Kala konteks bagaikan tuhan dan konten diperlakukan bagai paria, sebuah potret karakter unik konsumen Indonesia.
Dalam sebuah diskusi, seorang bule pembicara topik bisnis dan marketing yang terbiasa mengajar di negara-negara maju Eropa merasa heran dengan artikel-artikel daring Indonesia. Dia bertanya, “Kenapa artikel-artikel daring di Indonesia sangat dominan dengan topik politik, gosip, dan berbau seks? Bahasannya pun cenderung di permukaan, tidak mendalam, dan lebih didominasi konten visual. Kenapa tidak mencoba mendalami topik yang disampaikan, buat lebih variatif, dan kalau perlu tidak menyertakan gambar karena lebih boros data?”
Dari pertanyaan tersebut, sudah dapat diduga bahwa si bule belum mengetahui karakter konsumen Indonesia yang lebih mementingkan sampul, judul, atau tampilan eksternal dibandingkan konten.
Bukti dan studi bahwa konsumen Indonesia lebih mementingkan sampul atau judul dibandingkan konten beterbaran di mana-mana. Data Badan Pusat Statistik (2006) menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan membaca, antara lain membaca koran (23.5%), sebagai sumber informasi dan lebih mengutamakan menonton televisi (85.9%) dan mendengarkan radio (40.3%).
Temuan Organisation for Economic Cooperation and Development (2009) menyampaikan bahwa budaya baca masyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.
Hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (2011) menemukan bahwa indeks membaca rakyat Indonesia hanya 0.001 yang berarti dari seribu penduduk, hanya satu orang yang memiliki minat baca tinggi.
Data Ikatan Penerbit Indonesia (2014) menyatakan bahwa jumlah buku terbit di Indonesia hanya sekitar 30.000 judul berbanding 240 juta penduduk Indonesia dengan rasio satu buku dibaca empat hingga lima orang.
Kembali ke kebiasaan penduduk Indonesia menonton televisi, temuan Nielsen (2014) yang senada dengan temuan BPS menyatakan bahwa televisi menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%) di kota-kota baik di Jawa dan luar Jawa.
Padahal banyak studi menunjukkan bahwa menonton televisi menyebabkan gelombang otak pada kondisi alfa karena dominasi fungsi indra visual dan perasaan. Kondisi alfa biasa berasosiasi dengan kondisi meditasi. Dengan kata lain, otak manusia cenderung mengistirahatkan dirinya saat menonton televisi (Applied Neuro Technology, 2012).
Temuan kebiasaan tinggi masyarakat Indonesia menonton televisi menunjukkan bangsa Indonesia bukan bangsa pembaca, memiliki tingkat pengetahuan lebih rendah secara umum dibandingkan konsumen-konsumen negara maju, dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
Masyarakat kita tidak sekedar mengakses informasi lebih sedikit, mereka juga tidak mencerna dan mengolah informasi lebih dalam. Hal ini antara lain disebabkan sistem pendidikan di keluarga dan di sekolah yang belum biasa mengajarkan cara berpikir kritis (Handi Irawan, 2008).
Berdasarkan data yang ada, bukan hal mengejutkan jika kualitas program televisi kita masih rendah, kualitas berita secara umum cenderung dangkal, dan bahkan buku-buku yang beredar lebih dominan buku yang ringan dibaca walau tidak menjadikan seseorang lebih pandai dan lebih berpengetahuan.
Dapat dipahami jika masyarakat Indonesia mudah tersulut amarah hanya karena gosip dan intens berkasak-kusuk di jejaring sosial hanya dengan membaca judul artikel tanpa membaca isi. Kenyataannya masyarakat Indonesia jauh lebih mengutamakan sampul daripada isi.
Strategi marketing yang perlu dilakukan
Paparan data dan uraian yang sudah disampaikan memiliki dampak signifikan terhadap para marketer Indonesia. Pertama, para marketer Indonesia perlu memahami bahwa kekuatan persepsi sangat dominan di benak masyarakat Indonesia. Hasil survei Frontier Consulting Group terhadap ratusan merek selama lebih dari 10 tahun menunjukkan hal ini.
Kesenjangan antara kualitas aktual dan kualitas persepsi bisa lebih lebar dibandingkan dengan negara maju, misalnya Amerika Serikat.
Konsumen Indonesia secara umum memiliki pengetahuan produk lebih rendah dibandingkan dengan konsumen negara maju. Karenanya, dapat dimafhumi jika produk yang biasa saja namun dipersiapkan dengan pencitraan yang baik dapat menjadi produk yang bagus.
Sebaliknya, jika produk dengan kualitas baik namun disampaikan dengan konteks yang tidak tepat, belum tentu konsumen Indonesia mempersepsikan produk tersebut sebagai produk berkualitas.
