Indonesia sangat membutuhkan oposan berkualitas yang dicirikan dengan sikap kritis berbobot. Lantas, bagaimana caranya memunculkan sikap tersebut?
Mungkin di antara kita pernah atau masih melihat kenalan-kenalan kita atau tokoh masyarakat di ruang publik dan media sosial mengaku diri sebagai kritis. Sikap kritis tersebut ditunjukkan antara lain dengan:
- Rutin mengomentari artikel-artikel pendek media daring, dan bisa mengomentari judul saja tanpa membaca isi,
- Rutin mengomentari artikel-artikel dari berbagai isu, mulai dari urusan papan hingga olahraga, dan seakan menunjukkan sikap sangat memahami isu yang dia komentari,
- Membuat pernyataan-pernyataan dengan gaya bahasa dan penyampaian yang penting meyakinkan,
- Membuat pernyataan dan opini yang sangat menekankan sisi emosional audiens,
- Dan masih banyak lagi.
Tindakan-tindakan di atas memang sah, namun mencirikan sikap kritis yang dangkal. Memang gaya penyampaian tersebut mudah dicerna oleh mayoritas masyarakat Indonesia, tetapi tetap saja dangkal. Mungkin, sikap tersebut muncul karena iklim demokrasi Orde Reformasi yang jauh lebih terbuka dibandingkan Orde Baru.
Akibatnya, dua pertanyaan muncul di benak saya:
- Pantaskah Indonesia berdemokrasi?
- Bagaimana cara bersikap kritis yang bermutu?
(Baca juga: Pantaskah Indonesia Berdemokrasi?)
Poin pertama muncul karena karakter skeptis yang saya miliki, bukan optimis dan pesimis. Saya dulu berpikir bahwa pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat yang Indonesia lakukan adalah sistem yang sangat baik.
Kini, rakyat Indonesia yang sudah cukup umur dan memiliki kartu identitas dapat memilih wakil rakyat daerah dan pusat yang mereka inginkan secara langsung. Kalau mereka bingung siapa wakil rakyat yang mereka inginkan, mereka bisa mencoblos partai dan caleg urutan tertinggi secara otomatis akan menjadi perwakilan rakyat di daerah atau pusat.
Namun, perbincangan rutin dengan mentor saya, Bapak Nabiel Makarim dan hasil membaca berbagai literatur (dan masih merasa jauh dari cukup) membuat saya gamang mengenai pantas tidaknya sistem demokrasi tersebut. Selain berbiaya sangat tinggi, pilihan masih sangat didominasi oleh emosi dan bukan rasionalitas serta sikap obyektif.
Secara umum. saya melihat para pemilik hak suara didominasi oleh tiga golongan, yaitu pragmatis, fanatik, dan rasional. Golongan pragmatis mengambil porsi terbesar dari para pemilik hak suara, lalu turun ke golongan fanatik, dan yang paling sedikit adalah rasional.
Sayangnya, jumlah golongan rasional masih sangat sedikit dan karenanya, belum bisa memberikan pengaruh signifikan dalam sistem yang menghargai satu orang satu suara.
Lebih buruk lagi, Indonesia masih penuh dengan paradoks. Perbandingan antara jumlah kaya dan miskin yang digambarkan melalui Indeks Gini, jumlah masyarakat aktif literasi masih terlalu sedikit, jumlah penduduk melek politik dan pemerintahan masih sangat sedikit, dan masih banyak lagi.
Akibatnya, sistem demokrasi negara Indonesia melahirkan kasus-kasus korupsi yang terus muncul, pemerintah berjalan kurang efektif, DPR / MPR berkali-kali mengutamakan penyelesaian produk hukum yang kurang esensial, dan lembaga legislatif belum mampu memberikan rasa keadilan yang utuh dalam ruang persidangan.
Kalau sudah begini, apa yang harus kita lakukan sebagai rakyat? Salah satunya adalah menjaga sikap kritis berbobot sembari memikirkan dan mencoba mengimplementasikan solusi yang paling tepat untuk menjalankan negara Indonesia.
