Mental juara, atau biasa disebut juga mental pemenang, tidak muncul begitu saja. Bahkan bisa jadi mental pecundang lebih mudah muncul dalam diri kita.
Pak B, sebut saja beliau demikian, adalah seorang pemborong bangunan dan infrastruktur ternama di daerah. Dengan kekayaannya, beliau sudah membangun sebuah masjid di lingkungan tempat tinggalnya. Rumahnya pun terlihat mentereng dengan mobil-mobil menengah atas yang berjejer di garasi yang pintunya selalu terbuka setiap saya menghadiri arisan di rumah Pak B.
Saya mengenal Pak B sudah cukup lama. Sejauh ingatan saya, saya sudah mengenal beliau sejak lulus SD sekitar 22 tahun yang lalu. Waktu saya mengenal Pak B pertama kali, rumah beliau jauh lebih sederhana dibandingkan dengan sekarang. Kekayaannya juga belum mencukupi untuk membangun masjid dengan kualitas premium. Namun seiring waktu, Pak B menunjukkan tekadnya untuk menapaki kelas sosial dan memupuk kemakmuran finansial.
Secara kasat mata, jelas Pak B berhasil mencapai strata atas kelas sosial dan finansial di daerahnya. Semua pencapaian tersebut diraih beliau tanpa gelar sarjana dan tanpa warisan orang tua.
Pak B memiliki latar belakang pendidikan lulusan Sekolah Dasar (SD) dan memiliki masa lalu sebagai seorang kuli bangunan. Ya, seorang lulusan SD dan mantan kuli bangunan berhasil merangsek ke papan atas kelas sosial dan finansial. Inilah sebabnya saya menjadikan kisah Pak B sebagai pembuka kisah mental pemenang dan mental pecundang.
Pak B jelas menunjukkan ciri khas seseorang dengan karakter juara. Anak beliau yang saya kenal dengan baik pun sangat bangga dengan Bapaknya dan tidak malu mengakui bahwa Bapaknya hanya lulusan SD dan mantan kuli bangunan.
Mental Juara: Obsesi, Cerdas, Kontrol Internal, Komitmen
Apa saja ciri-ciri dan karakter yang membuat Pak B bisa meraih posisinya sekarang? Saya melihat hal-hal klise yang sebenarnya sudah ada dalam berbagai buku psikologi populer dan seminar-seminar motivasi.
Pertama, Pak B memiliki obsesi mengenai masa depan yang lebih baik. Saya melihat Pak B tidak sekedar berkhayal, berharap durian runtuh, dan berharap belas kasihan orang dengan mencitrakan dirinya sebagai seseorang yang patut dikasihani.
Semua hal tersebut terpancar dari cara bicaranya yang keras cenderung kasar (yang sekaligus menunjukkan latar belakangnya) dan sikap yang berorientasi tindakan, bukan sekedar wacana atau omong kosong.
Obsesi mengenai masa depan yang lebih baik sebagai salah satu mental pemenang sebenarnya sangat klise, banyak diketahui orang, namun sangat sedikit yang mau mewujudkan ke dalam tindakan sehari-hari.
Kedua, Pak B memiliki kecerdasan mental pemenang. Ciri-ciri pemenang biasanya memiliki kepandaian mengatur finansial dan bersosialiasi. Saya melihat dua diri tersebut dimiliki Pak B. Terlepas dari kekayaannya yang sudah di atas rata-rata, Pak B masih sangat perhitungan, perhatian terhadap pengeluaran, dan sikap tersebut diturunkan ke anaknya. Pak B juga terlihat mudah bersosialisasi dengan orang-orang dari berbagai kelas dan latar belakang.
Kecerdasan, antara lain dalam bentuk kecerdasan finansial dan kecerdasan bersosialisasi, sebagai salah satu mental pemenang sebenarnya sangat klise, banyak diketahui orang, namun sangat sedikit yang mau mewujudkan ke dalam tindakan sehari-hari.
Ketiga, Pak B memiliki kontrol internal yang baik. Sepanjang interaksi saya dengan beliau, saya sangat jarang mendengar Pak B mengeluh. Jikalau dia mengeluh, dia memilih untuk menghilangkannya dengan menyibukkan diri dalam pekerjaan dan tidak mengumbar ke hadapan publik.
Pak B pun menunjukkan dirinya sebagai seseorang yang siap menunda kenyamanan untuk meraih hasil lebih baik di masa depan. Saya melihat Pak B sebagai seseorang yang percaya bahwa pilihan masa depan yang diinginkan ada di tangannya sendiri, bukan orang lain.
Kontrol internal sebagai salah satu mental pemenang sebenarnya sangat klise, banyak diketahui orang, namun sangat sedikit yang mau mewujudkan ke dalam tindakan sehari-hari.
Keempat, Pak B sangat berkomitmen untuk mencapai tujuan. Salah satu sikap yang menunjukkan komitmen tersebut adalah salah satu kisah beliau yang belum berhasil mencapai tujuannya hingga berkali-kali. Bahkan dia mengakui hampir putus asa dan sempat menganggap bahwa tujuan tersebut mungkin memang tidak dapat dia capai.
Namun, Pak B memilih mengabaikan sikap putus asa dan berjuang mencapai tujuan dengan berbagai cara dan sumber daya yang dia miliki. Akhirnya Pak B berhasil mencapai tujuan meski sempat molor beberapa tahun.
