Catatan Blogger Akhir Pekan: Kelas Sosial dan Pergaulan

Kegaduhan media sosial dengan tema agama dan politik memutuskan saya mencoba ‘melarikan diri’ dari keriuhan tersebut dengan membuat ‘Catatan Blogger Akhir Pekan: Kelas Sosial dan Pergaulan’.

Latar belakang saya membuat tulisan ini mendasarkan pada kenyataan berbasis data mengenai betapa jelasnya polarisasi yang terjadi di dalam masyarakat kita, khususnya di ruang media sosial. Karena perbedaan, antara lain pandangan politik dan perbedaan pelaksanaan fikih menyebabkan putusnya hubungan pertemanan, persahabatan, bahkan hubungan darah.

Baik dari lingkaran dalam hingga lingkaran luar pergaulan sosial saya, sikap-sikap memutuskan silaturahmi mulai dari level media sosial seperti ‘unfriend’, umpatan-umpatan, hingga perkelahian di dunia nyata benar-benar terjadi.

Apakah saya terlibat dalam sikap memutuskan silaturahmi? Saya hanya berani mengatakan ‘belum’ atau bisa jadi, saya sudah melakukannya tanpa saya sadari. Mungkin terjadi karena saya sedang dibalut amarah, dengki, dan sikap negatif lainnya.

Saat saya mencoba menelusuri akar masalah polarisasi dan tindakan-tindakan turunannya ke belakang, dengan segala keterbatasan pengetahuan, saya melihat bahwa bangsa kita, bangsa Indonesia masih lemah, antara lain dalam hal literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah.

PISA dan PIAAC

Basis argumen saya bahwa bangsa Indonesia masih lemah, antara lain dalam hal literasi, numerasi, dan kemampuan pemecahan masalah, adalah hasil tes PISA (Programme for International Students Assessment) yang mengukur kompetensi siswa usia 15 tahun yang bersekolah dan PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies) yang mengukur tingkat kecakapan orang dewasa. Baik PISA dan PIAAC adalah keluaran Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Supaya diketahui bahwa di luar negeri, hasil PISA Indonesia sudah banyak dikutip dengan nada sinisme bahkan sarkasme. Salah satu contoh sarkas tersebut adalah tulisan Pisani (2013) yang menyatakan bahwa siswa Indonesia ‘bodoh, tetapi bahagia’ dan basis tulisan Pisani antara lain dari hasil PISA Indonesia (2012) yang menempatkan Indonesia di urutan 60 dari 64 negara dalam survei membaca, dan posisi juru kunci dalam matematika serta sains.

Senada PISA, PIAAC Indonesia juga menunjukkan hasil miris. Bangsa kita terpuruk pada peringkat terbawah di hampir semua jenis kompetensi yang dibutuhkan orang dewasa untuk bekerja dan berkarya dalam masyarakat.

Sebagai contoh, lebih dari separuh responden Indonesia mendapatkan skor kurang dari level 1 (kategori pencapaian terendah) dalam hal literasi di semua kategori umur (16 – 24 tahun s.d. 55 – 65 tahun) dan di semua tingkat pendidikan (SMP ke bawah sampai Perguruan Tinggi). Arti data ini adalah bangsa Indonesia memiliki rasio orang dewasa dengan kemampuan membaca terburuk dari 34 negara OECD dan mitra OECD yang disurvei pada putaran 2016.

Berdasarkan definisi OECD, maksud level <1 adalah hanya mampu membaca teks singkat tentang topik yang sudah akrab untuk menemukan satu bagian informasi spesifik. Padahal bagi saya, ini tidak sulit karena untuk menyelesaikan tugas tersebut hanya diperlukan pengetahuan kosakata dasar dan tidak perlu memahami struktur alinea dan kalimat.

Patut menjadi catatan bahwa survei PIAAC ini dilakukan hanya di Jakarta yang notabene adalah ibukota negara yang penduduknya memiliki tingkat Indeks Pembangunan Manusia mencapai 78,99, di atas rata-rata nasional 69,55 (BPS, 2016). Bagaimana hasilnya jika survei PIAAC juga dilakukan di kota-kota lain dengan fasilitas pendidikan, kecukupan gizi, informasi, dan kesehatan yang lebih buruk dari Jakarta?

