Bersama-sama pembangunan infrastruktur ekonomi di seluruh Indonesia, era pembayaran elektronik harus dilakukan paralel.
Zaman dahulu kala, transaksi pembayaran selalu melibatkan logam yang berat dan harus disimpan dalam tempat khusus. Jika logam mulia digunakan, sudah jamak diketahui saat era Romawi bahwa korupsi dalam bentuk mengikir logam mulia tersebut sehingga nilai riilnya berkurang.
Seiring kemajuan zaman, uang kertas mulai digunakan menggantikan keberadaan uang logam yang berat dan tidak praktis. Jaminan uang kertas tersebut antara lain adalah logam mulia yang disimpan di bank sentral. Era transaksi ekonomi terus berjalan dan muncullah uang giral yang dapat mengakomodir nilai uang dalam jumlah yang sangat besar. Meski lebih praktis dibandingkan dengan uang kartal, uang giral tidak dapat langsung dicairkan karena harus melewati mekanisme tertentu.
Kemudian tibalah masa transaksi non tunai. Kita dapat melakukan transaksi pembayaran antara lain melalui kartu debit dan kartu debit. Bank Indonesia per Agustus 2014 juga mendorong penggunaan transaksi pembayaran non tunai dengan slogan ‘Gerakan Nasional Non Tunai’. Melalui Gerakan Nasional Non Tunai, diharapkan manfaat-manfaat pembayaran elektronik seperti lebih cepat dalam melakukan transaksi pembayaran, bertambahnya pilihan produk layanan pembayaran, meningkatnya penggunaan waktu secara efektif dan efisien, serta peningkatan keamanan dalam bertransaksi dapat menyentuh semua segmen penduduk Indonesia.
Inisiatif ini diimplementasikan bersama oleh institusi pemerintah melalui kolaborasi dengan bank milik negara.
Korelasi pembangunan infrastruktur dan percepatan pembayaran elektronik

Asian girl with cellphone – pic source: http://www.stocksy.com/81897
Berbagai studi menyebutkan bahwa setiap negara memiliki level pertumbuhan pembayaran elektronik yang berbeda-beda. Pertumbuhan pembayaran elektronik yang cukup mapan mampu mendorong pertumbuhan perdagangan elektronik yang stabil.
Saat menilik kondisi pertumbuhan finansial masyarakat Indonesia, harus diakui bahwa kita masih sangat rendah dalam hal melek transaksi pembayaran non tunai. Salah satu indikatornya adalah penetrasi kartu kredit di Indonesia yang baru menyentuh 3.5 persen populasi.
Sedangkan penetrasi kepemilikan tabungan di bank baru di kisaran 20 persen. Melihat data tersebut, tak heran jika metode pembayaran ‘cash on delivery – COD’ untuk pembayaran perdagangan elektronik mencapai rasio 30 persen. Dan dengan lebih dari 50 juta orang menggunakan akun bank, metode transfer antarrekening bank pun menjadi metode pembayaran paling populer.
Lambatnya penetrasi pembayaran elektronik di Indonesia, meski perdagangan elektronik semakin populer, dapat dipahami. Saat berbicara mengenai ritel daring, infrastruktur pendukung seperti pergudangan mulai dari skala kecil, menengah, dan besar, serta jasa pengantaran harus dibangun. Sedangkan kenyataannya ranking logistik dan infrastruktur Indonesia sudah jamak diketahui tidak dalam kondisi bagus.
Efek dari infrastruktur logistik yang buruk tersebut adalah lamanya waktu antar barang sesuai pemesanan, tingginya biaya transportasi khususnya di luar Pulau Jawa, dan berbagai masalah logistik lainnya memberikan beban sangat signifikan kepada APBN Indonesia.
Mengingat bentuk negara Indonesia yang berupa kepulauan dan inisiatif pembangunan infrastruktur secara massal di seluruh wilayah Indonesia baru mencorong di pemerintahan baru, pembayaran elektronik akan memerlukan waktu cukup lama sebelum bisa digunakan secara luas dalam transaksi ritel daring. Karena apa pun, infrastruktur pendukung wajib ada dan tersedia lebih dahulu.
Selain infrastruktur logistik yang mumpuni, peraturan-peraturan yang mendukung pertumbuhan pembayaran elektronik dan berstandar global harus dibuat oleh pemerintah. Pemerintah Indonesia harus memiliki panduan jelas mengenai pembayaran elektronik yang diinginkan. Hal ini penting untuk menjamin para pengguna dan pelaku transaksi elektronik merasa aman, nyaman, dan percaya saat bertransaksi digital.
Rasa aman diletakkan pada urutan pertama karena poin tersebut sangat penting untuk membuat migrasi pembayaran konvensional ke pembayaran elektronik dapat dipercepat. Tanpa adanya jaminan keamanan bertransansaksi di dunia maya, kemungkinan pembobolan kartu kredit dan media-media non tunai lainnya menjadi besar.
