“Ngapain lo ngasih bantuan untuk ponpes? Ngasih bantuan buat umat yang suka main kekerasan? Sementara negara Barat sudah mikir caranya ke Mars. Mending lo ngasih duid dan pikiran lo buat bikin pusat riset biar negara ini makin maju!”
Ucapan tersebut disampaikan teman saya, yang sebenarnya beragama Islam. Dari awal artikel ini mungkin sudah ada hal yang menohok sebagian pihak. Hal-hal tersebut adalah pandangan negatif mengenai umat Islam, khususnya dari sesama umat Islam.
Mengenai pandangan negatif terhadap umat Islam, sebenarnya apa yang disampaikan teman saya bukan hal baru. Malah sudah ada berbagai lembaga yang sudah melakukan riset mengenai persepsi negatif terhadap umat Islam, antara lain karakteristik yang identik dengan kekerasan.
Selain citra kekerasan, ada data-data yang spesifik membahas level pendidikan bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Data-data tersebut menunjukkan jika kita masih ada pada posisi bawah dan bahkan ada artikel-artikel asing yang menyatakan generasi muda bangsa Indonesia itu bodoh.
Pilihan saya memang mengandung unsur subyektif karena agama saya adalah Islam. Alasan lain yang membuat saya ingin memberikan bantuan untuk ponpes selain citra kebodohan dan kekerasan, adalah alasan nasionalisme.
Jadi secara ringkas, ada dua alasan yang saya berikan sebagai jawaban kepada teman saya mengenai alasan memberikan bantuan untuk ponpes, yaitu:
- Faktor kebodohan yang menjadi musuh berat bangsa Indonesia,
- Faktor citra negatif terhadap umat Islam, khususnya kekerasan.
Bangsa Indonesia masih ada di papan bawah dalam hal kecerdasan dan kepandaian dibandingkan dengan negara-negara lainnya
Saya sangat miris sekaligus jengkel saat mengetahui data-data yang menunjukkan bahwa bangsa kita, bangsa Indonesia masih masuk dalam kategori terbelakang untuk urusan pendidikan. Contoh data-data tersebut adalah sebagai berikut:
- Data Badan Pusat Statistik (2006) menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan membaca, misal membaca koran (23.5%), sebagai sumber informasi dan lebih mengutamakan menonton televisi (85.9%) dan mendengarkan radio (40.3%).
- Temuan Organisation for Economic Cooperation and Development (2009) menyampaikan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.
- Hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization(2011) menemukan bahwa indeks membaca rakyat Indonesia hanya 0.001 yang berarti dari seribu penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca tinggi.
- Data Ikatan Penerbit Indonesia (2014) menyatakan bahwa jumlah buku terbit di Indonesia hanya sekitar 30.000 judul berbanding 240 juta penduduk Indonesia dengan rasio satu buku dibaca empat hingga lima orang.
- Kembali ke kebiasaan penduduk Indonesia menonton televisi, temuan Nielsen (2014) yang senada dengan temuan BPS menyatakan bahwa televisi menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%) di kota-kota baik di Jawa dan luar Jawa. Padahal banyak studi menunjukkan bahwa menonton televisi menyebabkan gelombang otak pada kondisi alfa karena dominasi fungsi indra visual dan perasaan. Kondisi alfa biasa berasosiasi dengan kondisi meditasi. Dengan kata lain, otak manusia cenderung mengistirahatkan dirinya saat menonton televisi (Applied Neuro Technology, 2012).
Temuan kebiasaan tinggi masyarakat Indonesia menonton televisi menunjukkan bangsa Indonesia bukan bangsa pembaca, memiliki tingkat pengetahuan lebih rendah secara umum dibandingkan konsumen-konsumen negara maju, dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Masyarakat kita tidak sekedar mengakses informasi lebih sedikit, mereka juga tidak mencerna dan mengolah informasi lebih dalam. Hal ini antara lain disebabkan sistem pendidikan di keluarga dan di sekolah yang belum biasa mengajarkan cara berpikir kritis (Handi Irawan, 2008).
Berdasarkan data yang ada, bukan hal mengejutkan jika kualitas program televisi kita masih rendah, kualitas berita secara umum cenderung dangkal, dan bahkan buku-buku yang beredar lebih dominan buku yang ringan dibaca walau tidak menjadikan seseorang lebih pandai dan lebih berpengetahuan.