Yang membuat data tersebut semakin memiriskan hati, temuan serupa juga ditunjukkan data UNESCO, bahkan BPS! Jelas bahwa pembangunan manusia Indonesia adalah pekerjaan mahasulit dan tidak bisa dilakukan hanya oleh Pemerintah Indonesia, tetapi setiap yang merasa menjadi rakyat Indonesia harus ikut terlibat aktif mengurai dan menuntaskan masalah ini.

Maka, saya tidak heran dan sangat memahami jika polarisasi mudah terjadi dan berkepanjangan. Hasutan, berita palsu, dan ujaran kebencian dengan mudah merambat ke segenap segmen-segmen masyarakat Indonesia.  Maka putusnya hubungan silaturahmi pun menjadi salah satu akibat dari kelemahan-kelemahan bangsa kita.

Kelas sosial, pergaulan, dan perkawinan super mewah

Ilustrasi pernikahan mewah - Sumber: Liputan6.com

Ilustrasi pernikahan mewah – Sumber: Liputan6.com

Apakah konflik yang sudah dijabarkan di atas turut terjadi pada golongan puncak dalam piramida kelas sosial masyarakat Indonesia? Meski belum tervalidasi melalui riset mendalam dan terukur, saya menjawab secara umum tidak terjadi.

Sebagai penjelas, saya mendefinisikan golongan puncak dalam piramida kelas sosial masyarakat Indonesia adalah orang dengan aset lebih dari satu juta dolar AS (Knight Frank Wealth Report, 2016).

Minggu lalu, saya berkesempatan menghadiri perkawinan putri kembar seorang pengusaha travel haji dan umrah yang jelas mewah. Lokasi pernikahan di wilayah elit, hotel elit, pengamanan elit, dan penuh sesak oleh ucapan selamat menikah dari para pejabat pemerintah papan atas, elit politik papan atas, dan pengusaha papan atas.

Dalam ruangan resepsi perkawinan, para penyanyi papan atas Indonesia silih berganti mengisi panggung (saya sampai diminta istri untuk merekam aksi salah satu penyanyi yang dikenal sebagai ‘diva’ hingga usai). Kedua pembawa acara yang merupakan presenter ternama memandu acara dengan semangat. Variasi hidangan pun luar biasa banyak sampai untuk pertama kalinya seumur hidup saya, tidak mampu mencicipi semua hidangan tersebut meski sudah ngambil sedikit-sedikit. Hehehe.

Poin terpenting dari perkawinan ini adalah para tamu undangan. Wajah-wajah yang hadir jelas tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh dan posisi super elit. Sebagian dari mereka adalah tokoh-tokoh pengambil keputusan dan penentu kebijakan publik yang turut menentukan arah bangsa. Keturunan mantan pemimpin negeri ini pun ikut hadir. Mereka lintas parpol, lintas etnis, lintas suku, lintas agama, termasuk… lintas mazhab dan manhaj.

Hal menarik bagi saya adalah, banyak di antara mereka yang jika kita hanya melihat obrolan media sosial dan media secara umum, terkesan memiliki konflik dan perbedaan pandangan tajam. Akibat dari konflik dan perbedaan pandangan tajam ini merembet kepada para pengikut mereka hingga akar rumput yang salah satu hasilnya adalah pemutusan hubungan silaturahmi.

Namun, saya tidak melihat kesan tokoh-tokoh ini terlibat konflik tersebut. Mereka terlihat saling bercengkerama, bersenda gurau, cipika, cipiki, dan akrab. Mengenai bagaimana isi hati mereka, saya tidak tahu. Jikalau memang ada konflik, saya melihat mereka mampu mengedepankan aspek profesional dalam hubungan antarmanusia.

Akhirnya, saya pulang dari resepsi tersebut sambil berpikir, “Kapan bangsa kita, secara umum termasuk saya, mampu menikmati perbedaan pandangan meski sangat tajam tetap bersikap profesional dalam hubungan antarmanusia? Kapan kita mampu meraih level kedewaaan dalam berpikir, yang antara lain ditunjukkan dengan skor PISA, PIAAC, dan IPM yang tinggi?”

Dalam jangka pendek, saya baru mampu memulai menciptakan langkah-langkah kecil mencapai tujuan tersebut dan salah satunya dengan membuat tulisan ini. Semoga kawan-kawan para pembaca lainnya turut tergerak mencapai tujuan sama.

Depok, 27 November 2016

Andika Priyandana

 

 

3 thoughts on “Catatan Blogger Akhir Pekan: Kelas Sosial dan Pergaulan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s