Bagaimana cara mengelola segmentasi usia yang berbeda-beda dengan tujuan yang berbeda-beda dalam sebuah perusahaan?
“Generasi muda sekarang susah diatur dan mau seenaknya sendiri. Beda dengan generasi kita!” Sebuah pernyataan yang mungkin pernah kita dengar saat berbicara dengan teman-teman satu angkatan saat membicarakan generasi baru yang biasa disebut Milenial. Sebuah pernyataan yang bisa jadi pernah dilontarkan oleh generasi sebelum kita saat melihat perilaku dan tindak tanduk kita dalam dunia kerja.
Terlepas dari keberadaan umur kita, apakah dalam generasi X (1965 – 1980) atau generasi Y / Milenial (1981 – 2000), terdapat perbedaan prinsip hidup dan tujuan kerja yang tampak nyata dan keberadaannya tidak dapat dinafikan. Kedua generasi tersebut juga mewakili segmen terbesar pekerja di Indonesia. Jadi, mulailah menerima perbedaan, hindari beradu, dan belajar berpadu, karena dua generasi tersebut akan menjadi teman kerja dalam jangka waktu yang lama.
Menerima perbedaan antargenerasi, khususnya di dunia kerja, perlu dimulai dengan mengetahui profil masing-masing generasi. Setelah mengetahui profil masing-masing, perhatikan irisan yang berisikan hal-hal yang menunjukkan kesamaan antargenerasi. Melalui pemahaman hal mendasar ini, rasa komunal dapat dibentuk untuk mencapai tujuan bersama.
Generasi X – gaya kerja, tujuan karier, nilai pribadi
Generasi X memiliki gaya kerja independen, menginginkan masukan tetapi cenderung tidak ingin diawasi, tahan banting, dan berpikiran kritis. Mereka ingin menyelesaikan pekerjaan sesegera mungkin dan memilih hubungan kerja informal.
Generasi X pun sangat mengutamakan karier yang sedapat mungkin seimbang dengan kehidupan pribadi dan mendapatkan uang yang mampu memenuhi kebutuhan serta keinginan.
Jadi, nilai-nilai yang dianut generasi X berkenaan dengan fleksibilitas, kebebasan, sikap responsif, adil, dan ada unsur kesenangan.
Generasi Y – gaya kerja, tujuan karier, nilai pribadi
Generasi Y memiliki gaya kerja yang penuh energi, ide-ide, dan produktivitas yang meluap. Mereka suka mempertanyakan otoritas dan berani mempertentangkan pendidikan dengan pengalaman. Mereka menyukai bentuk hubungan yang bergaya kasual dan selalu memikirkan langkah berikut yang akan ditempuh.
Karena gaya kerja tersebut, tujuan karier mereka biasanya berhubungan dengan finansial, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, ingin menciptakan perubahan terhadap status quo dan ingin menciptakan dampak saat ini juga.
Maka, nilai-nilai yang dianut generasi Y berhubungan erat dengan fleksibilitas, kontrol, produktivitas, kebebasan, dan kesenangan.
Marketer generasi X dan Y berpadu
Dari penjelasan mengenai generasi X dan Y di atas, terlihat bahwa kedua generasi memiliki kesamaan yang dapat menjadi jembatan antargenerasi. Generasi X dan Y sama-masa ingin mencapai keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, ingin bersenang-senang, dan berpikiran maju.
Dari irisan kesamaan, kita dapat menentukan pembagian kerja yang menitikberatkan pada kelebihan dan kekuatan masing-masing generasi. Sebagai contoh, jika perusahaan memiliki proyek yang membutuhkan kemampuan berpikir kompleks dan adaptasi teknologi yang sangat baik, maka berikan pekerjaan tersebut kepada generasi Y dan jadikan mereka eksekutor.
