Ketiadaan touchpoint pelanggan jauh lebih baik daripada keberadaan touchpoint pelanggan yang jelek.
Membicarakan pelayanan konsumen dan penciptaan pengalaman pelanggan tidak dapat lepas dari budaya perusahaan dan inovasi bisnis. Namun, jangan sampai perusahaan merasa melakukan inovasi dan menjadi blunder, khususnya inovasi dengan judul ‘touchpoint pelanggan’. Harap menjadi catatan, taktik bisnis dengan mengadakan touchpoint dengan tujuan mengoptimalkan pengalaman pelanggan justru dapat berbuah blunder hingga menurunkan kesan positif di benak pelanggan terhadap perusahaan.
Betul bahwa kita harus memerhatikan titik sentuh pelanggan dengan perusahaan sejak awal hingga akhir. Benar bahwa kita harus memahami bagaimana pelanggan berperilaku dan berinteraksi dengan perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan salah satu wujud pemahaman tersebut dengan membangun titik sentuh baru yang bersifat personal. Namun, personal dapat menjadi blunder.
Contoh dari blunder tersebut adalah sebagai berikut. Ada seorang pelanggan tamu hotel dengan jaringan internasional dan hotel tersebut ingin meningkatkan pelayanan pelanggan dalam bentuk asisten personal. Namun, asisten personal ini bukan manusia asli, melainkan chat bot. Chat bot ini juga lebih dikendalikan oleh algoritma statis agar lebih menghemat biaya perusahaan.
Suatu saat sang pelanggan tamu hotel ini sedang bepergian antarbenua dan berniat menggunakan kartu langganan hotel internasional yang dia miliki. Semua berjalan lancer sejak memulai pesanan kamar hingga kepastian ketersediaan kamar hotel di tempat tujuan. Namun, masalah secara perlahan mulai muncul dari asisten personal. Asisten personal chat bot masih menggunakan orientasi waktu tempat asal sang tamu hotel, meski tamu hotel sudah menyesuaikan jam pada telepon pintar yang dimiliki dengan waktu lokal.
Karenanya, saat tiba di bandara tempat tujuan pada siang hari, asisten personal malah memberikan pesan pendek, “Selamat pagi Pak. Semoga hari Anda menyenangkan.” Masalah kedua muncul saat ada pesan pendek berikut, “Bagaimana dengan kamar yang sudah kami siapkan? Apakah Bapak menikmatinya?” Akibatnya, sang tamu hotel pun menggerutu meski masih memaklumi.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa jaringan hotel internasional sebenarnya berniat baik untuk memberikan pelayanan pelanggan personal dalam bentuk asisten virtual bagi para pelanggannya yang dianggap layak. Namun, hotel tersebut belum memasukkan faktor pergerakan pelanggan hingga lintas benua ke dalam pelayanan pelanggan yang diberikan asisten virtual. Akibatnya adalah stagnasi kepuasan pelanggan terhadap layanan hotel.
Otentisitas: bagaimana touchpoint pelanggan seharusnya bekerja
Saat terjadi komunikasi dua arah antara perusahaan dan pelanggan, manusia asli biasanya selalu hadir mewakili perusahaan dan bukan teknologi. Saat manusia menjadi perwakilan perusahaan, sepanjang benar-benar sudah terdidik dan terlatih melayani pelanggan, manusia dengan segala kecerdasannya dapat menjadi keunggulan kompetitif dalam hal pelayanan pelanggan di mata konsumen.
Manusia, misal saat mencoba melakukan panggilan telepon, mengetahui waktu yang tepat untuk menelepon pelanggan. Saat panggilan telepon dilakukan, manusia terlatih dapat mengetahui keadaan psikologi lawan bicara apakah sedang baik, biasa, atau jelek. Jika baik dan biasa, obrolan dapat dilanjutkan dan jika jelek, manusia dapat memilih melakukan pembicaraan di waktu lain. Lebih lanjut, manusia juga dapat mengubah intonasi, kata-kata, hingga cara penyampaian dan hal-hal tersebut belum dapat dilakukan oleh teknologi yang saat ini ada.
Pesan intinya adalah, manusia masih jauh lebih unggul dalam memberikan pengalaman pelanggan berkesan dan otentik di tiap touchpoint dibandingkan dengan teknologi saja. Maka, tidak seharusnya perusahaan memberikan keleluasaan 100% kepada teknologi untuk menciptakan pengalaman pelanggan yang berkesan di tiap touchpoint.
Sebaiknya jika penerapan teknologi benar-benar diperlukan, perusahaan melakukan sinergi antara manusia dan teknologi dalam touchpoint yang diperlukan untuk menciptakan perjalanan konsumen yang menggiring pada pengalaman pelanggan berkesan.
Zappos, situs asal Amerika Serikat yang identik dengan sepatu, dapat memberikan contoh sangat baik mengenai pentingnya otentisitas dalam pelayanan pelanggan di salah satu touchpoint. Zappos, terlepas dari teknologi situs papan atas yang dimiliki, mengundang para pelanggannya untuk menelepon mereka meski sebenarnya sebagian besar pelanggan tidak melakukannya. Menurut Tony Hsieh sang pendiri Zappos, secara statistik hanya 5% pelanggan Zappos yang melakukan pembelian melalui telepon.
Saat pelanggan melakukan panggilan telepon, apa pun urusannya, Zappos ingin menciptakan pengalaman paling berkesan bagi pelanggan selama komunikasi dua arah di telepon. Tony Hsieh memiliki keyakinan jika hampir setiap pelanggan Zappos akan menelepon untuk keperluan selain pembelanjaan sepatu dan pernak-perniknya. Jika Zappos berhasil menciptakan pengalaman pelanggan berkesan pada situasi dan kondisi tersebut, meski hanya satu panggilan telepon seumur hidup, Hsieh berkeyakinan tindakan tersebut memberi diferensiasi positif bagi Zappos.
Dalam kenyataannya, Zappos memang berkali-kali menerima panggilan telepon dari pelanggan untuk menanyakan hal-hal yang tidak berhubungan dengan sepatu. Bahkan Tony Hsieh sendiri pernah mengetes karyawannya dengan panggilan telepon untuk menanyakan lokasi restoran pizza terdekat. Nyeleneh, tapi otentik. Impian Tony Hsieh pun menjadi nyata bahwa otentisitas pelayanan pelanggan yang diberikan melalui touchpoint telepon memberikan diferensiasi positif bagi Zappos.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Service Excellence edisi April 2017