Jujur dan lugas mengulas berbagai perspektif ilmu ekonomi, khususnya perspektif Islam.
Buku The Future of Economics: An Islamic Perspective karya Dr. M. Umer Chapra saya dapatkan tahun 2001 saat saya tergabung dalam Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI). Dengan ketebalan lebih dari 400 halaman (belum termasuk kata pengantar dan sambutan dari berbagai tokoh), rasanya menjadi keistimewaan bagi saya untuk membeli dan membaca buku ini. Alasan utamanya karena saya termasuk orang yang malas belajar dan malas membaca buku-buku setebal kamus. Hehehe.
Namun, saat melihat buku ini di dalam lemari, kenangan awal saya membayangkan nikmatnya belajar Islam dan pengaruhnya terhadap ilmu ekonomi kembali menyeruak dalam pikiran. Selaras dengan cara berpikir saya, Dr. M. Umer Chapra menulis The Future of Economics: An Islamic Perspective apa adanya dan berimbang.
Oiya, jika ada di antara pembaca yang belum mengetahui siapa Dr. M. Umer Chapra, beliau adalah ekonom Arab Saudi. Sejak November 1999, beliau bekerja sebagai penasehat di Islamic Research and Training Institute (IRTI), Islamic Development Bank (IDB) yang berkedudukan di Jeddah, Arab Saudi.
Dalam buku ini, selain menceritakan hal-hal yang membawa peradaban Islam pada puncak kejayaan, beliau juga bercerita mengenai hal-hal yang menyebabkan kemunduran umat Islam, antara lain rendahnya akuntabilitas publik, tanpa mencoba menutupi atau membuat tulisan berbau propaganda kosong. Dr. M. Umer Chapra juga menyatakan perlu ada reformasi politik dalam negara-negara Islam.
Tulisan ini mengagumkan karena Dr. M. Umer Chapra tetap menyampaikan fakta meski menyakitkan. Tulisan Dr. M. Umer Chapra semakin kuat karena menggunakan basis keilmuan dan data valid dari berbagai perspektif, termasuk perspektif ilmu ekonomi yang dianggap oposan. Hal ini menunjukkan karakter beliau yang menolak hidup dalam gelembung imajiner.
Maka, saya memutuskan kembali membaca dan kali ini, membuat ulasan mengenai buku ini. Ulasan ini sekaligus menjadi tulisan kelima untuk program Satu Bulan Satu Buku, yang agak melebihi target. Hehehe.
Fokus ulasan saya ada pada empat hal, yaitu kekayaan akar ilmu Islam, kemunduran umat Islam, usaha penerapan ekonomi Islam dalam konteks negara, dan masa depan dalam perspektif Islam.
Kekayaan akar ilmu Islam
Pada bab 1, Dr. M. Umer Chapra memulai dengan bahasan ekonomi konvensional dan para tokohnya, a.l. Alan Blinder, Friedman, Rosenberg, dan Myers. Bab inilah yang kembali menyegarkan ingatan saya kenapa belajar ilmu ekonomi Islam itu menarik. Beliau berusaha membahas ekonomi Islam dengan berangkat dari disiplin ilmu ekonomi konvensional melalui sumber-sumber utama.
Langkah Dr. M. Umer Chapra membahas ekonomi konvensional dari tulisan-tulisan para tokohnya, kemudian menganalisis berbagai kelebihan dan kekurangannya menunjukkan gaya berpikir beliau yang menolak hidup dalam gelembung imajiner. Beliau bersedia membahas berbagai tulisan dari ilmu konvensional yang menjadi sasaran kritiknya tidak melalui tulisan para oposan atau tulisan yang dianggap seideologi atau satu kaum. Langkah tersebut jarang saya temui saat belajar dan berdiskusi saat mempelajari keilmuan Islam di Indonesia.
Bahkan, Dr. M. Umer Chapra pun menyatakan bahwa catatan sejarah Muslim menunjukkan jika umat Islam belajar banyak hal dari kebudayaan lain yang dianggap berguna dan selaras dengan nilai-nilai Islam. Kemudian, melakukan apa yang dirasa perlu untuk mengimprovisasi dan mengembangkan ilmu-ilmu dari kebudayaan lain (hal 53 – 54).
