Profil seorang frontliner turut berubah signifikan saat demografi para pelanggan mengalami perubahan signifikan.
Saat kita berhadapan dengan pelanggan di garda depan, berarti kita adalah seorang frontliner. Saat kita menjadi ujung tombak perusahaan, berarti kita harus menyiapkan diri sebaik mungkin untuk berkomunikasi dua arah dengan pelanggan karena kita adalah duta perusahaan. Baik buruk citra perusahaan terpancar melalui sikap dan tindakan seorang frontliner.
Bentuk persiapan diri seorang frontliner antara lain dengan memahami profil para pelanggan sebaik mungkin dan setiap generasi pelanggan memiliki kebiasaan dan gaya berbeda. Jangan pernah berasumsi bahwa antargenerasi sama saja. Contoh termudah adalah membandingkan kebiasaan dan tindak tanduk kita dengan orang tua kita. Bisa jadi orang tua kita dulu terbiasa mengonsumsi berita melalui media cetak dan kita mengonsumsi berita melalui situs internet.
Konsumen Generasi Y
Kini di Indonesia dan dunia, konsumen generasi Y alias generasi milenial sudah menjadi segmen konsumen terbesar dibandingkan dengan segmen-segmen lainnya, misal segmen generasi baby boomers dan X sebagai generasi pendahulu atau segmen generasi Z sebagai generasi penerus. Konsumen generasi Y harus menjadi prioritas karena generasi kelahiran dekade 80 hingga tengah 90 ini memiliki daya beli signifikan melebihi para pendahulunya.
Secara umum, generasi milenial Indonesia memiliki profil sebagai berikut:
- Mengenyam pendidikan tinggi atau minimal SMA
- Tinggal di kota-kota besar
- Lebih loyal terhadap merek dan citra produk dibandingkan dengan generasi pendahulu
- Terbiasa dengan teknologi digital
- Pengguna internet aktif
Dari poin-poin ringkas di atas mengenai generasi milenial sudah menunjukkan sebuah hal signifikan yang perlu diperhatikan para pelaku pelayanan pelanggan, khususnya para frontliner. Milenial adalah generasi pertama yang tumbuh dengan akses ke piranti teknologi komunikasi setiap waktu. Mungkin saat mereka masih kecil, mereka memulai hidup mereka dengan PC, tetapi kini mereka sudah menggunakan laptop dan sabak.
Konsumen generasi milenial juga menjadi generasi pertama yang merasakan peralihan teknologi konvensional ke segala hal yang berbasis internet. Mereka merasakan masa-masa saat menulis surat di atas kertas dan menunggu panggilan telepon via telepon rumah. Kini, mereka juga merasakan segala bentuk komunikasi dengan perantaraan surel, aplikasi pesan instan, dan alat-alat komunikasi berbasis internet lainnya yang memungkinkan mereka berkomunikasi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Perilaku-perilaku komunikasi tersebut menandakan bahwa pelanggan milenial merasa nyaman dengan komunikasi non-verbal dan mungkin dalam beberapa kasus, mengutamakan bentuk komunikasi tersebut karena cepat, efisien, dan ringkas. Dari perilaku ini saja, kita sudah mendapatkan gambaran seperti apa figur frontliner yang mereka inginkan.
Lima kemampuan yang wajib dimiliki frontliner terkini
Pertama, memberikan waktu pelayanan yang ringkas, efektif, dan efisien. Ada para pelanggan yang menyukai gaya berkomunikasi yang menghabiskan waktu lama untuk mengobrol, namun bisa jadi karena ada udang di balik batu. Misal karena ingin menarik perhatian dan mendapatkan sambutan rasa dari petugas frontliner.
Namun secara umum, para pelanggan generasi milenial memiliki sikap “Saya mau sekarang”. Berbeda dengan generasi terdahulu yang terbiasa berhadapan dengan pelayanan pelanggan yang menjengkelkan dan kesulitan mencari produk pengganti, sehingga memunculkan karakteristik sabar dan pasrah, generasi milenial menunjukkan sikap berbeda.
Mayoritas generasi merasakan masa remaja saat terjadi peralihan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Dalam Orde Reformasi, mereka mendapatkan ruang berbicara, bersikap, dan berekspresi yang jauh lebih terbuka dibandingkan dengan era sebelumnya. Akibatnya, pelanggan generasi milenial memiliki sikap yang lebih tidak sabaran dibandingkan generasi pendahulu.
Dalam hal transaksi jual beli, mereka percaya bahwa karena mereka membayar untuk suatu hal, masalah apa pun harus diselesaikan dengan segera. Pola pikir yang kurang sabaran ini dapat dipahami karena mereka memasuki usia dewasa di era gratifikasi instan dan sebagai seorang frontliner, kita wajib memahaminya.
Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa mayoritas pelanggan milenial sangat menghargai waktu saat berinteraksi dengan perusahaan, misal saat melakukan transaksi jual beli di kasir, saat berkomunikasi dengan petugas resepsionis, atau sekedar bertanya kepada petugas keamanan.
Jadi sebagai seorang frontliner saat berhadapan dengan konsumen milenial yang mencari bantuan terhadap masalah yang spesifik, memberikan respon cepat adalah hal penting, Sama halnya kita yang tidak mau menunggu jawaban di telepon terlalu lama saat lawan bicara sedang memroses masalah. Perhatian cepat dan berkualitas tinggi adalah kunci menuju pengalaman pelanggan yang hebat.
Kedua, memberikan pelayanan multi-kanal
Ada sebuah perilaku yang mungkin kurang diketahui pelaku pelayanan pelanggan, yaitu generasi milenial tidak melulu ingin selalu dilayani. Ada kalanya mereka ingin menjalankan layanan mandiri. Jadi, ada kemungkinan saat berinteraksi dengan perusahaan, seorang pelanggan milenial ingin berkomunikasi dengan perusahaan melalui satu kanal (misal pesan instan), lalu ingin mencoba mencari solusi sendiri, kemudian jika merasa mentok, baru menemui langsung frontliner.
Sebagai seorang frontliner, sedapat mungkin kita sudah mengetahui mengenai perilaku khas konsumen generasi milenial. Pengetahuan perilaku tersebut termasuk mengetahui terlebih dahulu masalah yang mereka alami, tentu dengan dengan beberapa catatan. Catatan tersebut antara lain profil si konsumen sudah tercatat dalam database perusahaan. Catatan lain yang lebih penting adalah, perusahaan memiliki sistem yang memungkinkan pencatatan masalah pelanggan sebagai basis pelayanan pelanggan yang baik.
Kemampuan memahami pelayanan multi-kanal harus dimiliki seorang frontliner karena sangat jarang, kalau bukan tidak ada, konsumen milenial yang mau menceritakan masalah mereka kembali sejak awal. Bisa jadi jika mereka jengkel, bukannya menyampaikan kejengkelan tersebut, mereka memilih pindah ke kompetitor kita.
Ketiga, menunjukkan otentisitas saat berbicara. Seorang frontliner memang mendapatkan panduan saat berkomunikasi dengan pelanggan yang mengutarakan masalah. Namun, jangan sampai seorang frontliner berbicara bagai mesin saat berhadapan dengan pelanggan milenial. Para pelanggan milenial mampu mengetahui dengan segera dan mereka bisa tersinggung dengan cepat.
Perilaku berbicara bagai mesin yang sudah terskenario menjadi salah satu penyebab pelanggan milenial kurang menyukai berbicara dengan kontak konsumen. Secara umum, kalimat pembuka kontak konsumen, hingga pilihan kata yang digunakan sudah dapat diduga sejak awal karena mereka terbiasa bicara cepat, rutin, dan bagai mesin tanpa jika atau kelekatan dengan pelanggan.
Mungkin terdengar agak kontradiktif dengan sikap frontliner yang diinginkan pelanggan milenial agar memberikan pelayanan cepat, ringkas, efektif, dan efisien. Namun yang patut diperhatikan adalah konsumen milenial menginginkan frontliner yang bisa dan mau menunjukkan kepedulian meski minimal. Para frontliner harus bisa berbicara dalam Bahasa dan frekuensi yang sama dengan generasi milenial agar mudah dipahami, dan jika perlu berikan gurauan agar tidak terdengar bagai mesin.
Mungkin hal ini terdengar sulit dilakukan bagi frontliner, tetapi empati adalah faktor esensial bagi pelanggan milenial.
Keempat, meminta masukan. “Mendengarkan dengan empati” dalam konteks transaksi ekonomi adalah hal tak ternilai bagi pelanggan milenial. Mereka menyukai bentuk komunikasi dua arah, khususnya saat mereka bisa ikut berkontribusi terhadap perbaikan produk atau layanan pelanggan melalui opini-opini yang mereka berikan.
Jadi, jika frontliner memberikan kesempatan kepada pelanggan generasi milenial untuk memberikan masukan, kebanyakan dari mereka akan memberikannya. Para frontliner dapat meminta masukan dan nasehat dengan segera mengenai cara-cara meningkatkan layanan terhadap pelanggan atau fitur-fitur produk.
Meminta pelanggan milenial memberikan masukan adalah tindakan konstruktif. Langkah tersebut dapat memberikan kita masukan yang berharga baik bagi perusahaan maupun para karyawan dan karyawati. Hal tersebut juga menunjukkan kepada para pelanggan bahwa kita menghargai mereka lebih dari sekedar konsumen. Langkah ini meski simpel, dapat meningkatkan kemungkinan para pelanggan milenial memberikan rekomendasi positif kepada keluarga dan teman-teman mereka.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Service Excellence edisi Oktober 2017