Meyampaikan sikap kritis berbobot
Saat kita menyampaikan opini, meski berbasis fakta, dapat terkena kontra argumentasi yang menyulitkan kita. Nah, apalagi jika opini yang kita sampaikan tidak berbasis data dan fakta. Kita bisa terkena perundungan massal, khususnya saat kita memiliki posisi mencorong di publik.
Masih ingat kasus seorang tokoh politik ternama sangat senior yang menyatakan bahwa bagi-bagi sertifikat adalah pengibulan? Atau kisah mantan penyanyi dan bintang film yang menyatakan hutang Indonesia sudah melewati 50%? Mereka ingin menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah, namun sangat lemah dalam hal data dan pemahaman masalah. Akibatnya mereka terkena perundungan massal.
Ketahui bahwa pendapat kita diperhatikan tidak hanya oleh audiens yang sewarna dengan kita, tetapi juga oleh audiens yang berbeda warna.
Dalam hal menyampaian pendapat, saya sudah memiliki pengalaman dalam konteks pribadi maupun publik, baik di lapangan hingga di balik layar dengan berbagai profil, mulai dari aparatur negara, penegak hukum, wakil rakyat di DPR / MPR, hingga tokoh-tokoh politik papan atas baik di kantor DPD partai politik maupun DPP partai politik.
Ada satu hal penting yang bisa saya dapatkan dari perbincangan dengan mereka: Mereka bukan manusia super yang mengetahui segalanya (syarat dan ketentuan berlaku). Ada hal—hal yang sebenarnya kurang mereka pahami, namun tetap mereka sampaikan ke publik.
Ya, para tokoh yang menjadi perwakilan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bukan manusia super yang tahu segalanya. Namun, tentu saja syarat dan ketentuan berlaku. Syarat dan ketentuan berlaku kepada diri kita yang jika tidak kita kuasai, justru kita terlihat tolol, omong kosong, bagai tong kosong nyaring bunyinya.
Secara garis besar dan sesuai urutan prioritas, ada empat hal yang perlu kita miliki saat menyampaikan sikap kritis berbobot, khususnya di ranah publik:
- Pemahaman masalah,
- Pemahaman ilmu secara spesifik yang berkenaan dengan masalah,
- Keterkaitan dengan isu yang kita kritisi,
- Metode penyampaian sikap kritis, a.l. menghindari serangan personal.
Secara ringkas, sampaikan hal-hal yang kita pahami dengan baik. Semakin dalam pemahaman kita dengan hal tersebut, semakin baik.
Topik-topik yang saya pilih dalam menyampaikan sikap kritis
Untuk memudahkan pemahaman mengenai yang sudah saya uraikan di atas, saya akan memberikan contoh mengenai topik-topik yang saya pilih jika saya merasa perlu memberikan pandangan atau opini saya, khususnya di ruang publik baik media daring maupun bukan.
- Kebutuhan primer – papan – rumah susun
Saya meletakkan kasus kebutuhan primer berupa pemenuhan kebutuhan papan – rumah susun karena sudah terlibat cukup lengkap dalam berbagai sisi, mulai dari urusan ekonomi, hukum, hingga politik yang berhubungan dengan pencapaian tujuan saya.
Saya pernah melakukan kesalahan fatal saat membeli rumah susun karena hanya mendasarkan penilaian saya pada basis ekonomi semata. Harga termasuk murah dengan lokasi strategis dan karenanya, terdapat ilusi yang menunjukkan kenaikan harga lebih tinggi dari inflasi setiap tahunnya meski sudah dipotong inflasi.
Ternyata, unit rusun yang saya beli memiliki banyak masalah dalam hal status hukum, masalah sosial dalam bentuk persinggungan dengan pemilik dan penghuni rusun, hingga lemahnya payung hukum yang melindungi para pemilik dan penghuni rumah susun. Karena kasus ini, saya belajar hukum yang berhubungan dengan rumah susun sebaik mungkin hingga bertemu dengan tokoh-tokoh politik besar. Melalui kasus ini juga, beberapa kali saya diwawancara dan opini-opini saya masuk media massa skala nasional.
Saya kemudian menuangkan pengalaman saya dalam bentuk tulisan dengan basis pengalaman dan pengatahuan selama berurusan dengan rumah susun secara langsung di lapangan.
