Catatan Blogger Akhir Pekan: Jalan Perjuangan Bung Hatta

Otobiografi Mohammad Hatta, Untuk Negeriku bagian dua dengan judul Berjuang dan Dibuang ternyata usai saya baca sebelum bulan Desember 2016 berakhir. Hahaha, agak melewati target ‘Satu Bulan Satu Buku’, namun tulisan Bung Hatta terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja atau baru dibaca lanjutannya bulan depan. Selain itu, seperti yang sudah saya akui di tulisan Otobiografi Bung Hatta, saya merasa jauh lebih dekat secara batin dengan sosok Bung Hatta sebagai pahlawan nasional daripada Bung Karno maupun pahlawan nasional lainnya.

Mohammad Hatta Untuk Negeriku 2: Berjuang dan Dibuang

Mohammad Hatta Untuk Negeriku 2: Berjuang dan Dibuang

Apalagi, Untuk Negeriku adalah tulisan karya Mohammad Hatta dan bukan hasil sudut pandang atau opini orang kedua, ketiga, dst. Tentu saja derau yang ada dalam proses komunikasi kepada masyarakat tereduksi signifikan karena ditulis oleh sumber primer. Hal lain yang juga sangat saya sukai saat melakukan analisis dan riset.

Sebagai lanjutan dari Untuk Negeriku 1: Bukittinggi – Rotterdam Lewat Betawi, Mohammad Hatta dalam  Untuk Negeriku 2: Berjuang dan Dibuang semakin menegaskan pikiran, perasaan, pandangan, dan gagasannya. Khusus untuk tulisan kali ini, saya berfokus pada dua hal saja, yaitu langkah politik Bung Hatta dan perseteruannya dengan Soekarno.

Langkah politik Mohammad Hatta

Menjelang akhir masa studi Mohammad Hatta di Belanda, sekitar tahun 1931, dari jarak jauh beliau ikut serta mendirikan partai bernama Pendidikan Nasional Indonesia atau biasa disebut PNI baru yang mewarisi PNI (Partai Nasional Indonesia) yang dibubarkan pemimpinnya sendiri.

Sekembalinya ke Indonesia pada semester dua 1932, sebagai Pimpinan Umum Pendidikan Nasional Indonesia, Mohammad Hatta sempat menemui Sukarno untuk pertama kalinya di Bandung untuk membicarakan masalah persatuan Partai Indonesia (Partindo) dan Partai Pendidikan Nasional Indonesia (PNI baru). Namun, meski Bung Hatta sudah bersua dengan Bung Karno, agenda tersebut tidak terlaksana karena suatu hal. Apa sebabnya, silahkan baca Otobiografi Mohammad Hatta: Untuk Negeriku 2.

Pasca tulisan Bung Hatta mengenai pertemuan pertamanya dengan Bung Karno, saya menemukan hal menarik. Beliau bisa dikatakan tidak lagi menyematkan kata ‘partai’ kepada Pendidikan Nasional Indonesia. Hal tersebut terlihat sudah disampaikan secara implisit sejak subbab ‘Dasar Pendidikan Nasional’.

“Organisasi kita, kaum Daulat Rakyat, bernama Pendidikan Nasional Indonesia. Pendidikan! Bukan atau belum lagi Partai. Bukan karena khilaf atau curiga diambil nama “Pendidikan”, melainkan dengan sengaja. Orang yang kurang paham menertawakan perkumpulan kita sebagai “sekolah-sekolahan”.”

Mohammad Hatta jelas sangat mengutamakan dan mengedepankan pendidikan, yang disampaikan dengan lantang antara lain melalui Majalah Daulat Ra’jat yang menjadi corong Pendidikan Nasional Indonesia. Bung Hatta menulis bahwa sekolah untuk membentuk budi dan pekerja, serta memperkuat iman adalah yang paling perlu bagi pergerakan.

Mohammad Hatta sejak awal meletakkan sifat perkumpulan sebagai pendidikan. Politik di negeri jajahan terutama berarti pendidikan. Politik mengenai pengertian biasa tidak dapat dijalankan kalau rakyat tidak memiliki keinsafan dan pengertian. Karenanya didikan harus jalan dahulu dan didikan tidak akan sempurna tanpa asas yang terang.

Maka atas prinsip tersebut, bagi yang ingin diterima menjadi anggota Pendidikan Nasional Indonesia harus lulus ujian sejarah umum Indonesia, pertumbuhan imperialisme, perkembangan kapitalisme, kolonialisme, kedaulatan rakyat. Semua bahan untuk ujian tersebut harus bersumber dari literatur valid, antara lain Indonesia Menggugat karya Sukarno dan Indonesia Vrij karya Mohammad Hatta.

Bung Hatta juga menyatakan bahwa agitasi bukan hal utama dan menolak mendidik kader Pendidikan Nasional Indonesia dengan agitasi. Bisa dikatakan perbedaan prinsip, antara lain karena faktor agitasi yang kurang disukai Bung Hatta dalam membesarkan organisasi dan mendidik kader menyebabkan Partai Indonesia dan Pendidikan Nasional Indonesia tidak mungkin bersatu. Hal ini disampaikan sendiri oleh Mohammad Hatta pada halaman 29.

