Kepuasan pelanggan dan pemberitaan positif yang berkelanjutan membuat Uber tetap bertumbuh dalam berbagai hambatan teknis dan non-teknis.
Baik, mungkin judul artikel ini terkesan hiperbola. Jika kita membicarakan pertumbuhan Uber, Jakarta jauh lebih tepat dan spesifik untuk menjadi rujukan dibandingkan dengan Indonesia yang jauh lebih luas dan beragam.
Namun, meski pertumbuhan Uber masih terpusat di wilayah Jakarta, gaung Uber seakan-akan ada di seluruh wilayah Indonesia berkat pemberitaan masif melalui berbagai media cetak dan elektronik, khususnya karena isu regulasi dan penolakan moda transportasi umum konvensional milik swasta. Akibatnya Uber menjadi berkesan meluber di Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan realitas pertumbuhan dan keberadaan Uber di Indonesia? Melalui berbagai penelusuran, diketahui bahwa Uber sebagai perusahaan piranti lunak telah hadir di Indonesia sejak Agustus 2014. Dalam kurun waktu 16 bulan sejak kehadiran Uber, Karun Arya, Communication Lead Uber Asia Tenggara dan india, menyatakan bahwa Uber sudah beroperasi di Jakarta, Bandung, dan Bali.
Selain cakupan wilayah yang mencapai Pulau Bali, Arya juga menyatakan bahwa 10 ribu pengemudi telah bermitra dengan layanan Uber dan dia menargetkan pertumbuhan jumlah pengemudi sebesar 10 kali lipat pada 2016.
Tumbuhnya ekonomi berbagi di Indonesia
Dalam ilmu ekonomi bisnis konvensional, bisnis yang dipandang riil adalah bisnis yang memiliki aset-aset berwujud, antara lain tanah, gedung, mesin, kendaraan operasional, dan masih banyak lagi. Namun, model bisnis tersebut bisa dikatakan semakin tidak relevan saat kita memasuki abad 21.
Jumlah penduduk yang terus bertambah, pencemaran yang terus meningkat, sampah yang semakin menumpuk, dan berbagai masalah khas manusia lainnya semakin kompleks. Karenanya, solusi efektif dan efisien yang menjawab permasalahan-permasalahan tersebut harus segera dirumuskan dan diterapkan.
Ekonomi berbagi (sharing economy) dapat menjadi salah satu solusi yang efektif dan efisien. Kenyataannya, kini banyak pengusaha-pengusaha muda yang tumbuh bak roket, identik dengan usaha rintisan (start-ups), erat dengan pemberdayaan teknologi, dan jauh lebih cepat menuju valuasi US$ 1 milyar alias unicorn dibandingkan dengan para pendahulunya.
Uber, Airbnb, Gojek, Grab, dan usaha-usaha sejenis adalah contoh bisnis ekonomi berbagi dengan pertumbuhan yang sangat cepat. Ekonomi berbagi yang diterapkan model bisnis mereka memungkinkan pengguna dan pelanggan mengakses barang dan jasa yang dikoordinasikan komunitas daring.
Di Indonesia, platform berbagi mulai memunculkan dampaknya di berbagai bidang, mulai dari pemerintah dengan regulasi yang masih terbata-bata hingga para pelaku bisnis konvensional yang merasa tersaingi.
Hambatan-hambatan teknis pun muncul membayangi pertumbuhan platform berbagi tersebut. Namun hambatan-hambatan tersebut secara mayoritas tidak berasal dari konsumen karena 87% penduduk Indonesia justru memandang ekonomi berbagi secara positif. Menurut survei Nielsen 2014, 87% penduduk Indonesia tertarik menggunakan barang dan jasa milik pihak lain yang ditawarkan melalui komunitas berbagi. Angka tersebut lebih tinggi 21% dibandingkan dengan populasi global yang menunjukkan angka 66%.
Berbicara spesifik mengenai Uber, angka tersebut sudah bisa diduga turut berkontribusi terhadap penguberan Uber oleh para konsumen, baik dari sisi individu dan pengusaha yang tertarik menjadi rekan Uber maupun para pengguna jasa transportasi yang difasilitasi Uber.
Bagi kita yang sudah mengunduh dan mulai menggunakan aplikasi Uber, tentu mengetahui bahwa layanan transportasi Uber dapat dibagi menjadi dua, yaitu UberX dan Uber Black. UberX adalah layanan transportasi dengan kendaraan tidak semewah Uber Black.
