Banyak perusahaan ingin meningkatkan level pelayanan pelanggan. Tetapi, bagaimana caranya?
Kata “revolusi” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berkorelasi dengan kata “perubahan radikal” dan “perubahan yang cukup mendasar”. Saat kita mencoba membawa ke dalam konteks berbisnis di Indonesia, kata “revolusi” dalam hal-hal tertentu terasa sangat diperlukan.
Revolusi dalam pelayanan pelanggan terasa krusial karena kehadiran teknologi yang memberikan ruang semakin luas bagi para pelanggan untuk menyuarakan pendapat. Ambil contoh media sosial. Bagi orang-orang Indonesia yang dikenal rajin bersosial media, tentu sangat mengetahui kisah maskapai berbiaya rendah yang berkali-kali diulas secara negatif oleh konsumennya dalam bentuk video dan foto yang disertai narasi penuh kekesalan.
Maskapai tersebut baru satu contoh. Contoh-contoh lainnya relatif mudah kita temukan. Misal kasus ditemukannya cicak mati dalam makanan, kasus pungli oleh aparat negara, kasus sopir taksi yang bersikap tidak sopan, kasus sopir taksi daring yang mengemudikan mobil seenaknya, dan masih banyak lagi. Semua hal tersebut muncul karena adanya interaksi buruk dengan konsumen. Maka, menciptakan interaksi yang baik dengan pelanggan menjadi faktor sangat signifikan dalam menentukan reputasi perusahaan.
Dari penjelasan ringkas yang sudah disampaikan, kita sudah melihat indikasi-indikasi awal mengenai waktu yang tepat “perubahan radikal” dan “perubahan yang cukup mendasar”, alias revolusi dalam pelayanan pelanggan. Karena kita melakukan revolusi, berarti tindakan yang dilakukan bukan sekedar menulis ulang panduan komunikasi untuk karyawan dan karyawati garda depan atau sekedar melakukan proyek kecil-kecilan.
Tindakan-tindakan tersebut memang bisa memberikan perbaikan… kecil, yang tentunya baik bagi perusahaan yang sudah memiliki pelayanan pelanggan yang berfungsi baik. Namun saat kegiatan sehari-hari perusahaan benar-benar bermasalah, atau pasar tempat perusahaan tersebut berada terkena gelombang teknologi disruptif, dan para pelanggan mendadak memiliki banyak alternatif produk, revolusi pelayanan pelanggan adalah pilihan. Perubahan mendasar pada budaya perusahaan menjadi keniscayaan untuk dieksekusi.
Jochen Wirtz dan Ron Kaufman menyarankan empat langkah yang dapat dilakukan, baik satu-persatu atau sekaligus, untuk mengubah budaya pelayanan pelanggan dalam perusahaan, yaitu:
- Jangan dimulai dari para karyawan yang berhadapan dengan pelanggan,
- Jangan berfokus pada pelatihan kemampuan spesifik,
- Jangan mengendalikan perubahan,
- Jangan melacak parameter-parameter tradisional.
Jangan dimulai dari para karyawan yang berhadapan dengan pelanggan
Pastikan para karyawan dan karyawati yang berhadapan dengan pelanggan, khususnya yang melayani keluhan para pelanggan, mendapatkan dukungan penuh perusahaan. Sebagai seorang karyawan yang dalam divisi pelayanan pelanggan, tentu menyadari esensialitas pelanggan yang terpuaskan. Saat keluhan pelanggan muncul, biasanya akar masalah ada pada logistik, teknologi informasi, atau fungsi-fungsi di belakang layar yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan para koleganya yang berada di depan layar.
Jika contoh masalah-masalah tersebut memang benar-benar terjadi, melatih ulang para petugas pelayanan pelanggan adalah kegiatan yang membuang-buang waktu, sumber daya, energi, dan dapat menimbulkan rasa frustasi pada para petugas. Jika ada pelatihan pelayanan pelanggan, libatkan semua karyawan dan karyawati lintas divisi.
Pada tahun 2009, Nokia Siemens Networks menginisiasi program pelatihan untuk para wiraniaga garda depan dan petugas pelayanan pelanggan, dengan hasil minim. Usaha-usaha mereka untuk lebih responsif terhadap para pelanggan bergantung pada sikap responsif para pengembang piranti lunak perusahaan dan karyawan perusahaan, yang memandang diri mereka tidak perlu untuk berubah dan menganggap permintaan-permintaan kolega garda depan mereka cenderung tidak penting.
Setelah beberapa bulan berjalan dengan tidak produktif, Nokia Siemens Networks akhirnya memasukkan para pengembang piranti lunak perusahaan dan karyawan perusahaan ke dalam program pelatihan. Hasil akhirnya adalah peningkatan kepuasan pelanggan hingga 20% dari para pelanggan kunci.
Jangan berfokus pada pelatihan kemampuan spesifik
Didiklah para karyawan secara lebih umum mengenai arti “Service excellence”.
