Pelajaran Berharga Kasus Sevel untuk Para Marketer

Marketing itu berorientasi kepada pelanggan. Kalau tidak berorientasi kepada pelanggan, berarti bukan marketing.

Dalam ilmu pemasaran yang diajarkan di bangku sekolah bisnis dan ekonomi maupun di lapangan, pelanggan adalah fokus utama, tidak peduli apa pun bisnisnya. Profil seorang pelanggan, mulai dari kebutuhan, masalah, profil, karakteristik, termasuk urusan segmenting, targeting, dan positioning adalah hal-hal mendasar yang harus diketahui para marketer sebelum melangkah membahas produk (product), harga (price), lokasi (place), dan promosi (promotion).

Dalam ilmu marketing modern masih ada P lainnya, antara lain people, process, dan physical evidence. Namun semua P tersebut tetap dirumuskan berdasar data mengenai pelanggan.

Selain hal-hal di atas, seorang marketer juga harus memerhatikan persaingan pasar, pemasok, serta perantara. Namun itu semua masih belum cukup karena kita baru berbicara pada tataran lingkungan mikro. Masih ada lingkungan makro yang perlu diperhatikan, misal situasi ekonomi makro, keberadaan teknologi, kebijakan politik, sosial masyarakat, urusan legalitas, dan lingkungan.

Kasus Seven Eleven (Sevel) di Indonesia adalah contoh studi kasus yang berharga bagi para marketer. Seperti yang sudah diketahui bagi para pemasar dan pelaku bisnis, per 30 Juni 2017 seluruh gerai waralaba Sevel resmi menghentikan seluruh kegiatan operasional karena terus merugi dan gagal mencapai kesepakatan akusisi oleh Grup Charoen Pokphand. Keputusan tersebut dikeluarkan oleh PT Modern International Tbk (MDRN) sebagai induk perusahaan PT Modern Sevel Indonesia (MSI).

Analisis lingkungan mikro Sevel

PT Modern International Tbk (MDRN) memulai tapaknya di dunia bisnis melalui bisnis fotografi dan menjadi distributor tunggal Fuji Film Jepang di Indonesia sejak 1971. Bagi orang-orang Indonesia yang biasa melihat toko ritel Fuji Image Plaza di seluruh pelosok Indonesia, bisa dipastikan toko ritel tersebut dimiliki MDRN. Namun kemajuan teknologi dan era digitalisasi menggerus bisnis MDRN sehingga harus ada perubahan bisnis untuk menyelamatkan perusahaan.

Bisnis ritel Sevel Eleven menjadi pilihan dan pada 2008, MDRN menandatangani perjanjian kerja sama dengan Seven Eleven International, lalu membuka gerai pertamanya di Jakarta pada 2009. MDRN mengelola gerai-gerai Sevel di Indonesia melalui anak perusahaan PT Modern Sevel Indonesia (MSI). Per 2010, Sevel baru berkontribusi 10 persen terhadap total pendapatan perusahaan. Namun per 2014, Sevel berhasil memberikan kontribusi sebesar 64 persen terhadap pendapatan MDRN.

Sebelum melakukan bahasan lebih jauh, mari kita ketahui dulu lingkungan mikro sebuah pasar. Selain perusahaan (PT Modern Sevel Indonesia (MSI)) sebagai pelaku bisnis, terdapat pemain-pemain lain yang memiliki pengaruh signifikan terhadap keberlangsungan pasar, yaitu pelanggan, kompetitor, pemasok, dan perantara.

Pelanggan. Melalui penelusuran data, secara umum pelanggan yang disasar Sevel adalah konsumen dengan ciri kelas menengah, berusia muda sekitar 18 s.d. 36 tahun, kaum urban, dan melek teknologi. Gambaran konsumen tersebut terlihat dari usaha Sevel memenuhi kebutuhan dan keinginan para pelanggannya, misal dengan keberadaan gerai di lokasi-lokasi strategis di Jakarta, buka 24 jam sehari dan 7 hari seminggu nonstop, menyediakan tempat bercengkerama, penjualan makanan dan minuman cepat saji, terdapat fasilitas Wi-Fi gratis, serta rutin menggunakan media sosial sebagai alat pemasaran.

Kompetitor. Sevel berjalan dengan model bisnis yang beririsan antara toko kelontong (convenience store) dan restoran cepat saji. Secara kasat mata, Sevel terlihat mencoba menjadikan model bisnis ini sebagai diferensiasi dibandingkan dengan toko kelontong-toko kelontong lainnya seperti Indomaret atau Alfamart. Namun dengan langkah ini, Sevel memiliki persaingan dengan dua tipe kompetitor, yaitu kompetitor yang berasal dari convenience store dan kompetitor dari restoran cepat saji. Jika ada tambahan pesaing, penjaja makanan tradisional yang masih sangat populer di Indonesia juga bisa masuk dalam golongan kompetitor Sevel.

Pemasok. Karena Sevel mengambil model bisnis yang beririsan antara toko kelontong (convenience store) dan restoran cepat saji, maka para pemasok Sevel adalah produsen barang-barang ritel untuk kebutuhan dan konsumsi sehari-hari, misal kopi, teh, roti, dan sosis. Dalam hal tawaran produk, Sevel juga menyediakan minuman dingin dengan merek Slurpee dan minuman beralkohol.

Perantara. Sebagai bentuk distribusi produk hingga ke tangan pelanggan, MSI mengerjakan semuanya di bawah kendalinya. Dengan kata lain, semua gerai Sevel yang berada di lokasi-lokasi strategis ibukota dimiliki sepenuhnya oleh MSI.

