Usia tertua generasi Z baru lulus kuliah, sangat melek digital, dan memiliki dunia yang berbeda dengan pendahulunya. Bagaimana pendekatan kepada mereka?
Selama ini generasi Y alias generasi milenial rutin menjadi topik dalam berbagai diskusi marketing. Generasi ini dianggap menarik karena berada pada masa peralihan media konvensional ke media internet. Namun, para marketer patut memerhatikan generasi pasca milenial.
Mereka kelahiran tahun 1995 ke atas, sangat terpapar dengan media internet (dan bahkan rasio yang tidak pernah melihat televisi termasuk signifikan), sangat terbiasa dengan media sosial, rutin berkomunikasi dengan aplikasi pesan instan, suka swafoto, suka otentisitas, tumbuh besar dengan ponsel dan/atau ponsel pintar sejak piyik. Mereka disebut sebagai generasi Z.
Generasi Z sangat berbeda dengan generasi kakak mereka – sang generasi milenial, apalagi orang tua dan kakek mereka. Generasi Z patut menjadi perhatian kita karena di tangan mereka, ada masa depan Indonesia pada era puncak bonus demografi. Mereka juga menjadi segmentasi generasi terbesar yang bekerja langsung di lapangan agar bonus demografi tidak menjadi bencana demografi. Di masa depan selain menjadi produsen, mereka juga menjadi konsumen pasar yang perlu diperhatikan.
Jadi, bagaimana cara-cara agar pesan-pesan marketing yang disampaikan kepada generasi Z dapat mereka terima dan cerna yang baik? Berikut ini adalah tips yang sudah dirangkum dari berbagai sumber baik primer dan sekunder.
Ciptakan konten, bukan sekedar iklan
Hidup generasi Z didominasi hal-hal serba digital dan dalam dunia digital, konten adalah raja. Generasi Z memiliki akses kepada pendidikan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Jika masa kecil generasi Y hanya mampu mendapatkan pengetahuan melalui media cetak, televisi, dan radio yang aksesnya belum mudah, generasi Z memiliki akses kepada pengetahuan secara jauh lebih masif melalui internet, dan media konvensional seperti media cetak, televisi, dan radio.
Akibatnya, generasi Z menjadi generasi yang lebih pandai dibandingkan pendahulunya dalam usia yang sama, dan mereka sudah sangat terbiasa dengan teknologi internet yang memungkinkan mereka memilih topik mana saja yang mereka inginkan dengan lebih personal dibandingkan era-era terdahulu. Mereka cenderung mengabaikan iklan dan memilih nilai konsumen dalam bentuk konten berkualitas.
Maka, menjalankan taktik pemasaran yang menekankan konten menjadi lebih esensial dibandingkan sekedar iklan dengan nada perintah untuk membeli suatu produk.
Gunakan parameter kinerja yang tepat
Parameter kinerja bisa berbeda-beda tergantung tujuan akhir yang ingin dicapai dan segmentasi konsumen yang dituju. Mengenai generasi Z, ada baiknya kita berpikir mengenai komunikasi balik atau reaksi yang mereka berikan terlebih dahulu, baru kemudian berpikir balik modal.
Berhubungan dengan generasi Z, berarti kita harus berkomunikasi dengan mereka, bukan berkomunikasi kepada mereka. Kita harus menjalankan komunikasi dua arah dan menciptakan obrolan yang bernas, antara lain dengan memahami topik atau isu yang menarik di mata mereka. Marketer untuk generasi Z yang paling sukses adalah marketer yang mendengarkan pelanggan dengan baik dan memahami kebutuhan mereka melalui komunikasi dua arah.
Jadilah otentik
Karena generasi Z mengutamakan konten, mereka menjadi lebih menyukai figur-figur yang otentik. Adalah suatu hal masa lampau atau mungkin bekerja dengan baik untuk generasi-generasi sebelum Z yang mana mengutamakan pencitraan atau polesan. Saat ini, generasi Z memang belum dominan. Namun sekali lagi, mereka akan dominan di masa depan.
Menjadi jenama yang menunjukkan otentisitas dan perhatian terhadap subbudaya-subbudaya dengan usaha mewujudkan pengalaman pelanggan berkesan jauh lebih menarik bagi generasi Z. Di mata generasi Z, jenama-jenama tersebut mampu lebih lekat di hati mereka dibandingkan dengan jenama yang cenderung bermain sampul belaka.
Bukan sekedar kata, tetapi kerja nyata
Produk yang kita pasarkan kepada generasi Z memberikan klaim sebagai produk yang sangat melek digital, modern, dan terbiasa dengan internet. Tetapi, desain situs terlihat seperti berasal dari masa 13 tahun yang lalu (serta tidak ramah dengan piranti bergerak) dan jarang aktif di media sosial (unggahan terakhir pun sekitar setahun yang lalu). Tidak peduli klaim apa pun yang diberikan, generasi Z melihatnya sebagai ucapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Kata-kata yang dilontarkan ternyata tidak terwujud dalam kerja nyata.
Jika hal ini terjadi, siap-siap saja produk kita ditinggalkan dan mereka beralih kepada produk lain yang dianggap benar-benar mewujudkan apa yang diucapkan alias bukan sekedar tong kosong nyaring bunyinya.
Muncul di semua pelantar
Generasi Z menggunakan semua pelantar digital dalam satu waktu. Bagi mereka adalah hal biasa mengetik di laptop sambil mengecek pesan-pesan di ponsel pintar dan mengunduh gim di sabak. Namun, layaknya manusia, mereka tetap menginginkan interaksi dunia nyata.
Jadi bagi para marketer yang ingin menyelami dunia generasi Z, muncullah dalam semua pelantar yang digunakan generasi Z. Jika dana terbatas atau ingin tes pasar dahulu, muncullah dalam pelantar yang paling dominan digunakan. Hal lain yang penting adalah, coba wujudkan pengalaman pelanggan online-to-offline.
Mampatkan cerita kurang dari delapan detik
Ingat bahwa generasi Z terbiasa menggunakan beberapa pelantar dalam satu waktu. Jika mereka menggunakan satu pelantar, mereka bisa dengan mudah berganti dari satu aplikasi ke aplikasi lain atau membuka tabulasi baru. Ditambah dengan rentang waktu perhatian yang turun hingga delapan detik, generasi Z dengan cepat beralih ke hal lain jika konten yang mereka lihat dianggap tidak menarik.
Jadi, usahakan memberi nilai yang konsisten dan mudah dicerna dalam waktu yang singkat jika kita ingin generasi Z melakukan klik, membaca konten artikel yang sudah dibuat susah payah, melihat video, atau melakukan like di Facebook dan Instagram. Jika tidak, siap-siap saja generasi Z beralih ke penyedia informasi lain yang lebih bisa memenuhi kebutuhan mereka.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi September 2017