Jarang peremajaan, kurang perawatan, dan semakin tersingkir moda transportasi lainnya secara pelan tapi pasti.
Setelah bertahun-tahun tidak pernah menaiki angkot khas Semarang, akhirnya dua hari lalu saya berkesempatan menaiki angkot khas tersebut seusai memasukkan mobil Ibu saya ke dalam bengkel. Tapi tunggu dulu, apa sih sebenarnya yang saya maksud dengan angkot khas Semarang?
Jawabannya, angkot khas Semarang adalah Daihatsu. Daihatsu ini bisa berbentuk Toyota, Mitsubishi, atau merek kendaraan lainnya, namun publik Semarangan sudah terbiasa menyebut angkot khas Semarang ini dengan pengucapan ‘Dayatsu’.
Sepanjang ingatan saya, awal mula panggilan ‘Dayatsu’ ini karena dulu, khususnya pada generasi-generasi awal keberadaan angkot di Semarang, merek Daihatsu adalah merek paling dominan digunakan sebagai moda transportasi massal dalam kota. Karena seringnya melihat merek Daihatsu digunakan sebagai angkot untuk berbagai tujuan, maka wong Semarangan pun menjadi terbiasa menyebut Dayatsu untuk angkot khas Semarang tersebut.
Nah, kembali ke tujuan saya menceritakan pengalaman kembali menaiki Dayatsu. Karena adanya perubahan-perubahan arus lalu lintas dalam kota menjadi satu arah, maka trayek-trayek Dayatsu turut mengalami perubahan. Pengetahuan saya mengenai rute Dayatsu yang sudah tercemar oleh lalu lintas Jabodetabek dan kota-kota lain di dunia jelas sudah basi dan wajib diperbarui.
Kemudian saya bertanya kepada satpam bengkel dalam Bahasa Jawa yang khusus dalam tulisan ini sudah saya terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Saya: Pak, saya mau naik Dayatsu ke arah Sampangan, naiknya dari mana ya? Sekarang sudah ngga lewat depan sini lagi ya?
Pak Satpam: Sudah ngga Mas. Dulu pas arus lalu lintas masih dua arah, memang Dayatsu tujuan Sampangan bisa kita naiki langsung di depan bengkel. Tapi, kenapa ngga naik xxx (salah satu merek penyedia jasa transportasi daring dua roda) saja?
Catatan: Di sini saya merasa prihatin. Ternyata Dayatsu di benak Pak Satpam sudah tersingkir dari puncak dan digantikan si merek XXX. Angkot khas Semarangan ini nasibnya semakin menyedihkan bahkan di kalangan wong Semarangan.
Saya: Ngga papa Pak. Saya mau milih naik Dayatsu saja. Kebetulan sudah lama banget ngga pernah naik Dayatsu. Berarti saya harus ke Simpanglima dulu ya? Ke jalan protokol sebelah masjid yang juga ada Gramedia? Sekarang bayarnya berapa ya?
Pak Satpam: Iya Mas. Ke Jalan Pandanaran. Nah, kalau sudah di situ sih gampang mau naik Dayatsu karena mereka pasti lewat sana. Tapi jauh lho ke Simpanglima. Untuk harga ngga ada perubahan kok. Untuk tujuan Sampangan, masih 4000 rupiah.
Saya: Ngga papa Pak. Saya suka jalan dan biasa jalan kaki. Terima kasih banyak.
Pak Satpam: Sama-sama Mas.
Kemudian, saya berjalan kaki mengukur jalan dan trotoar Semarang mulai dari depan bengkel hingga jalan Pandanaran. Ternyata, enak juga jalan kaki di sini. Meski trotoar yang terhitung baru sudah mulai rompal lagi di sana-sini, pemerintah kota tetap menjalankan kewajibannya untuk memperbarui dan melengkapi fasilitas publik kota Semarang.
Tiba di jalan Pandanaran dan menuju Sampangan
Setibanya di jalan Pandanaran, saya menunggu di sudut jalan sembari menikmati mobil yang berseliweran dan orang lalu-lalang. Waktu ini, matahari masih belum tinggi dan jam menunjukkan sekitar pukul 09:00. Dayatsu menuju Sampangan terlihat di depan mata dan saya segera melambaikan tangan memintanya untuk berhenti.