Dapat dipahami jika masyarakat Indonesia mudah tersulut amarah hanya karena gosip dan intens berkasak-kusuk di jejaring sosial hanya dengan membaca judul artikel tanpa membaca isi. Kenyataannya masyarakat Indonesia jauh lebih mengutamakan sampul alias tampilan luar daripada isi.
Selain data-data di atas, masih banyak data yang menunjukkan bangsa Indonesia masih lemah, antara lain dalam hal literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah. Hasil tes PISA (Programme for International Students Assessment) yang mengukur kompetensi siswa usia 15 tahun yang bersekolah dan PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies) yang mengukur tingkat kecakapan orang dewasa menunjukkan temuan tersebut. Baik PISA dan PIAAC adalah keluaran Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Supaya diketahui bahwa di luar negeri, hasil PISA Indonesia sudah banyak dikutip dengan nada sinisme bahkan sarkasme. Salah satu contoh sarkas tersebut adalah tulisan Pisani (2013) yang menyatakan bahwa siswa Indonesia “bodoh, tetapi bahagia”. Basis tulisan Pisani antara lain dari hasil PISA Indonesia (2012) yang menempatkan Indonesia di urutan 60 dari 64 negara dalam survei membaca, dan posisi juru kunci dalam matematika serta sains.
Senada PISA, PIAAC Indonesia juga menunjukkan hasil miris. Bangsa kita terpuruk pada peringkat terbawah di hampir semua jenis kompetensi yang dibutuhkan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya dalam masyarakat.
Sebagai contoh, lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian terendah) dalam hal literasi di semua kategori umur (16 – 24 tahun s.d. 55 – 65 tahun) dan di semua tingkat pendidikan (SMP ke bawah sampai Perguruan Tinggi). Arti data ini adalah bangsa Indonesia memiliki rasio orang dewasa dengan kemampuan membaca terburuk dari 34 negara OECD dan mitra OECD yang disurvei pada putaran 2016.
Berdasarkan definisi OECD, maksud level <1 adalah hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab untuk menemukan satu bagian informasi spesifik. Padahal bagi saya, ini tidak sulit karena untuk menyelesaikan tugas tersebut hanya diperlukan pengetahuan kosakata dasar dan tidak perlu memahami struktur alinea dan kalimat.
Patut menjadi catatan bahwa survei PIAAC ini dilakukan hanya di Jakarta yang notabene adalah ibukota negara yang penduduknya memiliki tingkat Indeks Pembangunan Manusia mencapai 78,99, di atas rata-rata nasional 69,55 (BPS, 2016). Bagaimana hasilnya jika survei PIAAC juga dilakukan di kota-kota lain dengan fasilitas pendidikan, kecukupan gizi, informasi, dan kesehatan yang lebih buruk dari Jakarta?
Yang membuat data tersebut semakin memiriskan hati, temuan serupa juga ditunjukkan data UNESCO, bahkan BPS! Jelas bahwa pembangunan manusia Indonesia adalah pekerjaan maha sulit dan tidak bisa dilakukan hanya oleh Pemerintah Indonesia, tetapi setiap yang merasa menjadi rakyat Indonesia harus ikut terlibat aktif mengurai dan menuntaskan masalah ini.
Maka, saya tidak heran dan sangat memahami jika polarisasi mudah terjadi dan berkepanjangan. Hasutan, berita palsu, dan ujaran kebencian dengan mudah merambat ke segenap segmen-segmen masyarakat Indonesia. Maka putusnya hubungan silaturahmi pun menjadi salah satu akibat dari kelemahan-kelemahan bangsa kita.
Karakteristik-karakteristik negatif yang terasosiasikan dengan Muslim
Pew Research Center (2011) dalam temuannya menyampaikan karakteristik-karakteristik negatif yang dilihat responden negara-negara mayoritas Non-Muslim, antara lain erat dengan kekerasan, fanatik, arogan, egois, dan serakah. Bisa dikatakan, temuan tersebut serupa dengan penyampaian teman saya sehubungan dengan keputusan saya memberikan bantuan untuk ponpes.