Selain membahas tulisan para pemikir ekonomi konvensional, Dr. M. Umer Chapra juga membahas para pemikir Islam dengan latar belakang beragam, antara lain Ibnu Sina, al-Ghazali, Ibnu Taymiyyah, dan Syekh Muhammad Abduh. Tentu saja Dr. M. Umer Chapra juga menekankan warisan ilmu dari Ibnu Khaldun yang menjadi kerangka konsep ekonomi Islam.
Bagi pembaca yang belum mengetahui Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M), beliau adalah penulis Muqaddimah yang tersohor. Buku Muqaddimah sebenarnya pengantar kitab al-‘Ibar. Namun, pengantarnya justru jauh lebih terkenal hingga kini. Muqaddimah membahas berbagai disiplin ilmu dengan ketajaman analisis mendalam. Bagi pembaca yang tertarik tasawuf dengan corak al-Ghazali, Anda bisa menemukannya dalam Muqaddimah.
Muqaddimah menjadi menarik, karena ditulis pada zaman dimulainya kemunduran umat Islam dan melalui Muqaddimah, Ibnu Khaldun berusaha mengembalikan kejayaan Islam. Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun membahas hal-hal yang menyebabkan keruntuhan dan kejayaan sebuah dinasti, negara, dan peradaban.
Dalam konteks ilmu ekonomi, Ibnu Khaldun membuat rumusan yang mencerminkan karakter interdisipliner sekaligus dinamis. Rumusan tersebut menghubungkan semua variabel-variabel sosial, ekonomi, politik, termasuk Syariah (S), kekuasaan politik atau waazi’ (G), masyarakat atau rijal (N), kekayaan atau sumber daya atau maal (W), pembangunan atau imarah (g) dan keadilan atau ‘adl (j).
Dengan model Ibnu Khaldun inilah, Dr. M. Umer Chapra menjelaskan konsep ekonomi Islam hingga akhir buku The Future of Economics: An Islamic Perspective.
Kemunduran umat Islam
Dr. M. Umer Chapra menyampaikan bahwa sehubungan dengan kejayaan, khususnya kemajuan intelektual pada era emas Islam, budaya urban yang berkembang dan beragam, sikap toleran, serta dukungan fasilitas dan finansial membuat Dunia Islam menjadi tempat bertemu para intelektual dan cendekiawan dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang (Muslim, Kristen, Yahudi, Zoroaster, dan Sabian).
Diskusi bebas dan terbuka tentang isu-isu intelektual, khususnya yang paling monumental pada seperempat abad kekhalifahan Harun al-Rasyid, membuat Baghdad berkembang menjadi pusat pendidikan dan kekayaan dunia.
Lantas, apa yang menyebabkan Dr. M. Umer Chapra menulis bahwa dunia Islam tidak selalu berhasil untuk hidup sejahtera sesuai dengan paradigma Islam (hal. 65)?
Penyebab kemunduran tersebut dapat ditelusuri ke belakang sejak masa berakhirnya pemerintahan Khulafaur Rasyidin (hal. 193). Berkuasanya Muawiyah, pewarisan kekuasaan pada anaknya, Yazid, dan pembentukan Dinasti Umayyah menunjukkan proses politik yang tidak absah dan lahirnya sistem kerajaan secara turun temurun dengan kekuasaan absolut tanpa pertanggungjawaban cukup. Hal ini adalah pelanggaran jelas terhadap tuntutan moral tentang khilafah dan sistem politik ideal dalam Islam.
Khilafah adalah bentuk pemerintahan ketika khalifah (kepala negara) dipilih rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat. Tugas utamanya membentuk tatanan adil dan mengusahakan kesejahteraan rakyat berdasarkan ajaran syariah dan keputusan-keputusan syura. Syura secara harfiah berarti dewan konsultatif. Sebagian besar intelektual klasik dan modern menganggapnya badan yang dipilih secara otonom dan keberadaannya adalah wajib, dan keputusan dengan bentuk ijma’ (konsensus) bersifat mengikat (hal. 194).
