Bagaimana geliat bisnis e-commerce di Indonesia? Siapa saja konsumen utamanya? Benarkah e-commerce merenggut konsumen konvensional?
Sepanjang 2017, kita mendengar kisah-kisah susah dan senang dari ekonomi Indonesia. Saat kita membicarakan kisah susah, kasus-kasus penurunan pendapatan ritel mencuat. Selain kasus penurunan pendapatan ritel, penurunan okupansi mal-mal khususnya yang berada di wilayah ibukota turut menjadi perhatian.
Ada pihak-pihak yang beranggapan bahwa perdagangan elektronik adalah biang keladinya. Meski rasio perdagangan elektronik berbanding dengan pendapatan ritel secara total masih jauh dari angka dua digit, pertumbuhan yang diraih dari tahun ke tahun memang tidak dapat diremehkan.
Saat kita melihat data pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan ritel sudah sulit untuk menyentuh puncak yang pernah diraih pada 2012. Ritel bersama-sama dengan sektor otomotif menunjukkan perlambatan pertumbuhan.
Hal berbeda ditunjukkan oleh sektor informasi dan komunikasi serta sektor transportasi dan pergudangan. Kedua sektor tersebut berhubungan erat dengan dunia perdagangan elektronik karena untuk memastikan kelancaran bisnis, penetrasi teknologi internet berkualitas adalah keniscayaan. Selain penetrasi teknologi internet, perdagangan elektronik memerlukan dukungan sistem pergudangan yang baik dan distribusi barang dari gudang hingga konsumen.
Dengan perantaraan teknologi internet pula, sektor jasa mulai menawarkan produknya secara lebih baik khususnya kepada Generasi Y dan Generasi Z. Jasa akomodasi serta makanan dan minuman pun turut merangsek pasar melalui perdagangan elektronik.
Generasi Y dan Generasi Z: Penentu arah ekonomi
Harus diakui bahwa perekonomian Indonesia secara perlahan namun pasti sudah mengalami pergeseran yang dikendalikan oleh Generasi Y dan Generasi Z. Generasi Y dan Generasi Z memiliki perilaku konsumen dan preferensi belanja yang berbeda dengan generasi terdahulu.
Jika generasi terdahulu merasa bahwa belanja barang harus turun ke lapangan langsung, Generasi Y dan Generasi Z menganggap hal tersebut sudah mulai tidak perlu dan cukup mengecek melalui internet. Jika generasi terdahulu menganggap bahwa televisi, radio, dan media cetak adalah media terbaik untuk mendapatkan informasi, Generasi Y dan Generasi Z menganggap internet adalah tempat terbaik untuk mendapatkan beragam informasi.
Saat kita mengecek data penduduk Indonesia berbasis umur, generasi Y dan Z sudah menguasai lebih dari 50% populasi penduduk. Sedangkan dari segmen generasi Y dan Z, yang masuk dalam segmen usia 18 s.d. 35 alias usia produktif ada sekitar 25%. Maka, sudah menjadi kewajiban bagi para pemilik bisnis dan marketer untuk memahami kebutuhan, keinginan, dan perilaku konsumen Generasi Y dan Generasi Z, antara lain mengenai preferensi produk dan cara melakukan pembelian.
Acara-acara dagang elektronik di Indonesia
Melalui penjelasan sebelumnya, kita sudah mengetahui bahwa Generasi Y dan Generasi Z sudah memiliki porsi dominan dalam demografi penduduk Indonesia. Secara tingkat pendapatan, meski belum mencapai level signifikan seperti generasi senior mereka, jelas Generasi Y dan Generasi Z akan mengambil porsi dominan di masa depan. Dalam hal mencari informasi produk dengan tujuan membelanjakan pendapatan, Generasi Y dan Generasi Z memiliki ketergantungan tinggi terhadap internet. Maka, Generasi Y dan Generasi Z dapat dikatakan konsumen utama kegiatan perdagangan daring.
Maka, agar kegiatan perdagangan daring yang dilakukan produsen dapat menarik perhatian konsumen utama mereka, perlu ada kampanye marketing kegiatan perdagangan daring yang menonjol dan kreatif. Di Indonesia, hal tersebut sudah dilakukan secara rutin setiap tahun. Contoh kegiatan-kegiatan perdagangan daring tersebut adalah Mayday Madness, Festival Belanja Online, Hari Belanja Online Nasional, dan masih banyak lagi.
