Menolak permintaan anak, bahkan semenjak dia bayi, adalah bagian dari pendidikan yang perlu orang tua lakukan.

Blog Andika Priyandana – No – Why Kids of All Ages Need to Hear It and Why Parents Can Say It, David Walsh, PhD
NO: Why Kids – of All Ages – Need to Hear It and Why Parents Can Say It karya David Walsh, PhD adalah buku keempat yang saya ulas sejak saya memulai kegiatan Satu Bulan Satu Buku per Desember 2016. Memang sepertinya agak melebihi target ya? Hahaha. Saya hanya ingin menjadikan kegiatan membaca buku-buku berkualitas menjadi kebiasaan bangsa Indonesia. Maka saya memulai dari diri sendiri dan memublikasikannya melalui blog pribadi.
Buku NO: Why Kids – of All Ages – Need to Hear It and Why Parents Can Say It berisikan lebih dari 279 halaman dan kontennya adalah kombinasi sains, psikologi, dan pengalaman-pengalaman riil membesarkan anak di era terkini.
Basis ilmu yang kuat, terukur, dan relatif baru membuat saya memutuskan membeli dan menjadikan buku ini sebagai koleksi dan sebagian dari pedoman saya dalam mendidik anak. Tambahan, saya kayaknya juga ngga mungkin membeli buku ini kalau belum punya anak. Hahaha.
Dalam ulasan NO: Why Kids – of All Ages – Need to Hear It and Why Parents Can Say It, saya berfokus pada tiga hal, yaitu budaya mengiyakan keinginan anak, efek penolakan terhadap otak anak, dan penolakan tidak berlaku selamanya.
Budaya mengiyakan keinginan anak
Masa kini adalah masa permisif, masa-masa orang tua merasa tidak bisa berkata tidak kepada anak dan membuat anak mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Padahal kenyataannya, orang-orang yang tidak selalu mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan justru mampu menjalani hidup lebih bermakna.
Saya pernah mendengar kisah salah satu mahasiswa di perguruan tinggi negeri bunuh diri karena mengalami kesulitan yang cukup pelik saat berkomunikasi dengan dosennya. Sementara saya juga mengetahui bahwa ada mahasiswa yang mendapatkan nilai akhir jelek dan membuat ibunya langsung menghubungi sang dosen, menanyakan kenapa anaknya diberikan nilai jelek, dan menyatakan bahwa anaknya menjadi depresi karena nilai jelek tersebut.
Kisah nilai jelek dan orang tua yang mengeluh kepada dosen akhirnya menjadi lelucon di meja makan sekaligus menunjukkan kisah ironis mengenai efek buruk sikap permisif terhadap keinginan anak-anak kita.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa membesarkan anak-anak di era modern jauh lebih sulit dibandingkan dengan era orang tua, kakek nenek, dan nenek moyang kita. Kini, orang tua memiliki banyak alat untuk mendidik dan membesarkan anak, baik yang sesuai keinginan maupun tidak sesuai keinginan.
Mengenai alat-alat yang sesuai keinginan contohnya adalah alat edukasi yang sangat beragam mulai dari elektronik dan nonelektronik. Sedangkan yang tidak sesuai keinginan adalah adalah alat edukasi yang sangat beragam mulai dari elektronik dan nonelektronik. Lho, kok sama saja? Memang bisa dikatakan sama meski wujudnya mungkin beda. Contoh, perhatikan iklan-iklan terdesain rapi yang memborbardir perhatian anak-anak mulai dari audio hingga visual.
Semua keberadaan perangkat elektronik dan nonelektronik membuat orang tua lebih sulit mengatakan ‘tidak’ kepada anak yang persisten dibandingkan dengan ‘ya’. Padahal kebiasaan mengiyakan keinginan anak-anak mengajarkan mereka hal-hal berikut (halaman 36):
- “Hibur aku.”
- “Semuanya harus menyenangkan.”
- “Hadiah tanpa perlu bekerja.”
- “Gratifikasi instan.”
Anak-anak yang terbiasa dipenuhi keinginannya – anak Ya – tidak bisa membangun kemampuan-kemampuan agar sukses dalam hubungan dan pekerjaan. Kompetensi dan kemampuan membina hubungan membutuhkan disiplin diri, dan hanya dapat diraih melalui jalan yang tidak selalu menyenangkan, serta memerlukan kerja keras sekaligus persistensi.
Jika anak kita tidak bisa menunda kenikmatan, menunda dorongan untuk segera meraih kesenangan, mengatasi hal-hal yang menciutkan hati, meletakkan orang lain sejajar dengan mereka, dan mengelola emosi, mereka justru mengurangi kemungkinan menciptakan hidup yang bahagia dan produktif dalam jangka panjang untuk hidup mereka.
