Media tradisional tersingkir dari posisi pertama oleh media baru dengan jauh lebih cepat dibandingkan dengan era sebelumnya. Selamat datang era revolusi media.
Sebagai salah satu media terpopuler pada masanya, radio mampu mencapai 50 juta pendengar dalam waktu 38 tahun. Namun, kepopuleran radio tersingkir dengan cepat dari benak teratas para konsumennya setelah televisi hadir. Dalam waktu 13 tahun, alias lebih cepat 25 tahun daripada radio, televisi mampu meraih 50 juta penonton. Kini, di seluruh dunia termasuk Indonesia, televisi meraih nasib sama seperti radio dengan perputaran roda nasib yang lebih cepat.
Kepopuleran televisi tersingkir dengan cepat sejak kehadiran internet. Dalam waktu hanya 4 tahun, lebih cepat sembilan tahun dibandingkan dengan televisi, internet mampu meraih 50 juta pengguna yang lebih menakjubkan, Facebook sebagai media sosial yang bergantung pada internet, mampu meraih 100 juta pengguna kurang dari sembilan bulan (United Nations Cyberschoolbus, 2009).
Profesor Jim Macnamara, seorang Profesor Komunikasi Publik di Universitas Teknologi Sydney, menyatakan bahwa telah terjadi revolusi oleh kita dalam menggunakan media dan komunikasi publik – siapa yang berbicara, bagaimana mereka berbicara, dan cara-cara baru komunikasi publik dilaksanakan.
Pilihan kata ‘revolusi’ layak digunakan karena perubahan sosial dan budaya yang berlangsung cepat dan berkenaan dengan dasar-dasar kehidupan masyarakat sudah terjadi. Tak dapat dipungkiri bahwa revolusi ini timbul karena keberadaan media baru (internet) yang bersifat dua arah yang mempengaruhi masyarakat secara signifikan (2010).
Temuan-temuan data di atas tentu sangat memengaruhi para pebisnis dan marketer dalam menyusun dan mengeksekusi strategi pemasaran. Apalagi data-data yang ada saat ini menunjukkan bahwa generasi Y dan Z semakin menjauhi media cetak dan lebih mengutamakan media-media yang ada di internet. Tak ayal, banyak media cetak dengan merek-merek ternama berguguran. Sebagian dari media cetak yang gugur tersebut ada yang berpindah ke media internet, namun ada pula yang memutuskan berhenti total.
Media tradisional apakah benar-benar mati?
Sebelum menelusuri potensi-potensi jawaban dari pertanyaan di atas, tentu kita sebagai marketer harus wajib mencari data-data sahih dahulu sehubungan dengan profil pelanggan kita. Ketajaman dan kesahihan data pelanggan kita akan memberikan masukan yang baik untuk menyusun strategi marketing yang tepat, efektif, dan efisien.
Nielsen (2016) menemukan bahwa pelanggan era terkini semakin terpapar oleh berbagai macam media pilihan, baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Penyebab paparan tersebut ada berbagai macam, antara lain kemajuan teknologi yang membuat varian media menjadi semakin banyak dan kemajuan ekonomi yang memungkinkan mobilitas pelanggan semakin tinggi.
Paparan media yang dimaksud antara lain televisi, daring, mobile, bioskop, radio, media sosial, sabak, majalah, aplikasi, dan media luar ruang (misal baliho). Dari kumpulan media yang dikonsumsi pelanggan, kita dapat membaginya kembali menjadi berbasis segmentasi usia. Dalam riset lanjutan Nielsen, sesuai dengan yang sudah disampaikan sebelumnya, generasi Y dan Z adalah penikmat internet. Selain internet, mereka juga sangat menikmati berkunjung ke bioskop.
Saat kita mencoba melihat paparan media berbasis kelas ekonomi, media-media berbayar seperti bioskop dan TV berbayar banyak dikonsumsi oleh kelas ekonomi yang lebih tinggi. Lalu saat kita melakukan segmentasi berbasis waktu yang dihabiskan untuk melihat media, ternyata internet menempati posisi ketiga sebagai media dengan waktu dikonsumsi terbanyak setelah televisi terestrial dan televisi berbayar (Nielsen, 2016).
Data-data tersebut menunjukkan bahwa televisi masih menjadi media dominan di Indonesia. Namun posisi internet dalam konteks penetrasi pasar menunjukkan masukan yang tidak bisa diremehkan oleh para pebisnis, pengelola merek, dan marketer, apalagi jika generasi Y dan Z menjadi kelompok pelanggan yang dituju.
Sekali lagi, televisi memang masih menjadi media yang dominan dikonsumsi di Indonesia khususnya oleh pelanggan dengan usia di atas 35 tahun. Namun data menunjukkan bahwa tren penurunan audiens potensial pada jam-jam utama penayangan televisi menunjukkan angka signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Apakah temuan tersebut menunjukkan kematian pelan tapi pasti media televisi? Bagaimana dengan media tradisional lainnya yang lebih tua daripada televisi, misalnya radio dan media cetak?