(Baca juga: 9++ Wajib Tahu bagi Calon Pemilik dan Penghuni Rumah Susun)
- Pendidikan, khususnya pendidikan tinggi
Paparan dunia pendidikan yang tidak sekedar di posisi seorang murid yang duduk di bangku sekolah sudah saya rasakan sejak Taman Kanak-Kanak. Ibu saya adalah seorang pengajar di Perguruan Tinggi Negeri dan saya rutin mendapatkan kesempatan menemani Ibu saya dalam kunjungan-kunjungan ke kampus baik untuk keperluan mengajar di depan kelas hingga penelitian di dalam laboratorium.
Meski waktu itu saya masih anak-anak, entah kenapa saya memiliki keinginan melakukan observasi yang lebih dari sekedar perilaku tidak mau berjauhan dengan Ibu. Saya memerhatikan bagaimana raut wajah murid-murid, apa yang disampaikan Ibu di depan kelas, hingga membaca buku-buku kedokteran (meski tidak paham) yang menjadi referensi pengajaran.
Saat saya dewasa, entah kenapa saya ternyata menjadi seorang dosen paruh waktu di perguruan tinggi. Padahal saya mulai dari SD hingga selesai menempuh pendidikan Strata Dua sama sekali tidak terlintas pikiran memilih profesi dosen sebagai salah satu sumber penghidupan.
Maka, saya mulai belajar lebih dalam mengenai hal-hal makro dunia pendidikan seperti kualitas pendidikan di Indonesia (misal literasi dan publikasi karya ilmiah), kualitas dosen di Indonesia, psikologi murid, taktik mengajar di depan kelas, dan masih banyak lagi. Saya juga membuat tulisan-tulisan dan sudah menjalankan riset di luar kewajiban perkuliahan yang membuat saya memahami dunia pendidikan tinggi Indonesia dengan lebih baik lagi.
(Baca juga: Selamat Hari Pendidikan Nasional!)
(Baca juga: Mengapa Saya Memberikan Bantuan untuk Ponpes)
(Baca juga: Reformasi Sumber Daya Manusia ala Singapura)
- Ekonomi dan bisnis
Saat SMA, saya masuk kelas IPS. Lalu kuliah S1 di jurusan Ekonomi Pembangunan, meneruskan S2 Magister Manajemen, pernah bekerja di dunia FMCG hingga rokok, dan pernah menjalani profesi pedagang sejak kelas 3 SD.
Kini, saya menjalankan beberapa profesi sekaligus yang berhubungan dengan dunia bisnis dan ekonomi, khususnya skala mikro dan dalam sebagian pekerjaan tersebut, ada kewajiban bagi saya memahami ekonomi makro dengan baik.
Profesi-profesi tersebut salah satunya adalah dosen ekonomi dan bisnis sejak 2013 yang sudah mengajar mata kuliah Digital Marketing, Information & Communication Technology, Integrated Marketing Communication, Selling in Business, Digital Branding & Marketing, Service Marketing, dan Marketing Management. Selain sebagai dosen ekonomi dan bisnis, saya juga menjadi seorang editor senior di majalah pemasaran terkemuka Indonesia.
Profesi-profesi di atas mewajibkan saya rutin membaca buku-buku dan karya ilmiah yang berhubungan dengan dunia ekonomi dan bisnis. Saya berkali-kali menjalani kewajiban wawancara dengan tokoh-tokoh ekonomi dan bisnis skala internasional hingga lokal.
Pendidikan, pengetahuan, dan pengalaman yang saya miliki hingga level akar rumput tentunya memberikan saya keberanian beropini secara terbuka mengenai hal-hal tertentu dalam dunia ekonomi dan bisnis di Indonesia.
(Baca juga: Prospek Ekonomi Indonesia Menurut Ibu Aviliani)
(Baca juga: Menelisik Program Ekonomi Era Jokowi – JK)
(Baca juga: Keller dalam POP dan POD)
- Olahraga, khususnya Pencak Silat
Saya memiliki berbagai masalah yang sudah saya alami dan membuat saya harus memerhatikan dan mendalami dunia olahraga. Perhatian dan pendalaman tersebut tidak sekedar menggerakkan badan, tetapi juga memahami kerja organ dalam tubuh, proses pencernaan, hingga urusan asupan.