Hal ini terbukti dengan ditemukannya berbagai kasus pencurian nomor kartu kredit nasabah yang bertransaksi di dunia internet dan kasus penggelapan dana rekening bersama salah satu media sosial ternama Indonesia. Tak pelak, hal tersebut mempersulit usaha untuk meningkatkan transaksi non tunai di dunia maya, apalagi yang melibatkan penggunaan kartu kredit, debit, atau peletakan dana bersama.
Untunglah pemerintah Indonesia menyadari hal krusial ini harus segera diimplementasikan. Dalam artikel Majalah Marketing terdahulu yang berjudul ‘Sistem Pembayaran Daring untuk Kelancaran Arus Darah Ecommerce’ sudah cukup menjelaskan mengenai langkah pemerintah.
Pemerintah Indonesia sudah mulai melakukan proses implementasi National Payment Gateway (NPG). Berdasarkan informasi yang sudah didapat, pemerintah bersama Bank Indonesia dan pelibatan delapan kementerian sudah merumuskan kebijakan NPG. Operator-operator pembayaran swasta pun sudah diajak untuk turut merumuskan kebijakan NPG yang tepat sasaran, efektif, dan efisien.
Dalam implementasi NPG kelak, diharapkan tercipta sinergi sistem pembayaran dengan ATM, internet banking, dan mobile banking. Saat elemen-elemen tersebut menjadi satu kesatuan, penggunaan alat apa pun untuk transaksi perdagangan, baik kartu kredit, kartu debit, atau ewallet, para pelaku pasar tidak lagi mengalami kesulitan.
Pentingnya percepatan pembayaran elektronik di Indonesia
Menkominfo Rudiantara pada kuartal I 2015 menyatakan pemerintah akan meningkatkan transaksi perdagangan daring pada 2016 hingga mencapai angka US$20 milyar (kominfo.go.id). Angka tersebut ditargetkan akan terus meningkat secara laksana deret ukur hingga pada 2020, volume bisnis perdagangan daring direncanakan mencapai US$ 130 milyar dengan angka pertumbuhan per tahun rerata 50 persen.
Mencapai angka US$ 130 milyar bukan hal main-main. Seperti disampaikan sebelumnya, infrastruktur logistik yang mumpuni mulai dari pergudangan hingga distribusi harus tersedia secara optimal hingga ke seluruh pelosok Indonesia. Selain jasa pergudangan dan logistik, penyedia jasa lainnya seperti telekomunikasi dan perbankan harus terus tumbuh dan berjalan paralel.
Hal-hal tersebut sudah dirumuskan pemerintah dalam bentuk peta jalan Perdagangan Daring Indonesia. Diharapkan melalui implementasi peta jalan tersebut, diharapkan Indonesia dapat menjadi negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020.
Keinginan menjadi pelaku ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020 sebenarnya sangat rasional dan dapat dicapai oleh bangsa kita.
Berdasarkan data We Are Social (Nov 2015), dari total populasi sebesar 255.5 juta penduduk, pengguna internet sudah mencapai angka 88.1 juta, pengguna media sosial sebesar 79 juta, koneksi telepon bergerak sebesar 318.5 juta, dan pengguna mobile social sebesar 67 juta. Semua parameter yang dimiliki Indonesia mengalahkan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara, antara lain Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Vietnam.
Kita sudah memiliki banyak modal dasar untuk menjadi pelaku ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara per 2020 dengan nilai transaksi mencapai US$ 130 milyar. Pemerintah sudah mulai bekerja dengan menyusun National Payment Gateway dan peta jalan Perdagangan Daring Indonesia. Tentu saja hanya berpangku tangan kepada pemerintah semata akan membuat pencapaian target tersebut menjadi sulit.
Jadi, mari kita bersama-sama dengan pemerintah mulai membantu mewujudkan target pelaku ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara per 2020. Mari kita bergerak dan beraksi nyata sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Jika kita mampu mendirikan dan menjalankan bisnis yang membantu efisiensi dan efektivitas logistik di Indonesia, maka lakukanlah.
Jika ada yang mampu memberikan akses pendidikan keuangan kepada penduduk di pelosok Indonesia, maka bergeraklah. Jika ada yang mampu dan memiliki akses melakukan pembayaran non tunai, misal memiliki kartu debit, dompet elektronik, dan uang elektronik, maka mulai berdayakan media-media tersebut secara optimal dan kurangi transaksi tunai.
Mari bersama-sama mewujudkan transaksi pembayaran yang lebih cepat melalui transaksi non tunai sehingga mampu mengefisienkan dan mengefektifkan penggunaan waktu yang kita miliki. Ujung-ujungnya jika semua pihak bersinergi optimal, tentu kita semua akan menikmati hasil manis bersama.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Mei 2016