Negative Characteristics Associated with Muslims (Non-Muslim Respondents) – Pew Research Center 2011
Kini, artikel saya masuk lebih dalam mengenai “kekerasan”. Jika responden non-Muslim memberikan pendapat tersebut, bagaimana dengan opini dari para responden negara mayoritas Muslim, misalnya Indonesia? Pew Research Center (2011) tenyata mendapatkan temuan bahwa Islam adalah agama kedua yang berkorelasi dengan kekerasan setelah Yudaisme (32% vs. 56%)
Organisasi Kerjasama Islam – Organisation of Islamic Cooperation (OIC) dalam observasi rutin mengenai Islamofobia pun memberikan temuan serupa Pew Research Center. Dalam laporan kesepuluh OIC Islamofobia (2017), OIC menyatakan bahwa Islamofobia terus menunjukkan pertumbuhan tanpa tanda-tanda kemungkinan penurunan, dengan titik panas-titik panas utama di Amerika Serikat dan Eropa. Grafik yang ada menunjukkan tren Islamofobia yang tinggi dan terefleksikan melalui narasi-narasi negatif terhadap Islam, termasuk serangan terhadap masjid, pusat kegiatan Islam, orang-orang Islam, komunitas Islam, dan para wanita yang mengenakan kerudung atau hijab.
Penyebab munculnya opini-opini negatif tersebut ada berbagai hal, antara lain isu-isu politik yang dimainkan politisi Amerika Serikat dan Eropa untuk mengambil hati para pendukung, isu imigran, tren kenaikan ideologi populisme, dan pandangan bahwa para pendatang Muslim tidak mau berasimilasi dengan budaya serta kebiasaan setempat, lalu memilih mengeksklusifkan diri (10th OIC Islamophobia Report (2017) & Pew Research Center (2011)).
Perhatian umat Islam terhadap identitas kekerasan
Meski laporan OIC mengenai tren Islamofobia yang terus menunjukkan tren naik, ada temuan Pew Research Center yang membahas salah satu faktor penyebab Islamofobia, yaitu ekstrimisme Islam, dan kabar baiknya adalah kekhawatiran mengenai ekstrimisme Islam justru menurun antara periode 2006 s.d. 2011 antara lain di wilayah Eropa Barat dan Amerika Serikat. Saya belum menemukan data terbaru per 2017, tapi data ini tetap menunjukkan hal positif. Namun di Turki yang sangat dominan Muslim, kekhawatiran terhadap ekstrimisme Islam justru meningkat dari 45% ke 52%.
Umat Islam khawatir dengan kekerasan
Saat survei mengenai ekstrimisme Islam dilakukan di antara masyarakat Muslim, responden secara mayoritas menyatakan khawatir jika ekstrimisme Islam menggiring pada pergerakan-pergerakan yang melibatkan kekerasan. Lebanon (56%) dan Indonesia (55%), Muslim secara mayoritas menyatakan bahwa kekerasan adalah kekhawatiran terbesar mereka saat membicarakan ekstrimisme Islam.
Melalui data ini pula dapat dipahami bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia menghindari kekerasan dan moderat. Jadi, pergerakan-pergerakan massa Islam yang condong ekstrim selalu mendapat tempat hanya di sebagian kecil hati masyarakat Islam Indonesia.
Memberantas kebodohan dan mengikis citra negatif umat Islam melalui buku dan pendidikan di pondok pesantren
Laporan kesepuluh OIC Islamofobia (2017) memberikan banyak masukan yang berguna untuk menurunkan level Islamofobia yang juga sejalan dengan solusi memberantas kebodohan dan mengikis citra negatif umat Islam khususnya di Indonesia, antara lain:
- Menekanan pentingnya pendidikan Islami yang tepat untuk usia tumbuh kembang untuk menghindari sikap acuh agama di antara generasi baru,
- Membentuk kemitraan dengan institusi dan individu non-Muslim untuk mewujudkan tindakan nyata dalam bentuk kebijakan, pembangunan, dll,
- Melakukan tindakan-tindakan yang menurunkan pengaruh laporan media-media yang mendelegitimasi populasi Muslim,
- Meneruskan tindakan mengutuk tindak terorisme terlepas dari lokasi dan pelaku terorisme.
Selain saran-saran OIC di atas, kami (saya dan lingkungan sekitar saya (a.l. keluarga dan teman-teman) melakukan tindakan-tindakan, antara lain sebagai berikut:
- Mengajak teman-teman dan lingkungan sekitar, termasuk dari latar belakang agama dan keyakinan berbeda, untuk memberikan bantuan khususnya pendidikan kepada pondok pesantren yang berfokus kepada santri dan santriwati dari golongan yatim dan dhuafa,
- Mengumpulkan buku-buku baik baru dan bekas, dari berbagai genre, sudut pandang, serta bahasa, untuk disumbangkan ke pondok pesantren dengan tujuan pendidikan santri dan santriwati golongan yatim dan dhuafa,
- Memberikan sumbangan ilmu untuk pendidikan santri dan santriwati pondok pesantren sesuai dengan kemampuan dan kapabilitas pribadi.