Sedangkan jika perusahaan memiliki proyek yang harus dieksekusi dan diselesaikan sesegera mungkin, percayakan kepada generasi X sebagai eksekutor proyek tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara mengolaborasikan kedua generasi tersebut dengan gesekan seminimal mungkin? Karena di era digital, sangat mungkin terjadi seorang manajer proyek berasal dari generasi Y dan generasi X menjadi bawahannya. Dalam kultur Asia yang memandang senioritas dan umur sebagai hal esensial, keadaan ini dapat menimbulkan masalah.
Dapat pula terjadi dalam situasi lain sedang terjadi komunikasi kerja antara generasi X dan generasi Y. Generasi Y dengan paparan teknologi internet yang sangat membuat gaya berbicara yang dipengaruhi berbagai budaya dan mungkin saja menipiskan gaya berkomunikasi yang dianggap sebagai normal di Indonesia. Akibatnya, generasi Y dianggap memiliki gaya komunikasi yang miskin oleh generasi X. Jika hal ini terus dibiarkan, masalah dapat semakin membesar dan melebar.
Maka, untuk memadukan generasi X dan generasi Y dalam satu tim dan memastikan kedua generasi menciptakan kolaborasi yang optimal, pastikan perusahaan menjadi wasit dan memastikan terjadinya komunikasi mendalam, kompromi, dan memastikan insentif.
Komunikasi mendalam
Komunikasi mendalam dan saling menghargai tidak dapat tercipta jika manajemen senior tidak mau atau sulit melepaskan kontrol dan unjuk otoritas mereka. Pahami dan hargai nilai pribadi yang dianut para pihak dan pastikan terjadi komunikasi terbuka yang saling menghargai nilai-nilai pribadi tersebut.
Kemudian saat pembentukan tim, pastikan bahwa para anggota yang terlibat baik marketer senior dan marketer junior bersifat saling melengkapi dan bukan bertentangan. Sebagai contoh, jika dalam tim hanya diperlukan satu juru bicara untuk keperluan komunikasi massa, maka jangan tempatkan dua orang dengan kemampuan sama dalam tim tersebut.
Dalam situasi lain, jika dalam sebuah tim hanya diperlukan dua atau tiga orang untuk social media marketing, maka perusahaan tidak perlu menempatkan empat orang atau lebih untuk keperluan event marketing dalam tim tersebut.
Setelah tim terbentuk, sampaikan juga kepada tim mengenai nilai-nilai yang dianut perusahaan, tujuan yang harus dicapai sejernih mungkin, hak dan kewajiban masing-masing marketer, serta sanksi yang dapat dikenakan jika ada nilai-nilai dan aturan bersama yang dilanggar. Pastikan juga masing-masing anggota tim benar-benar memahami dengan baik hal-hal yang sudah disampaikan.
Kompromi
Kompromi, negosiasi, diplomasi, atau sebutan-sebutan lain yang berhubungan dengan kemampuan komunikasi adalah keniscayaan yang sangat esensial dalam peradaban manusia modern. Dalam kompromi, pihak-pihak yang terlibat bersedia untuk berdamai dengan ego mereka, saling menghargai nilai-nilai personal masing-masing individu, bersedia mengurangi atau merevisi hal-hal atau faktor-faktor yang dapat menimbulkan resistensi dan penolakan demi mencapai tujuan yang lebih besar.
Dalam konteks perusahaan, marketer generasi X dan marketer generasi Y wajib memahami dan menjalankan langkah-langkah kompromi demi kemaslahatan bersama. Ada baiknya saat langkah-langkah kompromi berjalan, ada pihak yang menjadi mediator. Pihak mediator ini sebaiknya berasal dari pihak yang netral atau individu yang dihormati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses kompromi.
Sebagai contoh, ada sebuah proyek brand awareness yang sangat menekankan sisi digital baik dalam konsep maupun eksekusi. Untuk menjamin kelancaran proyek ini, sebaiknya marketer generasi Y menjadi pemimpin proyek dan generasi Y juga ditempatkan dalam sebagian besar anggota tim. Namun, tetap perlu ada proses komunikasi yang melibatkan manajemen senior dari perusahaan yang mereknya sedang dijadikan objek proyek. Pada tahap ini, peran generasi X menjadi krusial untuk menjamin kedekatan emosional saat proses komunikasi berlangsung.