Karena spesifikasi yang lebih rendah dibandingkan Uber Black, argo yang diterapkan UberX menjadi lebih murah bahkan saat dibandingkan dengan taksi-taksi regular saat jam-jam normal. Dalam artikel berjudul ‘The Rise of Sharing Economy in Indonesia’ oleh Cassandra Liem yang ditayangkan bruegel.org, terdapat data menarik yang membandingkan biaya jasa yang diterapkan taksi konvensional (Blue Bird dan Express), UberX, dan UberX dengan 2x surge. Asumsi biaya jasa ini diterapkan pada kendaraan yang sama-sama mengalami kemacetan kota Jakarta.
Saat jam sibuk, tarif Uber berlipat mulai dari 1x (jam normal) hingga 3.5x, dipengaruhi oleh besaran permintaan (Credit Suisse, 2015), seperti direpresentasikan UberX dengan 2x surge. Kemudian, asumsikan tidak ada perhentian selama berkendara, taksi regular secara umum lebih murah dibandingkan dengan UberX dengan 2x surge. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam konteks harga, ada ruang bagi taksi konvensional untuk berkompetisi dengan Uber, khususnya pada jam sibuk.
Harap menjadi catatan, perbandingan tarif ini dilakukan dalam kondisi tidak ada tarif promosi, kecepatan rata-rata 12 s.d. 14 km/jam, dan tidak ada pengganda (untuk Uber).
GAMBAR 1: Perbandingan Tarif Taksi Reguler, UberX, dan UberX dengan 2x surge dalam Rupiah

Perbandingan Tarif Taksi Reguler, UberX, dan UberX dengan 2x surge dalam Rupiah – sumber: Bruegel.org
Selain perbandingan tarif, hal lain yang perlu diketahui adalah penetrasi Uber. Berdasarkan klaim Karun Arya, Communication Lead Uber Asia Tenggara dan india, per November 2015 sudah ada sekitar 10.000 pengemudi yang menjadi mitra Uber di Jakarta, Bandung, dan Bali. Anggap klaim tersebut benar, angka penetrasi Uber masih relatif kecil saat dibandingkan dengan penetrasi Blue Bird dan Express.
Berdasar data Credit Suisse (2015), Blue Bird memiliki 23.000 armada di 14 kota dan Express memiliki 10.000 armada di tujuh kota di Indonesia. Jadi, saat kita menggabungkan jumlah armada taksi Blue Bird dan Express, angkanya masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Uber. Meski tentu kita juga dilarang menafikan kecepatan pertumbuhan pengemudi mitra Uber yang sangat cepat.
Persaingan sehat adalah persaingan yang baik
Keberadaan Uber antara lain dipermasalahkan melalui sisi KIR dan perizinan. Kedua isu tersebut sering diangkat oleh para pengusaha taksi konvesional. Padahal jika kita tertarik menelusuri lebih jauh, dapat diketahui lebih jernih mengenai apakah taksi konvensional benar-benar terancam oleh Uber saat ini. Mari kita ambil contoh Blue Bird sebagai perusahaan terbuka yang terdaftar dengan nama BIRD di Bursa Efek Indonesia.
Berdasarkan laporan kuartal I, II, dan III tahun 2015, urusan KIR dan lisensi hanya mengambil porsi 1% dari total pendapatan Blue Bird. Saat komponen pajak turut diperhitungkan, maka total KIR, lisensi, dan pajak sekitar 6%. Angka tersebut masih lebih rendah dari laba kotor Blue Bird sebesar 30% dan laba bersih sebesar 15%. Maka dapat ditarik kesimpulan jika membawa isu KIR dan lisensi sebenarnya kurang signifikan dalam konteks laporan keuangan.
Saat kita memandang gemuruh keberadaan aplikasi transportasi di Indonesia, dapat kita asumsikan bahwa kemajuan teknologi tidak dapat dibendung. Konsumen memiliki masalah transportasi, sementara pemerintah belum mampu memberikan solusi yang benar-benar memuaskan.
Maka muncullah solusi-solusi transportasi berbasis teknologi yang menjadi idola masyarakat. Kecepatan penetrasi aplikasi-aplikasi tersebut turut diperkuat dengan penetrasi telepon pintar yang diramalkan mencapai 92.000.000 dari total pengguna ponsel pada 2019.
Blue Bird dan Express sebenarnya juga sudah menyadari keberadaan teknologi yang tidak dapat dibendung. Mereka sudah memulai langkah adaptasi dengan memiliki aplikasi sendiri.
Kemudian, perhatikan juga kanal transaksi pembayaran yang sangat krusial untuk kelancaran bisnis. Penggunaan kartu kredit di Indonesia sangat rendah dan pertumbuhannya bisa dikatakan stagnan. Celah ini dapat digunakan untuk bersaing dengan Uber secara sehat. Mari bersaing secara baik dan sehat.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi April 2016.