Berdasarkan penjelasan ringkas di atas, terlihat kemiripan antara sistem demokrasi dan khilafah. Kemungkinan melanggar tujuan pun tetap tidak dapat dihindari oleh setiap negara, baik negara Muslim atau sekuler (hal. 196).
Berdirinya Dinasti Umayyah menunjukkan konsolidasi pemerintahan yang tidak absah. Dinasti Abbasiyah yang berkuasa dengan menyingkirkan Bani Umayyah juga tidak dapat mewujudkan janji-janji mereformasi penyakit-penyakit yang dibawa Bani Umayyah ke dalam politik. Hal serupa terus berlanjut hingga kekuasaan Turki Utsmani.
Semua dinasti tersebut berkuasa secara absolut dengan sistem warisan. Maka gelar khalifah pun hilang dan digantikan dengan kata sultan dan malik. Lembaga-lembaga syura dan bai’at pada umumnya digunakan untuk kepentingan praktis politik dan sebagai tiruan semata dari syura sebenarnya pada masa Khulafaur Rasyidin (hal. 198).
Memang ada beberapa penguasa pada dinasti yang berbeda-beda benar-benar alim dan kompeten menjalankan tugas kekhalifahan. Namun hanya beberapa dan lainnya adalah raja-raja absolut dan pemerintahannya tidak menampakkan ajaran-ajaran Islam.
Kebebasan berpikir, berpendapat, dan persamaan di depan hukum yang menurun, perpindahan kekuasaan antaranggota keluarga yang sering diawali pertumpahan darah dan kekuasaan militer, pelemahan semangat kreatif, hidup berlebihan, pemborosan anggaran negara untuk militer, korupsi dan jual beli jabatan, jelas membawa kemunduran umat Islam dalam segala bidang.
Sayangnya hingga kini, Dunia Islam kurang mampu membuat prosedur pemindahan kekuasaan kepada orang layak dan kompeten secara tertib dan damai, menggunakan sumber-sumber kekayaan negara secara efisien dan adil berdasarkan syariah, serta menyampaikan kritik bebas terhadap kebijakan pemerintah tanpa rasa takut (hal. 200).
Penyakit-penyakit dalam politik diperburuk oleh gejolak fiskal. Sehubungan dengan ketidakseimbangan fiskal yang terjadi menyebabkan merosotnya nilai mata uang. Standar dinar, dirham, dan fulus memang mampu menjaga kestabilan hingga abad 10 dan termasuk standar terbaik di dunia barat dan timur pada masa tersebut. Namun fluktuasi harga, perbedaan nilai tukar dinar dan dirham, kondisi permintaan dan penawaran berbeda akhirnya menyebabkan ketidakstabilan harga dan nilainya.
Meningkatnya masalah keuangan, yang antara lain disebabkan sistem pajak yang tidak adil, mendorong produksi uang logam dalam jumlah besar dan tidak terkendali. Akibatnya nilai uang merosot, inflasi, dan menyebabkan kemunduran lebih jauh lagi (hal. 213).
Usaha penerapan ekonomi Islam dalam konteks negara
Salah satu hal paling menarik untuk dibahas dalam ekonomi Islam adalah riba. Jelas riba dilarang tanpa keraguan. Namun kemajuan zaman, sistem finansial, dan kebijakan moneter yang semakin kompleks memerlukan pemikiran ulang mengenai riba. Inti dari argumen ini adalah bunga yang diberikan dan diambil lembaga-lembaga keuangan modern memiliki sifat berbeda dengan bunga pada zaman jahiliyah.
Kemudian dalam konteks modern, Dr. M. Umer Chapra memberikan contoh bahwa sudah ada tiga negara Muslim yang memilih mendirikan sebuah sistem keuangan Islam dengan skala seluruh negara. Tiga negara tersebut adalah Pakistan, Sudan, dan Iran. Sikap mereka berbeda dengan pendirian bank-bank Islam bersama dengan sejumlah besar bank konvensional di pasar keuangan yang berdasarkan atas bunga di negara Muslim lainnya.
