Seberapa jauh kita harus mengakomodir kemauan pelanggan agar kita tidak terkesan bagai budak?
Keinginan memberikan pelayanan terbaik bagi pelanggan kadang bisa benar-benar melewati batas kesabaran dan kemampuan insan perusahaan. Kita memang biasa mendengar adagium, “Konsumen adalah raja,” dan akibatnya, kadang kita terlalu berusaha menuruti semua kemauan pelanggan, apalagi jika kita berkeinginan menciptakan pengalaman pelanggan sempurna.
Namun ada hal yang wajib diingat oleh kedua belah pihak. Bisnis yang sehat adalah bisnis yang mengutamakan simbiosis mutualisme. Membicarakan simbiosis mutualisme, berarti saling memberi dan saling menerima, terlepas dari segala kompleksitas yang tercipta di balik layar. Jangan sampai karena saking inginnya kita memberikan yang terbaik bagi para pelanggan, memudahkan mereka dalam segala hal di setiap waktu, kita justru malah menyulitkan para karyawan dan karyawati.
Jika kita sampai terlalu menuruti kemauan pelanggan, sebenarnya kita sudah mengubah adagium ‘Konsumen adalah raja’ menjadi ‘Konsumen adalah diktator’. Dalam jangka pendek, mungkin kita bisa menciptakan pengalaman pelanggan yang mengesankan. Namun pengalaman pelanggan berkesan tersebut tercipta dengan mengeksploitasi para karyawan dan karyawati kita. Dalam jangka panjang, justru tekanan dan stres mental yang dialami para rekan kerja kita bisa menjadi bumerang karena mereka adalah ujung tombak interaksi dengan para pelanggan.
Sebagai contoh, Anda adalah seorang pengusaha gudang bersama dengan jam kerja utama dari jam 09:00 s.d. 17:00. Untuk mengakomodir para klien yang biasa memasukkan dan mengeluarkan barang di luar jam kerja, Anda membuat jam kerja tambahan pada jam 06:00 s.d. 09:00 dan 17:00 s.d. 18:00 dengan perjanjian khusus berupa pemberitahuan oleh para klien minimal sehari sebelumnya.
Namun di lapangan, ada klien yang justru ingin memasuki wilayah gudang bersama pada jam yang sangat larut atau dini hari, misalnya jam 01:00. Jika Anda memenuhi keinginan klien ini, ada beberapa hal yang harus Anda lakukan, antara lain memastikan ada petugas gudang selain satpam yang terjaga pada jam tersebut, membuka akses masuk menuju kompleks gudang bersama, dan menempatkan tenaga-tenaga angkut untuk membantu memasukkan barang klien ke dalam gudang yang disewa.
Jika Anda menolak mengeksploitasi para individu yang bekerja untuk Anda, Anda harus berani menolak keinginan klien tersebut. Sampaikan apa adanya mengenai keterbatasan yang perusahaan miliki sehingga saat ini belum mampu memenuhi keinginan tersebut. Kelak, jika sumber daya yang dimiliki sudah jauh lebih mumpuni, barulah pikirkan potensi pelayanan terhadap klien-klien dengan kebutuhan jam khusus.
Simbiosis mutualisme dalam penciptaan pengalaman pelanggan positif
Dalam ilmu manajemen pengalaman pelanggan, kita perlu berorientasi kepada konsumen. Pemahaman terhadap masalah, kemampuan memenuhi kebutuhan, pengetahuan mengenai profil konsumen, hingga pemahaman proses pembelian adalah kumpulan hal-hal esensial yang wajib diketahui seorang praktisi manajemen pengalaman pelanggan.
Usaha penciptaan pengalaman pelanggan yang langgeng bersifat resiprokal. Saling memberi, saling menerima, dan saling melengkapi. Kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dengan keberadaan masing-masing pihak. Jika ada salah satu pihak yang mengeksploitasi pihak lainnya atau mengeksploitasi pihak-pihak internal, ada kemungkinan perusahaan tersebut tidak akan langgeng dalam berbisnis. Kalau mampu berjalan dalam jangka waktu lama, bisa jadi citra negatif rutin mengiringi di setiap langkah yang jelas berefek negatif terhadap penjualan.
Jika kedua belah pihak sama-sama memahami simbiosis mutualisme perusahaan dan pelanggan, secara otomatis pengalaman pelanggan yang baik akan terbentuk. Perusahaan tidak akan bersikap seenaknya seakan konsumen adalah ATM berjalan, dan di sisi lain konsumen juga menyadari perannya sehingga tidak bersikap layaknya diktator saat berhubungan dengan perusahaan.
