Otobiografi Mohammad Hatta: Untuk Negeriku 3 – Menuju Gerbang Kemerdekaan usai saya baca lebih dari seminggu lalu. Namun, saya baru berkesempatan menulis catatan ringkas mengenai jilid terakhir otobiografi tersebut hari ini. Kesan saya, Bung Hatta melalui tulisan-tulisannya sukses membuat saya membeli tulisan-tulisan Mohammad Hatta lainnya, yaitu Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926 – 1977).
Nah, kembali ke otobiografi Mohammad Hatta. Karena buku ini begitu penuh warna menjadi sebuah kesulitan bagi saya untuk memilih topik mana saja yang saya masukkan dalam Catatan Blogger Akhir Pekan. Akhirnya, berbasis pada penanda-penanda yang saya tulis di buku, saya memilih menulis mengenai tiga hal, yaitu intelektualitas Mohammad Hatta di mata Jepang, kisah di balik pembukaan UUD 1945, dan rongrongan internal pada masa-masa awal kemerdekaan.
Intelektualitas Mohammad Hatta di mata Jepang
Dalam hal intelektualitas, pemerintah militer Jepang di Indonesia terlihat sangat menghormati pandangan Bung Hatta. Hal ini terlihat sejak masa-masa awal Jepang mengambil alih pemerintahan dari tangan Belanda. Pada halaman 19, Bung Hatta menyampaikan negosiasi atas permintaan Jepang untuk menjadi pegawai pemerintah dan memilih menjadi Penasehat Pemerintah Militer.
Permintaan tersebut dipenuhi Jepang dan salah satu tugas awal Mohammad Hatta adalah memberi masukan mengenai pemeluk agama Islam di Indonesia. Yang menarik, seperti yang tersampaikan di halaman 27, Bung Hatta menyatakan bahwa soal agama adalah soal sangat sulit. Ada begitu banyak pendirian dan paling sedikit ada dua macam pendapat di Indonesia, yaitu Muhammadiyah yang dipandang modern Nahdlatul Ulama yang dipandang konservatif oleh Bung Hatta. Salah satu hal yang paling saya sukai dari pandangan Bung Hatta adalah kemampuannya membedakan ritual yang dilakukan dengan hati dan sikap hormat yang dilakukan sebagai formalitas.
Di waktu lain, saat Mohammad Hatta menjadi salah satu dari tiga delegasi Indonesia ke Jepang bersama-sama dengan Sukarno dan Kiai Mansur, Bung Hatta menjadi satu-satunya perwakilan Indonesia yang diposisikan sebagai intelektual untuk mempelajari Nippon Sheishin. Selama keberadaannya di Jepang, Bung Hatta menulis catatan penting mengenai pertemuannya dengan Tenno Heika.
Saat mereka bertemu, Tenno Heika menjabat tangan dan hal itu menggemparkan golongan Kempeitai di Indonesia karena tindakan tersebut dianggap sebagai bentuk penghormatan tinggi kepada tamu asing. Tindakan tersebut juga diartikan bahwa Jepang hanya menduduki Indonesia sementara dan akan memerdekakannya.
Pembukaan UUD 1945 digugat
Sebagaimana kita ketahui, pembukaan UUD 1945 hingga kini menjadi kontroversi karena revisi kalimat, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Mohammad Hatta membahas hal ini secara khusus dalam subbab berjudul ‘Pembukaan UUD 1945 digugat’ pada halaman 95. Namun, di dalam buku, saya sama sekali tidak menemukan catatan Bung Hatta mengenai proses perumusan Pembukaan Undang-Undang Dasar hingga masuknya kalimat tersebut. Dalam catatan Bung Hatta, golongan minoritas memandang hal tersebut sebagai diskriminasi dan jika dipaksakan untuk diresmikan, ada kemungkinan Indonesia terpecah saat baru lahir.
Bung Hatta pun memikirkan kemungkinan buruk dari kemungkinan perpecahan yang bisa semakin kronis, antara lain dengan politik divide et impera. Dalam tulisannya, Bung Hatta juga menyampaikan bahwa sempat terpikir olehnya perjuangan yang sudah dilakukan lebih dari 25 tahun melalui bui dan pembuangan untuk mencapai Indonesia merdeka, bersatu, dan tidak terbagi-bagi.
