Bandar Udara Internasional Ahmad Yani – bandara terapung pertama di Indonesia menjadi salah satu titik pariwisata kota Semarang.
Terdapat garbarata, lebih luas, lebih bersih, terasa modern, dan penuh dengan para pelancong yang ingin melihat-lihat Bandara Internasional Ahmad Yani dengan desain baru yang baru saja diresmikan. Itulah kesan saya saat tiba dan menjejakkan kaki di bandara kebanggaan warga Kota Semarang, Jawa Tengah pada Sabtu lalu, 9 Juni 2018 sekitar petang hari persis setelah Maghrib.
Khusus garbarata, saya sempat kagum saat baru keluar dari pesawat dan mendapati bahwa untuk pertama kalinya, saya mengetahui bahwa Bandara Ahmad Yani memiliki garbarata. Hehehe, terdengar meremehkan ya?
Kebetulan meski saya bukan orang asli Semarang, saya sejak tumbuh besar di kota ini. Saya merasakan masa-masa penggunaan bandara Ahmad Yani saat masih bersebelahan langsung dengan lokasi Penerbad, kala bandara sangat sepi akibat krisis moneter yang dimulai tahun 1998 (bandara Ahmad Yani pernah hanya melayani dua kedatangan pesawat dalam sehari semalam), hingga bandara menjadi sangat ramai dalam tiga hingga empat tahun terakhir.
Saya merasakan masa-masa saat warga Kota Semarang iri dengan terminal baru Bandara Adi Soemarmo diresmikan Presiden SBY pada 2009. Alasan iri karena Bandara tersebut dipandang lebih megah dan lebih modern dibandingkan dengan Bandara Ahmad Yani.
Saya pun mengetahui wacana pembangunan bandara internasional yang sudah ada sejak sekitar tahun 2003, namun terus terkatung-katung hingga 2013. Berbagai alasan sehingga wacana tinggal wacana rutin muncul setiap pergantian gubernur Jawa Tengah. Mulai dari alasan kondisi ruang udara Kota Semarang, lahan sekitar bandara lama yang sangat terbatas, bandara baru akan dibangun di Kendal atau Demak, hingga ketiadaan biaya.
Saat Ganjar Pranowo menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah per 2013, wacana pembangunan bandara Ahmad Yani yang baru kembali muncul. Saya semula skeptis, sesuai karakter saya, mengenai eksekusi wacana bandara baru Ahmad Yani. Namun entah bagaimana, peletakan batu pertama berhasil dilakukan pada 2014 dan letaknya berseberangan dengan bandara lama. Untuk mengatasi keterbatasan lahan, sebagian wilayah bandara baru dibangun di atas rawa sehingga mendapat sebutan “bandara terapung”.
Akhirnya pada Kamis sore, 7 Juni 2018, Presiden Jokowi meresmikan Bandar Udara Internasional Jenderal Ahmad Yani dan dua hari kemudian, saya merasakan bandara baru tersebut.
Suasana Bandar Udara Internasional Jenderal Ahmad Yani – bandara terapung pertama di Indonesia

Bandara Internasional Ahmad Yani baru – bandara terapung pertama di Indonesia – ruang pengambilan bagasi 1
Setibanya di Bandara Ahmad Yani dan keluar dari garbarata, saya melalui lorong menuju tempat pengambilan bagasi. Tampilan ruangan terlihat jauh lebih lapang dan lebih terang. Papan petunjuk bagi para penumpang pesawat yang baru tiba cukup jelas.

Bandara Internasional Ahmad Yani baru – bandara terapung pertama di Indonesia – ruang pengambilan bagasi 2
Saat saya tiba di ruang pengambilan bagasi, suasana modern jauh lebih terasa dibandingkan dengan Bandara Ahmad Yani yang lama. Setelah saya mengambil bagasi, saya melihat ada beberapa kekurangan bandara Ahmad Yani, antara lain keterbatasan petugas pengecek bagasi. Jika ada yang berniat maling, bisa dikatakan hal tersebut relatif mudah dilakukan.
Lalu saat saya keluar dari bandara, saya melihat sangat banyak orang yang menunggu di ruang kedatangan. Namun, saya melihat banyak sosok mereka yang tujuannya bukan untuk menjemput penumpang, namun sekedar menikmati Bandara Ahmad Yani yang baru. Suasana kumuh cukup terasa karena saya dengan mudah melihat orang-orang duduk lesehan, bahkan tiduran di sekitar ruang kedatangan. Sebaiknya pengelola Bandara Ahmad Yani memerhatikan dan mencari solusi agar bandara yang masih baru tidak berkesan kumuh.
Akhirnya saya mencoba mencari taksi. Di sini, saya merasa kesulitan mencari taksi resmi bandara dan tidak semudah di Bandara Halim Perdanakusuma atau Bandara Sukarno Hatta. Saya harus bertanya dahulu kepada porter dan akhirnya saya mengetahui bahwa taksi putih yang dikelola koperasi TNI ada di seberang ruang kedatangan.
Bagi Anda sekalian yang belum tahu, taksi ini tidak menggunakan argometer. Saya harus membayar Rp 60.000,00 untuk mendapatkan tumpangan hingga wilayah Sampangan. Bagi saya, harga ini cukup mahal untuk ukuran Kota Semarang. Saya akhirnya memilih taksi ini karena sejauh mata memandang, saya tidak melihat jenama-jenama taksi lainnya.
Sesudah menaiki taksi dan menuju keluar bandara, saya melihat banyak mobil yang nongkrong di sekitar bundaran dan samping jembatan untuk melihat-lihat pemandangan. Saya semakin meyakini bahwa tidak sedikit pengunjung Bandara Ahmad Yani yang baru adalah pelancong dan bukan penjemput atau pengantar para penumpang pesawat.
Melihat Bandar Udara Internasional Ahmad Yani, bandara terapung pertama di Indonesia, di pagi hari
Esok paginya, saya memutuskan untuk ikut menjadi sekedar pengunjung Bandara Internasional Ahmad Yani dan kesan saya berikutnya, bandara ini memang benar-benar bagus. Meski terlihat baru berjalan secara fungsional, bandara ini memang layak menjadi kebanggaan warga Kota Semarang. Sekarang, warga Kota Semarang tidak perlu lagi iri dengan warga Kota Solo.
Dan untuk memuaskan Anda sekalian yang belum mengetahui foto-foto Bandara Internasional Jenderal Ahmad Yani dari perspektif warga biasa, silahkan nikmati foto-foto berikut.