Efek penolakan terhadap otak anak
Saat kita membaca berbagai riset dan studi mengenai perkembangan otak manusia, masa-masa keemasan ada pada masa anak-anak. Masa anak-anak adalah jendela kesempatan dan jendela sensitivitas untuk mendidik anak. Ringkasnya, pengalaman yang dirasakan anak-anak pada masa emas perkembangan otak memiliki efek yang jauh lebih signifikan dibandingkan dengan masa lainnya dalam membangun kemampuan kognitif, disiplin diri, keterampilan, kesabaran, keuletan, ketekunan, dan kemurahan hati (halaman 45).
Panca indera anak-anak berkembang sangat pesat pada masa-masa emas dan menjadi kewajiban bagi kita, orang tua , untuk memberi berbagai rangsangan terhadap panca indera tersebut. Mulai dari membacakan cerita pengantar tidur bahkan saat mereka sama sekali belum memahami artinya, menyentuh berbagai flora dan fauna, jalan-jalan sekitar rumah, dan masih banyak lagi.
Maka, memberikan penolakan terhadap keinginan anak-anak, misalnya menolak keinginan mendominasi mainan, menolak keinginan untuk merundung anak-anak lainnya, hingga menolak keinginan untuk membeli manisan adalah contoh-contoh dari pendidikan anak.
Penolakan tidak berlaku selamanya
Saya pernah membaca hasil riset Paul Bloom (2010), profesor psikologi di Infant Cognition Center, Universitas Yale, yang menyatakan bahwa bayi berusia enam bulan sudah mampu membedakan tindakan baik dan jelek secara sangat sederhana.
Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa anak-anak memang perlu merasakan penolakan dan mendengar kata ‘tidak’ bahkan sejak mereka masih bayi. Tentu saja dengan penyampaian sederhana dan sesuai dengan pemahaman anak-anak berbasis usia.
Lagipula, penolakan tidak melulu berlaku selamanya. Sebagai contoh, seorang anak meminta manisan dan orang tua menolaknya sebelum si anak membantu membersihkan rumah, misal dengan menyapu kamarnya sendiri. Setelah si anak menyapu kamarnya, meski belum rapi dan terlihat amburadul, barulah kita memberikan manisan. Oiya, anak saya ternyata sudah bisa menyapu sejak usianya 14 bulan lho.
Catatan penutup. Thomas Friedman menyatakan bahwa dunia sudah menjadi datar (bukan bumi datar ya). Anak-anak generasi modern memiliki tantangan berbeda dengan pendahulunya, antara lain harus bersaing dengan teman-temannya dari seluruh dunia di era kemudahan mobilitas dan komunikasi.
Anak-anak yang sukses adalah anak-anak yang kompeten dan berpendidikan tinggi. Mereka harus bisa bekerja keras, menunda kenikmatan, membuat pengorbanan, bekerja sama dengan pihak lain, mampu berkompromi, dan ulet dalam mengarungi berbagai cobaan. Anak-anak dengan intelektual, emosi, dan moral yang lembek akan mengalami banyak kesulitan saat dewasa (halaman 277).
Anak-anak perlu rutin melatih dan memperkuat otot-otot psikologi dan ‘Tidak’ adalah bentuk pelatihan yang menguatkan otot-otot tersebut.
Sebagai penutup, jika Anda ingin mengetahui lebih detail mengenai implementasi mengucapkan ‘Tidak’ dan menolak kemauan anak, sebaiknya Anda membaca buku NO: Why Kids – of All Ages – Need to Hear It and Why Parents Can Say It. Bagaimana pun, ulasan saya hanya bisa menyampaikan permukaan pengetahuan yang ada dalam buku ini.
Buku yang bagus tentang anak. Yang akan atau sudah punya anak boleh baca buku ini.
Ulasan agan sangat memancing rasa ingin tau tentang mendidik anak dan tentang buku tersebut. Lanjut gan.
Wow bukunya bagus, sepertinya kudu beli nih. Yup betul, keinginan anak tidak harus selalu di “iya” kan. Selalu meg-iya-kan justru akan berakibat menjadikan si anak terlalu manja (menurut saya)
Saya paham. Tapi menurut saya lebih tepatnya bukan Penolakan, tapi penundaan. Secara esensi mungkin sama. Tapi, penggunaan kata Penolakan bisa menjadi salah tafsir. Karena kadang orang hanya membagikan quote saja, tidak lengkap.
Intelektual yang tinggi ternyata sangat berpengaruh untuk perkembangan anak,,,
Makasih gan infonya
Intelektual seorang anak ternyata sangat berpengaruh untuk perkembangan anak.
Makasih kang infonya
Hal ini sama halnya dengan pendidikan Islam punya, memang ada saatnya penolakan dibutuhkan sebagai bentuk ketegasan.
walaupun byk org tua yg berintelektual namun tidak bersikap intelek ketika mengasuh anaknya