Untuk mengatasi masalah ini, Mohammad Hatta pada 18 Agustus 1945 segera mengumpulkan Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan dalam waktu kurang dari 15 menit, mereka bermufakat untuk mengganti kalimat yang menusuk hati kaum Kristen dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Masalah krusial dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 15 menit menunjukkan bahwa para pemimpin negeri benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.
Bagian paling menarik dari pengambilan keputusan ini adalah, Bung Hatta menganggap bahwa penghilangan kalimat ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ yang diganti dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ tidak menghilangkan semangat penerapan syariat Islam.
Tiap-tiap peraturan dalam kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam, dapat diajukan ke DPR dan jika disetujui, dapat mengikat umat Islam di Indonesia. Bung Hatta juga menganggap perlunya membuat UU berdasar Al Quran dan Hadis yang sesuai dengan masyarakat Islam di Indonesia. Jadi, tidak asal mengambil syariat Islam yang berlaku dahulu di negeri-negeri Arab dalam abad ke-8, ke-9, atau ke-10 yang pada waktu itu memang sesuai dengan keadaan masyarakat di sana.
Rongrongan internal masa kemerdekaan
Selain usaha-usaha yang dijalankan Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan Belanda, Mohammad Hatta juga mencatat rongrongan yang justru muncul dari sesama bangsa Indonesia. Dalam subbab ‘Penculikan Perdana Menteri’ halaman 132, Bung Hatta menceritakan penculikan Perdana Menteri Sjahrir dan beberapa menteri di Solo pada 27 Juni 1946. Bung Hatta lalu mendapatkan informasi bahwa golongan Tan Malaka rupanya mau mengadakan kudeta.
Selain urusan percobaan kudeta oleh Tan Malaka, ada juga kisah percobaan kudeta oleh Jenderal Soedarsono dengan nama coup d’etat Persatuan Perjuangan dengan menyalahgunakan nama Panglima Besar Sudirman. Penangkapan terhadap Jenderal Soedarsono pun dilaksanakan dan peristiwa itu terkenal dengan sebutan Peristiwa 3 Juli.
Penutup
Selain ketiga kisah di atas, buku ‘Menuju Gerbang Kemerdekaan’ menjadi sangat layak baca karena mengisahkan usaha-usaha diplomasi yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan, serta strategi dan taktik yang dilaksanakan. Hal ini sangat menarik karena menunjukkan bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan tidak melulu dengan bedil dan tombak. Ketajaman intelektualitas dan kelihaian diplomasi justru memiliki pengaruh, dalam pandangan saya berbasis tulisan Bung Hatta, yang jauh lebih krusial menjadikan Indonesia merdeka secara de facto dan de jure.
Ada hal lain yang sayangnya tidak saya temukan dalam buku ini. Bung Hatta sama sekali tidak mengisahkan pertemuan dengan istrinya, Rahmi, dan waktu perkawinan. Kata kunci ‘istriku’ baru saya temukan di halaman 190. Saya justru mengetahui bahwa Bung Hatta dapat bertemu dengan istrinya melalui perantaraan Sukarno justru melalui penelusuran informasi di internet. Yah, semoga saya dapat menemukan tulisan Bung Hatta mengenai pertemuan dengan istrinya. Itu pun jika Bung Hatta benar-benar pernah menulis kisah tersebut.
Ping-balik: Catatan Blogger Akhir Pekan: Otobiografi Bung Hatta | WebLog Andika Priyandana
kl sy blm bgtu mengenal bung hatta, yg saya tahu bapak koperasi indonesia.. untuk makna sila ketuhanan yg masa esa, sy juga punya pandangan lain.. bs di baca di web sy juga..
Siap. Terima kasih opininya :-). Saya cuma menulis apa yang disampaikan Bung Hatta dalam bukunya lho. Jadi bukan pandangan saya.
wah artikelnya keren nih gan 😀 ijin bookmar mau baca baca yg lain
Silahkan banget. Terima kasih Gan :-).
Kalo pahlawan pahlawan dulu ngeliat kondisi di indonesia sekarang pasti nangis darah… 😦
Banyak yang kontra sama kebijakan bung hatta. Namun kata mbah-mbah ane lebih enak jamannya pak harto. hehe
Terima kasih infonya, bermanfaat untuk indonesian tercinta dan menghargai jasa para pahlawan.