Perseteruan dengan Sukarno

Bung Hatta membuat subbab khusus berjudul ‘Polemik dengan Sukarno’ pada otobiografinya. Melalui tulisannya, saya jadi mengetahui bahwa meski mereka berdua sama-sama nasionalis, Bung Karno dan Bung Hatta memiliki perbedaan sudut pandang dalam merintis jalan perjuangan dan berpolitik. Perbedaan prinsip tersebut cukup keras dan salah satu akibatnya seperti ditulis Bung Hatta sendiri, “Kami kaum Pendidikan Nasional Indonesia sudah mempunyai pendapat bahwa menyatukan kedua gerakan itu tidak mungkin.” Kedua gerakan di sini merujuk ke Pendidikan Nasional Indonesia dan Partai Indonesia.

Setelah perbedaan pendapat dalam prinsip gerakan nasional, Mohammad Hatta dan Soekarno kembali berseteru dalam prinsip menjalankan non-cooperation. Perseteruan ini diwarnai antara lain melalui adu tulisan dalam media-media pada masa tersebut. Apa yang mengawali adu tulisan ini? Silahkan  baca Otobiografi Mohammad Hatta: Untuk Negeriku 2.

Hal-hal yang ingin saya sampaikan adalah, Bung Hatta terlihat menumpahkan kekesalannya dan rasa tidak habis pikir dengan perilaku serta perbuatan Bung Karno, antara lain dengan banyaknya penggunaan tanda seru dan penggunaan huruf kapital sebagai berikut NON-COOPERATION-Sukarno. Penggunaan huruf kapital seperti itu sama sekali tidak saya temukan di luar bab yang tidak membahas polemik dengan Sukarno.

Mohammad Hatta juga menyatakan Sukarno prinsipil dalam teori, tetapi tidak prinsipil dalam praktik. Non-cooperation bagi Sukarno sudah menjadi dogma, agama-politik, dan tidak lagi asas perjuangan. Bisa jadi secara tampak luar adalah radikal dan revolusioner, tetapi batinnya boleh menjadi reaksioner.

Perseteruan antarindividu ini pun menyeret Partindo dan PNI dan Bung Hatta kembali menulis ketidaksesuaian teori dan praktik yang dijalankan Sukarno dalam wujud Partindo. Mohammad Hatta memberi contoh bahwa ada pemimpin-pemimpin Partindo yang menjalankan pekerjaan advocaat yang mengharuskan sumpah setia kepada Gouverneur General atau Koningin, dan masih mau bekerja sama dengan hakim-hakim kaum sana, selagi anggota-anggotanya masih dibiarkan memburuh atau “dijadikan perkakas” oleh kaum sana. Hal ini tertulis pada halaman 59.

Mohammad Hatta juga menyayangkan karena Sukarno dan Partindo menghabiskan waktu untuk hal yang tidak menjadi prioritas, yaitu berpolemik dengan dirinya dan PNI. Bagi Bung Hatta, kejadian ini sebenarnya menguntungkan PNI dan para anggotanya karena anggota Pendidikan Nasional Indonesia diwajibkan membaca tulisan dan kritik-kritik yang dialamatkan ke mereka. Anggota PNI juga diwajibkan mempelajari hal-hal yang bertentangan dengan paham dan prinsip organisasi. Di sini saya melihat bahwa Mohammad Hatta benar-benar mewujudkan nilai-nilai, cara berpikir, asas hidup, dan prinsip politik ke dalam Pendidikan Nasional Indonesia.

Sedangkan di sisi Sukarno dan PNI dalam sudut pandang Mohammad Hatta, polemik ini merugikan karena anggota-anggotanya dilarang membaca uraian, tulisan, dan pendapat yang bertentangan atau berseberangan dengan pendapat para pemimpin Partindo. Dalam pertemuan-pertemuan Partindo pun uraian Sukarno lebih banyak bersifat agitasi. Secara implisit pula Bung Hatta menyampaikan bahwa Partindo tidak membuat kaderisasi yang baik sehingga dapat bubar dengan mudah saat para pemimpin yang lama menjadi korban.

Khusus untuk bahasan perseteruan dengan Sukarno dan Partindo, saya belum membaca sudut pandang Sukarno dalam topik yang sama. Karenanya, uraian Bung Hatta dalam otak saya tentu saja masih satu sudut pandang. Namun jelas Bung Hatta meletakkan perhatian mendalam mengenai polemik ini hingga lebih dari 20 halaman dalam satu buku.

Kisah pembuangan

Dalam buku Untuk Negeriku, Bung Hatta juga menulis mengenai masa-masa dia dibuang ke Boven Digoel, kemudian ke Banda Neira, dan akhirnya ke Sukabumi. Semasa dibuang pun Bung Hatta tetap menjalankan prinsip hidup berupa pendidikan. Ya, meski dibuang, Bung Hatta tetap memberikan pendidikan baik kepada anak-anak sesama tokoh yang dibuang dan anak-anak saudaranya yang dikirim khusus ke Banda Neira untuk belajar darinya.

Kalau Anda ingin tahu kisahnya lebih detail, beli saja dan baca Otobiografi Mohammad Hatta: Untuk Negeriku.

Depok, 31 Desember 2016

Andika Priyandana

Iklan

10 thoughts on “Catatan Blogger Akhir Pekan: Jalan Perjuangan Bung Hatta

  1. Ping-balik: Catatan Blogger Akhir Pekan: Otobiografi Bung Hatta | WebLog Andika Priyandana

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s