Islamisasi yang dimulai Presiden Zia ul-Haq, termasuk perekonomian, di Pakistan pada Juli 1979 menunjukkan upaya membela keadilan sosial-ekonomi sebagaimana dicita-citakan Islam. Namun kenyataannya reformasi dan komitmen tidak dilaksanakan sungguh-sungguh dalam program. Defisit anggaran, kegagalan reformasi pertanahan, beban hutang yang meningkat tajam namun hanya sebagian kecil yang digunakan untuk kegiatan produktif, antara lain terlihat dari tingginya persentase buta huruf (62%), anak usia sekolah dasar putus sekolah (26%), dan anak usia sekolah lanjutan tidak mendapatkan pendidikan semestinya (74%).
Di Sudan, program Islamisasi perbankan berjalan dengan tambal sulam, tergantung tingkat kebutuhan pemimpin politik. Tiadanya persiapan berarti, perang saudara, kekeringan dan kelaparan, arus pengungsi dari Ethiopia dan Chad, embargo AS, dan utang eksternal luar biasa besar (182% dari Produk Nasional Bruto), menunjukkan bahwa analisis dampak Islamisasi ekonomi belum layak dilakukan pada Sudan.
Mengenai Iran, Islamisasi perbankan dimulai pada Maret 1984, saat negara tersebut dilanda peperangan dan resesi parah yang berkepanjangan. Meski belum mampu dieksekusi secara utuh, permasalahan ekonomi mengendor dan pertumbuhan ekonomi tinggi terlihat di Iran. Defisit anggaran hampir tidak ada setelah mencapai puncak 9.2% dari GDP pada 1988. Untuk pertama kali setelah jangka waktu panjang, terdapat surplus anggaran marjinal pada 1996. Tingkat inflasi meski masih tinggi pada 17.2% pada 1997, masih lebih rendah dibandingkan kondisi puncak 49.6% pada 1995.
Masa depan dalam perspektif Islam
Dengan semua permasalahan yang ada, telah tercatat berbagai sebab dan akibat seiring kemajuan zaman, beserta usaha-usaha Islamisasi perekonomian yang sudah dijalankan di era modern, umat Islam harus memulai dari mana?
Pastinya perlu ada reformasi menyeluruh, tidak sekedar melihat variabel-variabel ekonomi, dan adanya visi yang jelas. Pendorong utama pasang surut peradaban manusia adalah manusia itu sendiri. Proses pendidikan, karakter, dan sikap mental adalah penentu. Sekedar mengubah paham, sistem, dan aturan tanpa adanya reformasi manusia adalah percuma.
Setelah reformasi manusia, reformasi politik melalui perjuangan damai dan tanpa kekerasan juga keniscayaan meski memakan waktu. Gerakan Islam yang menampilkan ancaman, kekerasan, teror, sumpah serapah, dan prasangka buruk dapat menjadi bumerang pergerakan Islam.
Gerakan Islam akan jauh lebih berhasil jika mereka menampilkan dirinya penuh simpatik tidak hanya untuk golongan sendiri, tetapi juga kepada golongan lain yang berbeda, dan kepada seluruh dunia. Menunjukkan Islam secara layak melalui keteladanan moral yang baik, mengadopsi sifat moderat sangat perlu ditekankan.
Umat Islam perlu terbebas dari sikap fanatik dan sikap tidak toleran, menghindari konflik internal maupun eksternal serta menjauhi sikap konfrontatif.
Sebagai penutup, ada ulasan menarik pada Bab Suplemen oleh Ir. Adiwarman A Karim yang juga menyampaikan peringatan Dr. M. Umer Chapra kepada para ekonom yang mengembangkan Ekonomi Islam.
Pertama, manusia memiliki keterbatasan dan tidak semua hal dalam Alquran dan Hadits mampu kita terangkan. Kedua, bahwa yang paling benar adalah Islam, namun sedikit dari teori Ekonomi Islam yang diturunkan langsung dari Alquran dan Hadits. Kebanyakan teori-teori Ekonomi Islam yang diturunkan berasal dari kitab-kitab fiqih berusia ratusan tahun. Sedangkan kitab-kitab fiqih bukan kebenaran absolut karena merupakan hasil karya manusia (ulama) melalui pikirannya.