Komitmen mencapai tujuan sebagai salah satu mental pemenang sebenarnya sangat klise, banyak diketahui orang, namun sangat sedikit yang mau mewujudkan ke dalam tindakan sehari-hari.
Mental Pecundang yang Mungkin Kita Lakukan dalam Keseharian
Menunjukkan atau mengetahui ciri-ciri pecundang sebenarnya gampang. Perhatikan saja sikap-sikap berlawanan yang dijauhi para individu dengan mental pemenang. Sebagai contoh, saya melihat sebagian dari sikap-sikap khas pecundang berikut dalam interaksi sosial saya:
- Rajin mengeluh. Sikap mengeluh ini bisa tampil dalam banyak hal, mulai dari sulitnya hidup di kampung, sulit mencari pekerjaan, mengeluh inflasi, sulit cari jodoh, putus dengan pacar, dan masih banyak lagi. Lebih parah lagi, semua keluhan tersebut rajin diumbar ke publik.
Maka, bukannya rajin mencari solusi, para individu dengan mental pecundang malah rajin mengumbar keluhannya ke publik. Tindakan-tindakannya pun bukannya mencari solusi, tetapi malah mengerjakan hal lain yang membuat keluhannya awet dan bahkan makin parah.
- Rajin menyalahkan faktor eksternal. Bersikap reaktif, mengalami kesulitan mencari pekerjaan, namun tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan pasar dan menyalahkan orang-orang sekitar yang dianggap tidak mau membantu. Mengalami tekanan kenaikan harga sembako yang dianggap makin mencekik, namun tidak meningkatkan kecerdasan finansial dan tetap menyalahkan pemerintah meski sudah berganti pemimpin.
Secara realitas faktor eksternal memang berpengaruh. Namun besaran pengaruh tersebut kepada kita, kita sendiri yang menentukan. Adalah kedunguan jika sikap dan tindakan kita sehari-hari rutin dipengaruhi faktor eksternal seakan orang lain yang memegang kontrol pengendali kehidupan kita.
- Rajin mencari alasan negatif. Disarankan rajin menabung, malah beralasan pendapatan terbatas (sambil mengepulkan asap rokok). Disarankan semangat mencari kerja, malah beralasan ekonomi sulit (sambil rajin komentar sana-sini di medsos). Disarankan menciptakan pekerjaan, malah beralasan risiko tinggi (sambl menghujat para pengusaha papan atas).
- Pemalas. Waktu yang dimiliki setiap orang dalam sehari sama-sama 24 jam dan yang membedakan mental pemenang dan pecundang adalah bagaimana mereka memanfaatkan waktunya. Mental pecundang fokus menggunakan waktunya untuk hidup dalam delusi dan rajin berkhayal mengenai masa depan yang lebih baik, namun minim tindakan menuju tujuan tersebut.
Selalu mengeluh berada di papan bawah kelas, tapi jarang belajar. Rutin mengeluh mengenai orang-orang sekitar yang semakin mapan secara ekonomi, tapi tidak meningkatkan kecerdasan finansial.
- Mentalitas korban. Selain reaktif, ciri lain dari seseorang dengan mental pecundang adalah mentalitas korban. Rutin merasakan berbagai tekanan terhadap dirinya yang tentu saja menyatakan penyebabnya adalah faktor-faktor eksternal. Inilah contoh sakit mental yang jelas diidap para pecundang.
Mengeluh kalah bersaing dengan tetangga dan kemudian menuduh tetangga berbuat curang, dan bukan memperbaiki diri. Meratap dan menyalahkan orang tua bahwa makanan di rumah sangat kurang, padahal masih bisa makan tiga kali sehari. Mentalitas korban membuat pecundang memilih berkubang dalam ketidakbecusan mengurus diri sendiri, memilih menyalahkan pihak luar, dan mengabaikan introspeksi sekaligus perbaikan diri.
Kesimpulan
Menapaki kesuksesan yang diraih Pak B dan memiliki mental pemenang jelas sangat sulit, bahkan jika kita memiliki gelar pendidikan tinggi dan berasal dari keluarga menengah atas. Sementara memiliki mental pecundang terlihat sangat gampang dan kita bisa menemukan contoh-contohnya hanya dengan menggerakkan jari jemari.
Bagi saya, masa depan saya didesain oleh saya. Sayalah yang menentukan masa depan saya dan hal-hal tersebut dimulai dari sikap dan tindakan saya sehari-hari.
Iya betul, yang namanya mental juara ini memang harus dilatih sejak dini. Memang susah ya, tapi bukan berarti nggak bisa 🙂
Benar. Namun yang terkadang sering lupa adalah menyalahkan diri. Tapi aku lebih seneng dengan istilah Lihat Ke Dalam. Ini sangat kontra dalam pendidikan anak. Mereka (lembaga pendidikan) kadang ikut serta dalam peran pecundang anak didiknya. Misalnya, anak didiknya mengikuti sebuah lomba. Pihak lembaga pendidikan ini getol pingin anak didiknya. Itu wajar. Tapi terkadang mengajari anak untuk berbuat curang, meski dalam skala kecil.
Sebaiknya guru mengajarkan sebuah konsekuensi, menghargai proses dan menghargau diri sendiri. Menang atau kalah merupakan hal biasa.
Mental juara memang harus ditanamkan sejak dini tapi harus ditanamkan pula tentang kekalahan, supaya tidak terlalu sakit ketika kalah.
artikel ini bisa memberi saya suntikan semangat baru.. makasih mas admin
melatih jiwa kepemimpinan harus sejak dini, terbiasa lalu biasa