Hasil akhir yang saya harapkan dari tindakan-tindakan yang sudah kami rencanakan dan kami lakukan adalah:
- Turut membentuk generasi baru muslim dan muslimah Indonesia yang berpengetahuan luas, berpikiran kritis, sikap hormat terhadap yang memiliki keyakinan berbeda, dan berjiwa Islam dengan semangat nasionalisme Indonesia,
- Turut menurunkan persentase golongan sosial ekonomi bawah dengan memberikan mereka ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan dibutuhkan masyarakat luas,
- Turut menciptakan generasi muda yang memberikan kontribusi positif memberantas kebodohan dan mengikis citra negatif umat Islam, khususnya di Indonesia.
Apakah impian-impian saya di atas terdengar idealis? Hahaha, saya ga peduli. Saya memiliki sangat banyak impian dan hal-hal yang ingin saya capai dan tidak ada gunanya bagi saya untuk terlalu memikirkan hambatan dan tantangan yang menghadang. Untuk mewujudkan impian-impian saya di atas, saya sudah memulai kontribusi saya beberapa waktu lalu dan ke beberapa pondok pesantren.
Pondok Pesantren Fatihatul Quran yang terletak di Kabupaten Bogor adalah salah satu ponpes yang saat ini menjadi fokus saya dalam memberikan bantuan dan mewujudkan impian saya. Ponpes ini memiliki tujuan, kurikulum, dan metode pendidikan yang cukup selaras dengan nilai-nilai yang saya anut. Yang lebih mendekatkan hati saya dengan ponpes Fatihatul Quran adalah fokus kepada santri dan santriwati dari golongan yatim piatu dan dhuafa.
FATIHATUL QUR’AN EDUCATION CENTER
Pabuaran, Kemang, Bogor, West Java 16310
0896-5553-4981
https://goo.gl/maps/S5Gz1K3KPt22
Saya bersama keluarga sudah mengunjungi ponpes di Kabupaten Bogor ini setidaknya tiga kali dan berminat untuk kembali mengunjungi ponpes ini di masa mendatang. Kami sudah memberikan bantuan-bantuan seperti buku-buku dan pengajaran gratis untuk keperluan pendidikan para santri dan santriwati.
Ada suatu hal yang menarik saat kami mengumpulkan buku-buku untuk santri dan santriwati Ponpes Fatihatul Quran. Seorang Kristiani menjadi salah satu koordinator pengumpulan buku-buku dan kejadian ini menunjukkan bahwa sebenarnya sekat-sekat antaragama dapat ditembus, bahkan untuk keperluan pendidikan berbasis agama tertentu.
Hal menarik lainnya, khususnya bagi saya pribadi adalah ekspresi santri saat menerima bantuan kami. Senyum mereka saat menerima buku maupun saat menerima pelajaran bagaikan embun yang menyejukkan hati.

Bini (Dita Astari) mengajar Bahasa Inggris ke santri dan santriwati Ponpes Fatihatul Quran Kabupaten Bogor
Saya masih bisa mengingat penyampaian saya hari ini bahwa mereka harus memiliki tujuan hidup yang jelas. Jika ingin menjadi guru SD mata pelajaran matematika, maka lakukan hal-hal yang semakin mendekatkan diri dengan tujuan tersebut. Jika ingin menjadi pembalap motor kelas dunia, maka pelajari berbagai hal teknis dan nonteknis yang membuat tujuan tersebut semakin terkristalisasi.
Sungguh besar harapan saya agar mereka di masa depan mampu mendapatkan penghidupan yang jauh lebih baik dari keadaan mereka saat ini. Jangan pernah berpuas diri dan jauhi profesi-profesi yang lekat dengan kemiskinan dan kebodohan.
Sebenarnya miris banget ya mas, melihat minat baca masyarakat Indonesia yang rendah, so, terimakasih sudah support lembaga islam, karena saya pribadi juga sangat berpihak kepada agama islam, semoga pikiran” negatif tersebut hilang, dan menjadi saling sayang menyayangi. #DuniaFaisol
Amin Mas Faisol. Semoga kontribusi saya bisa berdampak positif meski hanya setitik. Oiya, tulisanmu mengenai ulasan buku Museum Ibu menarik.