namun, berbicara pangsa pasar keuangan syariah tidak melulu diwakili oleh pangsa pasar bank syariah. Selain perbankan, masih ada pasar modal dan Industri Keuangan Non Bank (IKNB).

Total Aset Keuangan Syariah Indonesia – sumber Otoritas Jasa Keuangan 27 Oktober 2017

Data Otoritas Jasa Keuangan hingga Agustus 2017, total aset keuangan syariah Indonesia (tidak termasuk Saham Syariah) mencapai Rp 1.048,8 triliun, yang terdiri aset Perbankan Syariah Rp 389,74 triliun, IKNB Syariah Rp 99,15 triliun, dan Pasar Modal Syariah Rp 559,59 triliun. Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan total aset industri keuangan yang mencapai Rp 13.092 triliun, maka market share industri keuangan syariah sudah mencapai 8,01%.

Pencapaian tersebut sebenarnya termasuk tinggi dan bahkan sangat baik saat dibandingkan dengan pertumbuhan perbankan konvensional. Pertumbuhan nasional yoy perbankan syariah per 2017 mencapai 51,2 persen dan jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan perbankan konvensional yang mencapai 8,4 persen. Namun, angka tersebut tetap terasa kecil saat menilik jumlah penduduk Indonesia beragama Islam yang mencapai 87,2 persen dari total populasi (Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk 2010).

Pertumbuhan Perbankan Syariah – sumber Otoritas Jasa Keuangan 30 September 2017

Saat kita menilik data pertumbuhan perbankan syariah secara lebih dalam, pertumbuhan pesat tersebut diraih khususnya dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Kondisi perbankan syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan positif melalui tingginya pertumbuhan aset, Pembiayaan yang Disalurkan (PYD), dan Dana Pihak Ketiga (DPK). Seluruh indikator kinerja tersebut menunjukkan perbaikan.

Peminang Bank Muamalat yang tak kunjung akad

Karyawan & Karyawati Bank Muamalat (sumber: BankMuamalat.co.id)

Namun, meski pertumbuhan keuangan syariah terasa cukup bergairah dalam lima tahun terakhir, hal yang bertolak belakang justru dialami Bank Muamalat yang notabene adalah pelopor perbankan syariah di Indonesia.

Sejak 2015, Bank Muamalat termasuk bank-bank syariah lainnya diterpa masalah membengkaknya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (Non Performing Financing (NPF)). Kala itu, Bank Muamalat masuk dalam lima bank syariah yang membukukan NPF gross di atas rata-rata industri sebesar 5,68 persen pada Juni 2016 dan 5,32 persen pada Juli 2016. Pada peringkat pertama adalah Maybank Syariah Indonesia dengan NPF 29,31 persen. Peringkat kedua adalah Bank Jawa Barat Syariah dengan NPF 17,09 persen, Bank Victoria Syariah pada peringkat ketiga dengan NPF 12,03 persen, Bank Muamalat pada peringkat keempat dengan NPF 7,23 persen, dan Bank Syariah Mandiri dengan NPF 5,58 persen pada peringkat kelima.

Akibat dari keadaan tersebut adalah pengetatan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan menekan perbankan untuk menambah modal agar bisa memperbaiki NPF. Target OJK adalah NPF netto berada di bawah batasan regulator sebesar lima persen. Namun, dari lima bank yang terkena masalah, hanya tiga bank yang terlihat menambah modal. Bank-bank tersebut adalah Maybank Syariah Indonesia, Bank Jawa Barat Banten, dan Bank Syariah Mandiri.

Rasio Keuangan Bank Muamalat 2017 & 2016 – sumber Bank Muamalat

Sedangkan rasio kecukupan modal atau Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Victoria Syariah dan Bank Muamalat malah semakin tipis. Situasi paling mengenaskan dialami Bank Muamalat dengan CAR sebesar 12,78 persen per 2016, turun dari 13,6 persen pada 2015, dan kembali merosot menjadi 11,58 persen pada September 2017. Ringkasnya, Bank Muamalat sangat memerlukan tambahan modal dan kesulitan mendapatkannya.