Kampanye-kampanye marketing tersebut secara umum dilakukan dengan tiga tujuan, yaitu:
Satu, mengedukasi pasar agar melakukan pembelanjaan secara online. Kampanye marketing perlu dilakukan dengan tujuan meyakinkan konsumen bahwa internet adalah satu-satunya tempat mereka bisa mendapatkan barang-barang kebutuhan mereka, misalnya menjelang akhir tahun, secara lebih murah, lebih nyaman, dan sama amannya dengan berbelanja konvensional.
Dua, meningkatkan traffic dan penjualan. Menciptakan pengalaman belanja online yang berkesan bagi para konsumen, khususnya saat mereka berseluncur dalam situs-situs belanja online yang menyediakan ribuan produk adalah kewajiban. Sebagai pelengkap demi tercapainya target penjualan dan traffic, kegiatan-kegiatan dan insentif pendukung juga perlu dilakukan, misal jasa antar gratis dan voucher potongan harga.
Tiga, meningkatkan sorotan merek melalui komunikasi marketing. Generasi Y dan Generasi Z terkenal dengan profil mereka yang kurang setia terhadap merek tertentu dan relatif mudah berpindah ke lain hati. Maka, bagi para produsen dan pengelola merek yang ingin terlibat dalam perdagangan elektronik, sebaiknya berkolaborasi dalam satu wadah daripada berkompetisi dan membuat promosi yang terfragmentasi. Dengan kerja sama, para produsen dan pengelola merek dapat meraih lebih dalam menarik perhatian konsumen dan meningkatkan sorotan terhadap merek masing-masing.
Salah satu contoh kasus keberhasilan acara kolaborasi perdagangan online adalah Mayday Madness 2016. Selama Mayday Madness 2016 berlangsung, para partisipan secara rerata berhasil meningkatkan pendapatan hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan hari biasa. Acara ini juga berhasil mengajak 50 partisipan dan sembilan mitra (institusi perbankan, dll) untuk bergabung. Berkat kerja sama ini, Mayday Madness 2016 sukses membuat rilis berita ke lebih dari 300 media.
Contoh lain kesuksesan kegiatan e-commerce adalah Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) 2017. Kesuksesan tersebut dapat dilihat antara lain dari laporan The Nielsen Company yang khusus membahas Harbolnas 2017. Nielsen menemukan bahwa dibandikan dengan tahun 2016, media sosial dan situs belanja masih menjadi sumber utama sorotan merek Harbolnas 2017 dengan pembagian sebagai berikut: Online Shopping Website 29% (+ 5%), Social Media 26% (+ 3%), Televisi 10% (+ 1%), Digital Ads 10% (- 2%), dan News Portal 3% (+ 0%).
Kemudian, seperti yang sudah dapat diduga, generasi konsumen usia 15 s.d. 34 tahun adalah pelanggan utama Harbolnas 2017 dengan rasio mencapai 75%. Sedangkan kelas sosial ekonomi yang dominan melalukan pembelanjaan melalui Harbolnas 2017 adalah SEC A 33% dan SEC B 27%. Sedangkan SEC C sebesar 26% dan SEC DE sebesar 14%.
Pembeli offline mulai belanja online
Temuan menarik yang ada dalam laporan Nielsen (2017) adalah adanya konsumen konvensional atau konsumen yang biasa melakukan pembelanjaan offline, mulai melakukan pembelanjaan online pertama kalinya di Harbolnas 2017.
Melalui survei, Nielsen mengetahui bahwa Harbolnas 2017 mampu memicu pembelanja offline untuk belanja secara online pada angka 5%. Secara umum, terdapat 68% pembelanja online rutin dan pembelanja Harbolnas, 27% pembelanja Harbolnas untuk pertama kalinya, dan 5% adalah pembelanja online untuk pertama kali.
Kemudian, kategori produk yang banyak dibeli adalah busana & pakaian olahraga, travel, kosmetik, produk-produk elektronik, top up / pembayaran tagihan, teknologi dan gawai, buku-buku, hingga kebutuhan sehari-hari. Sedangkan, insentif yang menarik perhatian untuk belanja online adalah diskon 80%, pengiriman gratis 50%, voucher 39%, dan cashback 23%.
Melalui penjabaran yang telah disampaikan, memahami kebutuhan konsumen Generasi Y dan Generasi Z memang sudah menjadi keniscayaan bagi perusahaan mana pun yang ingin terus tumbuh dan berkembang. Berusaha menggali kebutuhan-kebutuhan mereka serta mengetahui lebih jauh perilaku mereka dalam konsumsi produk perlu dilakukan semua marketer. Nah, sudah seberapa jauh hal-hal tersebut kita eksekusi?
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Januari 2018
Bener Banget. Belanja Online mempermudah orang untuk berbelanja tapi membuat orang menjadi males untuk keluar rumah, karena semua dapat di akses melalui internet.