Perusahaan menghabiskan banyak uang untuk melatih para petugas pelayanan pelanggan untuk mengikuti prosedur dan bagan alur saat berinteraksi dengan para pelanggan, misal “Jika pelanggan berkata X, maka berikan respon Y”. Untuk memastikan para petugas pelayanan pelanggan menjalankan yang sudah diajarkan dengan baik, perusahaan memonitor panggilan telepon atau menggunakan “pelanggan misterius” untuk memastikan keadaan berjalan sesuai aturan. Namun akibat yang mungkin timbul jika petugas pelayanan pelanggan terlalu diatur aturan adalah mereka kurang imajinatif dan kurang empati terhadap kebutuhan riil pelanggan.
Pendekatan yang lebih baik adalah mendorong petugas pelayanan pelanggan berkomitmen dengan definisi holistik pelayanan: penciptaan nilai bagi sesama, dari luar dan dari dalam organisasi. Pertama-tama, ajari para petugas pelayanan pelanggan untuk menghargai kekhawatiran pelanggan dan baru kemudian mengambil tindakan. Mereka perlu rutin bertanya kepada diri sendiri, “Siapa yang saya layani, dan apa hal-hal yang paling mereka butuhkan dan hargai?”
Naiade Resorts, berbasis di Mauritius, dulu berjuang dengan tingkat hunian rendah dan kerugian tinggi sebagai efek resesi global. Paul Jones yang menjadi CEO pada 2010, memperbarui merek menjadi LUX Resorts dan memulai fokus dalam pelayanan pribadi yang kreatif. Paul Jones memilih menjalankan program pendidikan yang bertujuan melatih para karyawannya mengantisipasi dan memahami prioritas tamu dan memaksimalkan kesempatan pelayanan, daripada melatih para karyawan mengambil langkah-langkah spesifik.
Dua tahun setelah program pendidikan dilaksanakan, empat dari lima properti LUX di Mauritius masuk dalam 10 besar TripAdvisor untuk Mauritius. Selain itu, pendapatan dan laba meningkat hingga lebih dari 300% dalam tiga tahun.
Jangan mengendalikan perubahan
Kata-kata bijak menyarankan percobaan-percobaan terbatas yang jika sukses, dilakukan dalam skala lebih luas. Hal tersebut bisa berjalan untuk masalah kecil. Namun jika kita ingin menjalankan revolusi pelayanan, perusahaan harus membuat momentum dengan cepat dan menetapkan target yang tinggi.
Pada tahun 2012, Air Mauritius mengalami banyak masalah dalam tubuh perusahaan. Selain kerugian senilai USD 30 juta, nilai pelayanan pelanggan yang buruk, dan moral staf yang rendah, Air Mauritius juga menghadapi ketidakpuasan dari serikat pekerja, kompetisi dengan maskapai-maskapai dari Timur Tengah, dan kurs yang tidak memuaskan.
CEO Air Mauritius yang baru, Andre Viljoen mengetahui bahwa tujuannya adalah mengembalikan keuntungan dan rating empat bintang. Tujuan-tujuan tersebut mengharuskan dia mengambil langkah besar dan cepat. Andre menjalankan pelatihan untuk manajer-manajer papan atas, program “pelatihan untuk pelatih” untuk karyawan-karyawan terpilih, dan kursus dua hari mengenai pemecahan masalah dalam pelayanan untuk semua pekerja.
Tim-tim lintas divisi mengimplementasikan aksi-aksi baru, termasuk layanan makanan dan minuman beralkohol yang diperbarui serta hiburan-hiburan penerbangan, pendampingan dalam penerbangan yang lebih baik untuk anak-anak, dan ruang tunggu penumpang yang lebih baik di bandara.
Hasilnya adalah selain kembalinya keuntungan dan rating empat bintang, Air Mauritius masuk dalam daftar “Top 10 Most Improved Airlines” versi Skytrax, rasio kepuasan pelanggan terhadap keluhan pelanggan yang meningkat hingga pangkat 12, dan turnover karyawan yang turun di bawah 5%.
Jangan melacak parameter-parameter tradisional
Daripada mengkhawatirkan parameter-parameter tradisional kepuasan pelanggan, perusahaan harus mulai mencari layanan-layanan dengan nilai tambah baru yang dapat dijalankan dengan baik. Harap menjadi catatan, bukan berarti parameter-parameter lama menjadi tidak berguna, tetapi karena riset menyatakan bahwa mereka “indikator yang kurang tepat”, sehingga parameter-parameter tersebut dapat menghambat perubahan cepat.
Selama bertahun-tahun, Nokia Siemens Networks mengukur kepuasan pelanggan dengan survei, yang salah satunya terdapat lebih dari 150 pertanyaan dan menghasilkan data lebih banyak dari yang dapat dipahami dan digunakan perusahaan. “Jadi kami memulai dari awal”, kata Jeffrey Becksted, eks Global Head of Service Excellence.
Pada 2010, perusahaan menyingkirkan pendekatan kuantitatif dan menanyakan para pelanggan evaluasi terbuka mengenai layanan bulan terakhir dan bentuk layanan yang diinginkan pada bulan berikutnya. Pergeseran ini mengubah fokus karyawan: Daripada berusaha mencapai skor tertentu dalam hal kepuasan pelanggan, mereka melakukan curah pendapat untuk membuat pelanggan lebih bahagia.
Becksted berujar, “Tidaklah penting seberapa baik kamu menyelesaikannya sepanjang pelanggan ingin melihat kamu lagi di masa depan.”
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Service Excellence edisi Agustus 2017