Saya kemudian memasuki angkot khas Semarang ini dan ternyata, saya satu-satunya penumpang. Di dalam Dayatsu hanya ada seorang sopir dan tidak ada kenek.
Saya kemudian melihat interior dalam Dayatsu dan saya kembali merasa prihatin. Dahulu semasa kanak-kanak, angkot ini menjadi moda transportasi utama saya menuju dan dari sekolah selain kendaraan pribadi punya orang tua dan bus kota. Meski terkadang penampilannya amburadul, Dayatsu masih lebih sering ada dalam keadaan cukup terawat.
Kemudian, dulu Dayatsu juga sering penuh penumpang dan meski sudah mencapai kapasitas penuh, sang sopir bersama kenek masih sering memaksa para penumpang yang ada di dalam untuk terus mepet sana-sini agar ada lagi ruang tersisa untuk kembali menambah penumpang. Dalam hal ini, masih segar dalam ingatan saya beberapa kali disindir secara halus baik oleh kenek dan sopir karena perawakan saya yang terhitung besar untuk ukuran Semarang, meski waktu itu masih SD dan SMP, dianggap ngambil jatah dua tempat duduk.
Sekarang, saya belum melihat keadaan serupa. Sepanjang perjalanan, meski bertepatan dengan waktu bubar sekolah dan menjelang liburan panjang, kapasitas Dayatsu tidak pernah di atas 90 persen. Selalu ada ruang tersisa meski hanya untuk satu orang dan saya sama sekali tidak terkena omel karena perawakan saya saat ini selain termasuk besar, juga sudah kelebihan berat badan. Dugaan saya, hal ini terjadi karena kemudahan pembelian kendaraan bermotor roda dua dan keberadaan ojek daring.
Namun ada hal menarik khas Semarangan yang masih saya temukan sepanjang perjalanan Simpanglima – Sampangan. Boso Jowo masih 100 persen menjadi lingua franca antarpenumpang dan penumpang dengan sopir. Tidak sekali pun saya menemui penggunaan Bahasa Indonesia sepanjang perjalanan. Boso Jowo ngoko dan kromo menjadi suara yang membias ruang rindu sepanjang perjalanan.
Akhirnya, tujuan saya terlihat saya kemudian berujar, “Ngiwa (kiri), Pak,” lalu segera keluar dari angkot dan membayar sebesar 10.000 rupiah. Pak sopir memberikan kembalian sebesar 5000 rupiah, lebih mahal seribu rupiah, namun tidak mengapa dan saya ikhlas, selain tidak merasa pantas untuk meminta kembalian lebih. Setelah berbasa-basi sebentar, saya kemudian melanjutkan langkah kaki saya menuju rumah dengan terpenuhinya rindu untuk menaiki Dayatsu.
Oiya, ada kejadian yang sebenarnya agak menjengkelkan. Entah kenapa, baik kepada pak satpam maupun kepada pak sopir, meski saya sudah berbicara Boso Jowo, mereka membalasnya dengan Bahasa Indonesia. Kadang campur dengan Boso Jowo, tapi jauh lebih sering 100 persen Bahasa Indonesia. Mungkin perawakan, wajah, dan logat saya dianggap bukan warga lokal. Hahaha.
saya juga melihat kondisi serupa di makassar dengan pete-petenya. tapi lain lagi kalau di kampung saya dimanado justru angkot seperti itu yg dinamakan mikrolet oleh orang manado selalu full penumpang krn perawatan dan modifikasi dari pemilik sehingga penumpang nyaman naik angkot. bahkan angkot dimanado terkesan mewah interirornya.
Ah iya. Makassar pete-pete. Pernah ke sana sekali dan keinget sama angkot khas serupa Semarang tapi warna biru yang banyak banget. Itu pete-pete kan?
Kalau Manado saya belum pernah. Ada keinginan ke sana, tetapi kemauan mengeksekusi keinginan masih rendah. Jadi belum bisa ngasih komen terlalu banyak soal angkot. Tapi bagus lah kalau angkot khas Manado bisa membuat para pelanggannya tetap tertarik memakai jasa mereka.
Saya kalau mendengar Manado malah tertarik dengan kulinernya 🙂
Terima kasih untuk komentarnya ya.
iya kwn, kalau dimakassar namanya pete-pete warna khasnya biru sama seperti manado, cuman kondisi pete-pete persis spt yg disemarang. hahahahahaha kuliner yang pasti pedis-pedis wkwkwk