Setelah itu, berbagai berita mengenai calon peminang bermunculan, mulai dari PT Minna Padi Investama Sekuritas Tbk, PT Paytren Asset Management, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, hingga PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. Namun hingga Mei 2018, tidak ada satu pun dari nama-nama tersebut yang sudah memberikan kepastian dalam bentuk akad (perjanjian) akusisi resmi dan berkekuatan hukum.

Keuangan syariah sulit bersaing: Eksternal dan internal

Belum jelasnya pihak-pihak yang akan mengakuisisi Bank Muamalat menimbulkan tanda tanya, khususnya bagi para pihak yang sudah terbiasa melakukan analisis keuangan untuk keperluan investasi. Hal apa yang menyebabkan para calon peminang tersebut menemui jalan buntu, undur diri, atau belum memberikan kepastian? Adakah data-data lain selain yang disampaikan OJK dan catatan keuangan Bank Muamalat yang membuat mereka masih ragu? Misalnya kondisi makro dan mikro ekonomi Indonesia, perilaku konsumsi konsumen produk keuangan syariah di masa depan, dan besaran potensi industri keuangan syariah di masa depan?

Salah satu hal mikro yang mungkin menjadi faktor penghambat adalah pembiayaan syariah, khususnya aturan besaran uang muka berdasarkan rasio kredit macet atau NPF. Hal yang menyebabkan Bank Muamalat membutuhkan penebalan modal. Merujuk aturan tersebut, perusahaan pembiayaan konvensional dan syariah dapat menawarkan uang muka sama besar, yaitu paling kecil lima persen dengan syarat NPF di bawah satu persen.

Dalam konteks pelaku pembiayaan syariah, hal ini menyulitkan karena data perilaku konsumen produk keuangan syariah lebih memilih pembiayaan syariah karena besaran uang muka yang lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan pembiayaan konvensional. Namun tentu saja faktor uang muka tidak menjadi faktor tunggal kesulitan bisnis.

Secara umum, kita dapat membagi penyebab industri keuangan syariah tumbuh lambat di Indonesia menjadi dua hal, yaitu eksternal dan internal. Faktor eksternal, antara lain regulasi Otoritas Jasa Keuangan, hukum positif lainnya yang mengatur industri keuangan syariah, perkembangan teknologi digital, dan perilaku konsumen. Berbicara perilaku konsumen, tidak dapat dipungkiri bahwa mereka menggunakan pola perilaku relatif sama seperti saat berhadapan dengan perbankan konvensional. Salah satunya adalah Ridho yang menjadi contoh di atas.

Perilaku konsumen tersebut patut dipahami karena dalam berbisnis memang wajib memerhatikan pengaruh pembiayaan terhadap keuangan perusahaan. Hal yang normal juga sebagai pencari kredit melakukan perbandingan dengan berbagai pilihan yang ada. Jika ada pilihan-pilihan dianggap memberatkan keuangan perusahaan, secara rasional tentu tidak perlu dieksekusi. Dalam kasus Ridho, skema pembiayaan bank syariah tempat dia mengajukan kredit terasa memberatkan.

Mengenai faktor internal, manajemen bank syariah tentu berpengaruh terhadap pertumbuhan keuangan syariah yang lambat. Secara umum manajemen bank syariah masih menggunakan pola manajemen bank konvensional. Misalnya penentuan laba dan nisbah bank syariah masih menggunakan tingkat suku bunga sebagai indikator pembanding bagi manajemen bank syariah dalam membuat keputusan ekonomis. Selain indikator tersebut, manajemen bank syariah masih membandingkan kinerja imbal jasa simpanan dengan bank konvensional.

Jakarta, 11 Juni 2018

(Andika Priyandana)

Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Juli 2018

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s