Sebagai contoh, coba perhatikan pasar farmasi. Banyak obat dengan kandungan sama persis karena memang berisi komponen generik. Namun dengan komunikasi berbeda, meski kandungannya persis sama, bisa menimbulkan persepsi berbeda. Sekitar 99% konsumen kita tidak mengerti kandungan obat bebas, bahkan obat sakit kepala seperti paracetamol dan acetaminophen.
Dalam pasar makanan dan minuman, termasuk susu formula, hal sama juga terjadi. Mayoritas konsumen Indonesia tidak memerhatikan kandungan gizi suatu makanan sehingga tidak mengherankan banyak produsen tega mencampur formalin, plastik, dan air kotor ke dalam makanan dan minuman. Inilah penyebab cara pemasaran produk makanan dan minuman di negara maju sangat berbeda dengan Indonesia.
Di negara maju, para produsen menonjolkan kandungan bahan untuk mengedukasi pasar. Sedangkan di Indonesia, para produsen sama-sama menonjolkan kandungan bahan namun dengan tujuan membentuk citra. Intinya kandungannya berkesan berbeda, memiliki nama berbau ilmiah, dan konsumen tidak perlu memahami maksud dari bahan yang dikomunikasikan.
Kedua, pengaruh komunikasi dalam menciptakan tren, gaya hidup, dan ekuitas merek relatif kuat di Indonesia. Sebagai contoh, seseorang dapat menjadi selebriti secara instan, misal dalam waktu satu tahun dan bahkan kurang, sepanjang dia rutin tampil dalam acara berating tinggi. Popularitas tersebut dapat diraih meski individu tersebut minim kualitas pribadi, antara lain dari sisi pendidikan dan kapasitas intelektual.
Maka, saat berkomunikasi dengan konsumen Indonesia secara umum, sampaikan pesan sederhana. Memberikan pesan kompleks menyulitkan konsumen Indonesia untuk mengolah informasi. Utamakan juga konten-konten visual disertai pesan emosi yang kuat karena konsumen Indonesia jarang membaca.
Jika ada produsen mencoba menyampaikan pesan kompleks, sebaiknya pastikan bahwa segmen yang dituju memang mau dan mampu mencerna pesan kompleks tersebut. Miliki keyakinan bahwa konsumen yang dipilih terbiasa membaca dan memiliki rasa keingintahuan yang tinggi terhadap informasi dan ilmu pengetahuan secara mendalam.
Jika Anda mencoba memaksakan pesan kompleks terhadap konsumen Indonesia secara umum, jangan heran jika Anda berkomentar, “Sudah banyak upaya komunikasi yang kami lakukan, ternyata konsumen masih tidak memahami dan bahkan tidak sadar produk kami.”
Ketiga, ciptakan banyak nilai-nilai yang bersifat emosional. Gengsi adalah kebutuhan emosional paling laku untuk masyarakat Indonesia, khususnya segmentasi premium. Membeli ponsel 10 juta rupiah, mengendarai mobil satu miliar rupiah, dan membeli kudapan ringan 20 ribu rupiah pun dilakukan demi meraih perhatian banyak orang.
Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan konteks jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan kualitas riil. Sementara masyarakat menengah bawah Indonesia membutuhkan nilai-nilai emosional seperti perasaan dihargai, dianggap sebagai pahlawan, dan diterima oleh kelompoknya.
Keempat, sentuhan manusia masih menjadi hal krusial bagi konsumen Indonesia. Karenanya, pembicaraan melalui kontak telepon dengan manusia betulan masih menjadi primadona konsumen Indonesia. Berhubungan secara langsung dengan petugas pelayanan pelanggan atau staf perusahaan lebih memberikan rasa percaya bagi konsumen. Konsumen Indonesia cenderung tidak puas jika dilayani mesin.
Karakter inilah penyebab terhambatnya pertumbuhan contact center di Indonesia. Selain contact center, perdagangan daring turut terkena imbas pertumbuhan lambat. Konsumen Indonesia mengutamakan tampilan eksternal dalam berhubungan dengan penyedia jasa dan tidak sekedar hasil akhir.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Agustus 2016
Mantap artikelnya gan..
Terima kasih Bos.
“Padahal banyak studi menunjukkan bahwa menonton televisi menyebabkan gelombang otak pada kondisi alfa karena dominasi fungsi indra visual dan perasaan. Kondisi alfa biasa berasosiasi dengan kondisi meditasi. Dengan kata lain, otak manusia cenderung mengistirahatkan dirinya saat menonton televisi (Applied Neuro Technology, 2012).”… wah mungkin dulu nenek moyang rakyat indonesia itu turunan pertapa
Hahaha, bisa aja Bos. Pastinya dulu tapanya ngga di depan TV 🙂
Makasih kang infonya i.allah bermanfaat
sangat ironi kalau seperti itu perbandingan antara jumlh pnddk dengn jumlah minat baca
kemungkinan buku akan punH dlm bbrp dekade