Radio dan media cetak masih hidup, tetapi…
Nielsen Radio Audio Measurement memberikan sebuah temuan yang sangat menarik. Meski radio masuk dalam kategori media tradisional, ternyata lebih dari 50 persen pendengar radio adalah generasi Y dan Z. Sebanyak 28 persen generasi X pun rajin mendengarkan radio, bahkan menjadi kelompok yang paling lama dalam urusan mendengarkan radio dan angkanya tumbuh selama periode 2014 s.d. 2016!
Ternyata radio tidak mati. Berarti ada indikasi bahwa pemain radio melakukan hal baru yang revolusioner agar dapat terus dinikmati para pelanggannya yang dinamis. Nielsen Radio Consumer View (2016) memberikan gambaran yang baik di balik angka-angka tersebut. Radio is mobile.
Telepon bergerak (mobile phone) kini menjadi media utama untuk mendengarkan radio di kota-kota besar seperti Jakarta (38 persen), Medan (44 persen), Makassar (69 persen), dan delapan kota besar lainnya (39 persen secara rerata). Jelas, radio memilih untuk menyesuaikan diri dengan para pelanggannya dengan memberdayakan media internet sebagai jembatan untuk memertemukan diri dengan mereka.
Untuk media cetak, sebanyak 5,8 juta penduduk masih membaca media cetak. Untuk 11 persen dari populasi, koran masih menjadi media yang paling sering dikonsumsi. Di luar Pulau Jawa, koran masih dominan di Makassar, Palembang, dan Medan.
Kepercayaan dari pelanggan menyebabkan media cetak masih mampu bertahan di tengah gempuran media digital. Di mata 59 persen pelanggannya, koran mampu memberikan berita yang terpercaya. Sedangkan bagi para pembaca majalah dan tabloid, berita gosip, resep masakan, dan olahraga adalah sebagian dari faktor-faktor yang masih menarik minat mereka untuk membaca.
Kemudian, hal menarik lainnya yang patut menjadi perhatian adalah 10 persen dari populasi tersurvei membaca berita di media digital, dan 1/3 dari 10 persen populasi tersebut juga membaca media cetak.
Digital di Indonesia
Sepanjang 2012 s.d. 2016, Nielsen (2016) menemukan adanya peningkatan keinginan yang signifikan untuk masuk dalam jaringan (online). Salah satu contohnya adalah waktu penggunaan internet yang meningkat 30 menit dari 1 jam 58 menit secara rerata menjadi 2 jam 28 menit secara rerata.
Selain itu, terdapat peningkatan pengguna internet dari 49 persen menjadi 77 persen. Uang yang dihabiskan untuk menggunakan internet juga meningkat dari Rp 57.000,00/bulan menjadi Rp 73.000,00/bulan. Menyandingkan data kali ini dengan penyampaian sebelumnya di awal artikel, tak heran jika paparan internet lebih kuat di kalangan generasi X dan Y serta golongan ekonomi yang lebih tinggi.
Kemudian untuk urusan akses internet, terdapat peningkatan secara bertahap untuk mengakses melalui telepon bergerak. Sedangkan akses internet melalui komputer, laptop, sabak personal, dan televisi mengalami penurunan. Dengan keberadaan media-media tradisional yang mulai mendayagunakan internet, internet juga sudah menjadi media yang memiliki jangkauan signifikan meraih pelanggannya sepanjang hari.
Jika sebelumnya sudah disampaikan bahwa radio sudah mulai menggunakan internet sebagai jembatan menuju penggunanya, hal sama sudah terjadi pada gambar bergerak. Cisco sudah meramalkan sejak 2015 bahwa video akan mengambil rasio hingga 69 persen dari lalu lintas internet pada 2017. Data Consumer Barometer Google pada 2015 pun sudah menyatakan bahwa 50 persen responden di Indonesia melakukan aktivitas melihat video saat terkoneksi ke internet. Jelas bahwa televisi masa depan ada di internet.
Dengan semua temuan-temuan tersebut, internet memang kian terlihat menarik menjadi media utama untuk melakukan aktivitas marketing. Namun, dengan sifatnya yang dua arah, digital juga memberikan tantangan tersendiri. Iklan dan konten adalah dua hal terpisah. Nielsen (2016) menemukan bahwa 40 persen iklan tidak dapat menjangkau audiens yang diinginkan. Kemudian, sebanyak 50 persen iklan tidak dilihat oleh audiens yang dituju.
Maka, audiens tidak dapat menjadi tolok ukur yang baik untuk kegiatan marketing yang baik. Tolok ukur yang baik digunakan di media digital berbasis pada aktivitas, bukan audiens, contohnya adalah click through rate (CTR), page views, video views, dan display/banner impressions. Namun dengan pengukuran berbasis aktivitas, kita menjadi sulit mengetahui secara riil siapa yang melihat iklan-iklan kita. Maka, pendekatan berbasis sensus menjadi bentuk metode riset untuk mengetahui secara detail para pelanggan media digital serta siapa saja yang beraktivitas terhadap iklan-iklan dan konten di dunia digital.
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Juli 2017
Assalamualaikum mas..
Salam kenal.
Mas, saya mau tanya kontak wa saudara bisa mas?? Saya rencana mau Apply visa Australia.
Ada yang bisa saya bantu, Mas? Sebenarnya informasi dalam blog ini sudah lengkap kok.