Secara sepintas dari penjelasan lingkungan mikro di atas, Sevel sejak pembukaan gerai pertama pada 2009 hingga tahun-tahun berikutnya mampu memenuhi harapan para pelanggan yang disasar. Bahkan, para kompetitor yang berasal dari toko kelontong mulai mencoba meniru strategi Sevel dengan menyediakan makanan cepat saji dan tempat nongkrong.

Analisis lingkungan makro Sevel

Revisi peraturan waralaba. Suasana gerai Seven Eleven di Jakarta (26/8). Kementrian Perdagangan (Kemdag) akan mengeluarkan aturan baru tentang waralaba dengan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag). Revisi ini diantaranya soal jumlah maksimal gerai milik sendiri atau company owned outlet yang hanya diperbolehkan 100-150 gerai serta soal lingkup bisnis dari status izin waralaba ritel dan waralaba restoran. KONTAN/Muradi/26/08/2012

Untuk analisis lingkungan makro tempat MSI berada, artikel ini berfokus pada sosial masyarakat dan legalitas.

Sosial masyarakat. Gaya hidup masyarakat perkotaan, khususnya Jakarta, menghadapi laju kehidupan yang serba cepat dan serba sibuk. Karenanya, tuntutan memenuhi kebutuhan makanan dan minuman di luar rumah menjadi hal lumrah. Baik pria maupun wanita sudah terbiasa bekerja dan berada di luar rumah.

Bagi generasi muda, khususnya generasi Y dan Z, semakin jarang yang memiliki kemampuan memasak atau membuat sendiri makanan untuk disantap di rumah. Tak ayal, mereka membutuhkan makanan dan minuman siap saji, mudah didapat, tersedia di lokasi-lokasi strategis.

MSI melihat peluang ini dan mencoba mewujudkannya dalam bentuk model bisnis yang beririsan antara toko kelontong dan restoran cepat saji dengan jenama Seven Eleven. Secara tradisi, kebiasaan bangsa Indonesia yang suka nongkrong dan bercengkerama hingga larut malam juga dilihat oleh MSI. Karenanya, MSI kemudian menyediakan fasilitas nongrong berupa kursi, meja, hingga fasilitas Wi-Fi gratis.

Legalitas. Sevel berjalan di Indonesia tanpa payun hukum yang jelas mengenai tipe usaha yang dijalankan. Sevel beroperasi layaknya restoran cepat saji, namun juga beroperasi seperti toko kelontong. Pihak MSI menyampaikan bahwa sejak 2009, Sevel berjalan dengan izin kafetaria yang berfokus pada layanan makanan cepat saji. Sisanya hanya tambahan. Jika ada barang-barang kelontongan, seperti rokok, pasta gigi, dan sabun, menurut perwakilan MSI jumlahnya tidak melebihi 10 persen dari total barang yang dijual.

Kemudian pada 2015, MSI selaku pengelola Sevel mengakui bahwa gerainya ada yang belum memenuhi peraturan dan mereka siap menyelesaikan perizinan. Sebagai catatan, per 2014, Sevel sudah berdiri di 150 lokasi di Jakarta. Sedangkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta menyatakan hanya mengeluarkan 91 izin hingga 2014.

Belum usai dengan urusan perizinan, muncul larangan penjualan minuman beralkohol pada tahun yang sama. Aturan tersebut sempat menuai kontroversi, hingga pemerintah menerbitkan kelonggaran terbatas. Masih pada tahun yang sama, pendapatan Sevel di Indonesia mulai merosot dan beberapa gerai harus tutup. Tren tersebut terus berlanjut hingga 2017. Patut diduga bahwa karena urusan-urusan legalitas tersebut, Sevel mengalami masalah yang cukup signifikan dalam menjalankan roda bisnis.

Analisis kegagalan Sevel di Indonesia

Secara umum jika kita melihat pada industri toko kelontong dan industri makanan cepat saji, belum ada yang mengalami nasib serupa dengan Sevel. Perbandingan secara apple-to-apple pun kurang pas, karena secara model bisnis, Sevel tidak masuk dalam tipe toko kelontong, tetapi juga tidak masuk dalam golongan restoran cepat saji. Bisa dikatakan, penyebab terhentinya kegiatan operasional Sevel di Indonesia bukan petunjuk pelemahan industri toko kelontong dan industri makanan cepat saji secara makro.

Salah satu penyebab terhentinya operasional Sevel di Indonesia adalah urusan regulasi. Urusan hukum dan legalitas yang membelit Sevel di Indonesia sudah disampaikan oleh Rhenald Kasali, guru besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Untuk penjelasan lebih rinci mengenai urusan legalitas Sevel sudah disampaikan sebelumnya dalam artikel ini.

Selain urusan hukum, Sevel juga terganjal dengan model bisnis yang kurang kuat. Hal ini disampaikan oleh Fitch Ratings dalam pernyataan resmi per 2 Juli 2017. Harus diakui dengan jujur, Sevel belum memiliki positioning dan diferensiasi merek yang kuat. Apa sebenarnya identitas merek Sevel dan apa nilai-nilai konsumen yang hendak ditawarkan? Jika restoran cepat saji, makanannya terhitung biasa saja. Jika ritel, harga barang-barangnya terkenal lebih mahal dibandingkan dengan toko kelontong pada umumnya.

Selain masalah-masalah di atas, masih ada lagi masalah biaya operasional yang tinggi dan salah satu penyumbang biaya operasional tinggi tersebut adalah lokasi-lokasi strategis tempat gerai Sevel berada. Maka tak heran jika profil risiko Sevel lebih tinggi signifikan dibandingkan dengan toko kelontong dan restoran cepat saji pada umumnya.

Depok, 26 Juli 2017

(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)

Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Agustus 2017

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s