Praktik marketing adalah menyampaikan nilai-nilai kepada konsumen. Namun, bagaimana awal mula nilai-nilai tersebut muncul?
Marketing berorientasi kepada konsumen. Karenanya, saat berbicara nilai-nilai untuk konsumen berarti merujuk kepada manfaat-manfaat yang diterima seorang konsumen dari pembelian sebuah produk, baik barang atau jasa.
Marketer mengomunikasikan manfaat-manfaat tersebut kepada konsumen dalam bentuk proposisi nilai (value proposition). Secara filosofis, proposisi nilai dapat dilihat dalam sebuah loka pasar (marketplace) yang di dalamnya terdapat para konsumen yang menyadari nilai-nilai yang mereka peroleh saat membeli produk.
Karena keberadaan perusahaan dalam sebuah pasar berarti harus mencicipi persaingan, tantangan bagi para marketer adalah menciptakan proposisi nilai (value proposition) yang menarik. Salah satu hal signifikan yang perlu dilakukan adalah meyakinkan konsumen bahwa proposisi nilai tersebut benar-benar superior dibandingkan dengan yang ditawarkan oleh para kompetitor.
Berarti yang perlu diketahui adalah merumuskan nilai-nilai apa saja yang dianggap paling berguna oleh konsumen. Seberapa besar nilai yang konsumen anggap memenuhi standar minimal saat melakukan pembelian? Salah satu langkah simpel untuk menentukan nilai ini dengan melihat rasio manfaat terhadap biaya. Manfaat yang konsumen terima saat membeli sebuah produk sedapat mungkin harus setara dan bahkan melebihi semua biaya yang dia keluarkan saat bertransaksi, mulai dari waktu, biaya, hingga tenaga.
Penentuan proposisi nilai semakin terasa sulit karena nilai bersifat relatif. Misal nilai-nilai yang dicari seorang konsumen nasi goreng adalah enak, banyak, dan murah. Namun definisi enak, banyak, dan murah seorang konsumen nasi goreng belum tentu setara dengan konsumen nasi goreng lainnya.
Di sinilah peran utama seorang marketer, yaitu menentukan takaran nilai yang paling tepat untuk melayani segmen konsumen yang sudah dipilih. Peran lainnya adalah, memastikan nilai-nilai yang dipilih dan diajukan sudah memenuhi sudut pandang konsumen, produsen/penjual, dan masyarakat secara bersama-sama. Namun khusus untuk artikel ini, konten berfokus pada pembentukan nilai berbasis sudut pandang konsumen.
Nilai dari sudut pandang konsumen
Sekarang, mari kita berpikir dari sudut pandang konsumen. Misal kita ingin membeli sepasang sepatu dan kebetulan belum memiliki preferensi sepatu yang diinginkan secara spesifik. Maka pilihan kita akan turun kepada beberapa pilihan. Tidak diragukan jika keputusan pembelian kita dipengaruhi rasio manfaat terhadap biaya dari setiap pilihan sepatu. Semakin besar manfaat (mis: desain, kegunaan, merek) dibandingkan dengan biaya (mis: harga), semakin besar kemungkinan kita memilih sepatu tersebut.
Sebagaimana sudah disampaikan sebelumnya, proposisi nilai memainkan peranannya dalam menentukan keputusan pembelian konsumen. Proposisi nilai berarti membicarakan satu paket manfaat yang diterima konsumen sesuai dengan janji perusahaan. Secara umum, proposisi nilai tersebut bisa mulai diterima dalam aspek kognitif, berlanjut ke afektif, dan akhirnya konatif. Saat konsumen sudah memilih produk berbasis afektif (emosi), keterikatan emosional berarti sudah terbentuk. Saat ikatan emosional sudah terbentuk, konsumen akan melakukan pembelian dan konsumsi produk melebihi dari sekedar fungsi.
Marketer memahami hal tersebut dapat terjadi dalam jangka panjang. Maka, proposisi nilai yang ditawarkan akan meraih kesuksesan jika para marketer mampu mengelola hubungan antara konsumen dengan produk yang mereka beli sebaik mungkin.
Membangun nilai melalui eksekusi marketing dengan konsumen
Jika perusahaan ingin berumur panjang, transaksi rutin harus tercipta. Lebih baik lagi, transaksi rutin tersebut tercipta karena kepuasan konsumen sehingga mereka melakukan pembelian berulang dan menyampaikan kepuasan mereka kepada teman dan kerabat mengenai produk kita. Penekanannya adalah jauh lebih mahal untuk menggaet konsumen baru dibandingkan dengan mempertahankan konsumen lama.
Konsumen melakukan pembelian berulang dan menyampaikan kepuasan mereka kepada teman dan kerabat karena merasakan manfaat proposisi nilai (value proposition) yang sudah kita janjikan. Proses membangun nilai konsumen tersebut secara ringkas dapat dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
- Membuat keputusan nilai marketing,
- Memahami kebutuhan-kebutuhan nilai dari konsumen,
- Membentuk proposisi nilai,
- Mengomunikasikan proposisi nilai,
- Menyampaikan proposisi nilai.
Sekarang, bagaimana cara kita mengetahui nilai-nilai apa saja yang bermanfaat? Lalu, bagaimana mengukur nilai-nilai setelah mengetahui mana saja yang bermanfaat? Para marketer dapat melakukannya melalui kartu skor marketing (marketing scorecard) yang biasanya didesain berbasis ukuran-ukuran yang dapat dikuantifikasi. Melalui kartu skor marketing, para marketer dapat mengetahui bagamana performa produk mereka di mata konsumen dan apakah tujuan yang mereka kerjakan selaras dengan tujuan konsumen.
Saat kita sedang berproses membangun nilai konsumen, gunakan juga waktu tersebut untuk membangun komunikasi dua arah dengan konsumen sebaik mungkin. Misal jika sebelumnya kita yang selalu mendesain iklan dan produk, berikan juga kesempatan kepada konsumen untuk mendesain iklan dan produk versi mereka. Eksekusi langkah ini dapat menentukan langkah marketer ke depan, antara lain untuk menyelaraskan cara berpikir perusahaan dengan konsumen.
Namun kita juga harus mengingat bahwa saat kita sudah mengetahui proposisi nilai konsumen, pastikan bahwa perusahaan mampu mengeksekusi, mengomunikasikan, dan menyampaikan proposisi nilai tersebut. Proposisi nilai konsumen juga sebaiknya menjadi keunggulan kompetitif perusahaan yang sulit disamai kompetitor. Usahakan agar keunggulan kompetitif perusahaan mampu memenuhi aspek kompetensi unik dan aspek manfaat berbeda (yang tidak ditawarkan kompetitor).
(Andika Priyandana; disarikan dari buku teks Marketing: Real People Real Choices Edisi 7)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Mei 2018