Pemahaman simbiosis mutualisme tersebut sudah dimulai saat perusahaan mulai melakukan riset untuk mengetahui masalah dan kebutuhan konsumen beserta pemilihan profil yang perusahaan mampu untuk akomodir kebutuhannya. Sejak proses awal, marketer dan pelaku pelayanan pelanggan sudah harus saling bersinergi agar pelanggan benar-benar mengetahui bahwa kebutuhannya dapat dipenuhi perusahaan dan perusahaan benar-benar menghargai dirinya sebagai manusia.
Kemudian, saat pelanggan benar-benar mulai berinteraksi dengan perusahaan di titik-titik interaksi, pastikan pelanggan mendapatkan semua informasi yang dia perlukan, termasuk seberapa jauh perusahaan mampu memenuhi kebutuhannya. Jadi, jika ada hal-hal yang diminta oleh seorang pelanggan dan hal tersebut ada di luar informasi yang sudah diberikan perusahaan, pelanggan tersebut sudah menyadari sedari awal bahwa dia meminta lebih banyak dari standar.
Saat pelanggan meminta hal-hal di atas standar pelayanan pelanggan, momen ini menjadi saat krusial menciptakan pengalaman pelanggan di atas rata-rata. Maka, untuk mengetahui apakah perusahaan akan memenuhi atau menolak keinginan pelanggan adalah dengan melihat kemampuan dan sumber daya internal.
Jika perusahaan memang masih mampu memenuhi kebutuhan, maka lakukan sebaik mungkin dan pastikan pelanggan mengetahui bahwa perusahaan melakukan lebih banyak dari kebiasaan untuk memenuhi permintaannya. Sedangkan jika sumber daya perusahaan tidak mampu memenuhi permintaan pelanggan, sampaikan apa adanya dari awal. Jika negosiasi dapat dilakukan untuk mengurangi standar permintaan pelanggan, ajaklah pelanggan bernegosiasi.
Kejujuran dalam berkomunikasi, termasuk seberapa jauh perusahaan mampu memenuhi kebutuhan pelanggan di atas standar mampu memberikan pengalaman pelanggan berkesan. Bahkan dari berbagai studi kasus menyebutkan, pelanggan yang meminta kebutuhan di atas rata-rata dan terpenuhi dengan sangat baik oleh perusahaan sembari tetap menjaga kapasitas internal, pelanggan tersebut menjadi pelanggan loyal dan duta merek perusahaan yang menyampaikan berita positif secara gratis.
Contoh kasus: simbiosis mutualisme dalam Ubud Writers & Readers Festival

Janet DeNeefe, Penggagas dan Pendiri Ubud Writers & Readers Festival – sumber foto: foodhealthwealth.com
Saat kita mendiskusikan ide, kata, literasi, buku, dan hal-hal terkait baik dari sisi konsumen maupun, ada sebuah festival di Indonesia yang sudah bersinonim dengan kuat dan positif bagi para pihak yang berkaitan. Bagi para penulis, pecinta sastra, penikmat puisi, novelis, hingga tokoh literasi, Ubud Writers & Readers Festival (UBWR) sudah memiliki posisi yang sangat kuat dan mendalam di benak mereka.
Conde Nast Travel, Harpers Bazaar UK, dan Business Times adalah sebagian dari media yang sudah memberikan kesan positif mengenai Ubud Writers & Readers Festival. Karenanya, bagi merek-merek yang ingin diasosiasikan secara positif dengan budaya, seni, dan literasi, Ubud Writers & Readers Festival adalah salah satu pilihan premium.
Asmirizani dalam artikel berjudul Ubud Writers Rider Festival 2017 adalah salah satu blogger asal Pontianak, yang sekaligus menjadi salah satu dari 50,000+ konsumen potensial sekaligus pengguna internet yang menunjukkan betapa besar potensi festival ini. Melalui artikelnya, Asmirizani memperlihatkan bukti nyata bahwa UBWR sudah sukses menciptakan pengalaman pelanggan positif, langgeng, dan bersifat resiprokal. Kesediaannya untuk mempromosikan UBWR 2017 sekaligus mengajak para penulis Indonesia mengikuti seleksi emerging writers Indonesia sudah memberikan salah satu bukti kuat mengenai kekuatan merek UBWR untuk memunculkan simbiosis mutualisme dalam penciptaan pengalaman pelanggan positif.
Usia UBWR yang sudah memasuki tahun ke 14 dan mendapatkan sponsor-sponsor ternama dari entitas pemerintah, swasta, hingga LSM semakin menguatkan citra merek UBWR, khususnya di wilayah Asia Tenggara. Merek UBWR adalah contoh saat semua pihak terlibat sama-sama diuntungkan dengan keberadaan masing-masing. Jadi, saat kita ingin menciptakan pengalaman pelanggan positif yang berujung pada kelanggengan merek, UBWR pantas menjadi rujukan.