Untuk menjamin kelancaran kerja tim, marketer generasi Y sedari awal harus menghormati dan menghargai generasi X, antara lain dengan menunjukkan sikap percaya bahwa proses komunikasi dengan manajemen senior perusahaan yang mereknya menjadi objek proyek dapat memberikan hasil positif. Kepercayaan tersebut diberikan dengan menghargai gaya kerja, tujuan karier, dan nilai pribadi yang dianut generasi X, antara lain bekerja minim atau tanpa pengawasan.
Memastikan insentif
Berbasis informasi dari berbagai studi, keberadaan insentif adalah faktor penting yang menjamin manusia bekerja optimal. Bentuk insentif ini bisa bermacam-macam, mulai dari uang, penghargaan, hingga aktualisasi diri. Perusahaan tentunya perlu memberikan insentif wajib bagi para marketer generasi X dan marketer generasi Y, yaitu uang. Selain uang, perusahaan perlu memahami insentif tambahan yang sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang dianut para marketer.
Memastikan insentif yang tepat bisa dikatakan adalah salah satu hal yang paling sulit dilakukan karena melibatkan banyak parameter dan harus mampu menjamin rasa keadilan. Jika rasa keadilan tidak terpenuhi, ada kemungkinan usaha yang sudah dilakukan untuk memadukan marketer generasi X dan generasi Y menjadi berantakan.
Dalam perspektif parameter, misalnya perusahaan menetapkan semacam besaran uang yang bersifat sama alias standar untuk semua marketer. Kemudian ada tambahan-tambahan uang yang ditentukan berdasarkan parameter-parameter yang telah ditetapkan, misalnya kuantitas konsumen yang melihat iklan, kuantitas pembaca konten marketing yang sudah dibuat, hingga resensi positif yang sudah diterima.
Selain insentif berbentuk tambahan uang, perusahaan juga dapat memberikan insentif dalam bentuk liburan yang dibiayai perusahaan, penghargaan marketer berprestasi, atau kesempatan untuk menimba ilmu-ilmu baru melalui kursus atau pendidikan yang dibiayai perusahaan.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Maret 2017
Dunia marketing memang penuh lika liku.. Anda termasuk generasi Y mas? Jika sya boleh tahu Anda bekerja dalam bidang apa ya?
Terima kasih komentarnya Mas. Betul, saya masuk generasi Y. Saat ini saya menjalankan usaha sendiri bidang manajemen perdagangan dan menjadi dosen paruh waktu.
Wah keren tuh mas, saat memulai bisnis itu apa yang pertama kali harus dipikirkan mas? Kebanyakan orang kan lebih memilih kerja pada orang lain dibandingkan untuk menciptakan lapangan kerja. Tau Robert Kiyosaki mas? 😀
Jawaban saya bisa dibaca di https://gintong.me/2016/03/06/mencari-masalah/ dan https://gintong.me/2016/12/06/cek-realitas-dalam-pertumbuhan-startups/ Mas.
Mengenai memilih kerja dengan orang lain atau bikin lapangan kerja, itu pilihan pribadi yang saya ngga berani terlalu menjustifikasi 🙂
Tahu, sudah baca buku-bukunya Kiyosaki sejak mulai S1, Mas.
Dia menjelaskan Cashflow Quadrant, setuju gak mas sama pendapatnya itu?
Untuk sekedar memudahkan pemahaman pembagian profesi dunia kerja, ya.
Untuk menunjukkan pengotakan bahwa investor lebih tinggi kastanya daripada pebisnis, pebisnis lebih tinggi daripada pekerja mandiri, pekerja mandiri lebih tinggi daripada karyawan biasa, tidak setuju.
Oh, sip mas!