Dalam konteks urusan asupan, saya memiliki masalah obesitas dan pernah kelebihan berat badan secara sangat signifikan. Almarhum Bapak saya meninggal karena masalah darah tinggi, kolesterol, dan gagal ginjal. Almarhum kakak tiri juga mengalami masalah serupa dan menjadi sebagian dari penyebab meninggal di usia muda.
Sedangkan dalam konteks menggerakkan badan hingga memahami kerja organ tubuh, saya sangat dipengaruhi oleh pencak silat, khususnya Pencak Silat Tenaga Dasar. Saya sudah belajar PSTD secara serius sejak usia 17 tahun, termasuk tentunya belajar olah pernafasan PSTD. Selain komunitas PSTD, saya terlibat dalam komunitas umum pencak silat dan membaca buku-buku mengenai pencak silat.
(Baca juga: Pencak Silat Adalah…)
(Baca juga: Pencak Silat dalam Kenangan Oong Maryono)
- Rantai pasok dan logistik
Kini, kita secara perlahan mulai memasuki topik-topik yang berani saya bahas di muka publik, tetapi dengan jauh lebih hati-hati dibandingkan tiga topik sebelumnya. Alasannya adalah pengetahuan dan pengalaman saya yang masih sangat hijau.
Saya tidak memiliki pendidikan khusus dalam dunia rantai pasok dan logistik. Keterlibatan saya secara spesifik dimulai saat ditarik untuk ikut terlibat dalam riset truk skala nasional. Lalu, saya diajak bergabung dalam dunia logistik, khususnya pergudangan secara lebih profesional dan berkali-kali ikut dalam pertemuan-pertemuan resmi antarpengusaha truk maupun antarpelaku logistik dengan pemerintah.
Meski pengalaman saya masih minim, saya jadi mengetahui komponen-komponen yang menyebabkan biaya logistik di Indonesia sangat tinggi. Saya juga jadi mengetahui bahwa dalam konteks terkini, kenaikan harga BBM Premium sangat cocok dan rutin dijadikan komoditas politik, tetapi sebenarnya memiliki pengaruh kecil terhadap harga akhir konsumen.
(Baca juga: Mengeruk Data Prospek Pasar Truk Indonesia 2015)
(Baca juga: Logistik Indonesia 2017: Penuh Masalah Sekaligus Penuh Potensi)
(Baca juga: Urun Solusi Masalah Logistik Indonesia)
- Lingkungan hidup
Topik lingkungan hidup adalah topik terakhir yang berani saya sampaikan di depan publik. Itu pun dengan kehati-hatian melebihi empat topik sebelumnya.
Pemberi pengaruh terkuat kepada saya mengenai isu lingkungan adalah Ibu saya dan mentor saya, Bapak Nabiel Makarim. Kedalaman pemahaman masalah dan latar belakang pendidikan Ibu di bidang Toksikologi Lingkungan dan profil Pak Nabiel sebagai mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup membuat saya banyak berdiskusi dan membaca berbagai literatur mengenai lingkungan hidup.
Namun saya tidak memiliki pengalaman profesional dalam hal lingkungan hidup. Keterlibatan saya sekedar membuang sampah pada tempatnya, jengkel saat melihat pohon-pohon di jalan protokol ditebang, hingga membagi berita mengenai pencemaran dan kerusakan lingkungan di media sosial.
(Baca juga: Himne Sekolah Bisnis ala Nabiel Makarim)
Selain topik-topik di atas, tentu saja saya pernah berinisiatif membuka topik-topik berbeda. Namun sekali lagi, saya tetap berhati-hati. Jika tidak memahami topik tersebut, sebaiknya kita memilih jawaban belum tahu atau belum menguasai topik tersebut.
Jika kita masih memaksa beropini mengenai topik tersebut, apalagi di ruang publik baik di media daring dan luring, mungkin ujaran guru SMP saya sangat pantas disematkan, “Banyak orang-orang punya prinsip biar goblok asal sombong!”