Membawa Indonesia ke papan atas pasar global dan meraih pertumbuhan ekonomi tembus 6% pada 2019. Bagaimana caranya?
Memajukan bangsa, antara lain melalui bidang ekonomi, dalam percaturan pasar global bukan hal mudah. Jika sekedar mengandalkan pemerintah, sementara pihak lain termasuk para pelaku bisnis dan rakyat rajin mengonsumsi produk impor dan menghindari pajak sama dengan omong kosong.
Untuk membuktikan bahwa omong kosong tersebut adalah nihil, banyak hal sudah dilakukan bersama oleh pemerintah dan entitas bisnis. Salah satunya adalah Hari Marketing Indonesia (HAMARI) yang jatuh pada tanggal 1 April. HAMARI dicanangkan bersama oleh Kementerian Perdagangan RI dan para pebisnis di Indonesia yang diwakilkan oleh berbagai asosiasi bisnis di Indonesia, pada 20 Maret 2014.
HAMARI memiliki visi jangka panjang untuk membangun kemajuan Indonesia melalui tujuh pilar sasaran utama, yaitu:
(1) Membantu merumuskan citra Indonesia sebagai negara asal (country of origin) yang baik di mata internasional,
(2) Membantu memasarkan produk Indonesia di pasar global,
(3) Mendorong masyarakat Indonesia untuk mencintai produk dalam negeri,
(4) Memasarkan Indonesia sebagai negara investasi yang menarik,
(5) Membantu memasarkan produk lokal daerah dan memasarkan daerah sebagai tempat tujuan wisata,
(6) Membantu memasarkan produk lokal daerah menjadi produk nasional,
(7) Mengembangkan daerah – daerah di Indonesia menjadi daerah investasi.
Selain pencanangan HAMARI yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan swasta, masih ada aksi-aksi lainnya yang turut berkontribusi membawa Indonesia menuju pasar global. Tentu saja semua hal tersebut tidak akan dapat dibahas hanya dalam satu artikel ringkas.
Maka, agar bahasan lebih terfokus, artikel ini akan berbicara mendalam mengenai dua hal, yaitu Industri Kecil Menengah (IKM) dan Industri Kreatif serta peranan mereka dalam memajukan perekonomian Indonesia.
Peran Strategis Industri Kecil Menengah (IKM)
Euis Saedah, Direktur Jenderal IKM Kementerian Perindustrian, menuturkan, “Demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang melewati angka 6% di akhir periode pemerintahan Kabinet Kerja, IKM memiliki peran yang strategis. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah unit usaha yang berjumlah 3,52 juta unit dan merupakan lebih dari 99,8% dari unit usaha industri nasional. Peran tersebut juga tercermin dari penyerapan tenaga kerja IKM yang menyerap lebih dari 9 juta orang pada tahun 2014. Sektor IKM juga menyumbang 34,56% persen dari total PDB industri.”
Lebih lanjut, Euis menuturkan, “UKM juga memiliki ragam produk yang sangat banyak, sehingga mampu mengisi segmen pasar yang luas, dan menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat luas serta memiliki ketahanan terhadap berbagai krisis yang terjadi. Dengan karakteristik tersebut, maka tumbuh dan berkembangnya IKM akan memberikan andil yang sangat besar dalam mewujudkan ekonomi nasional yang tangguh, maju, dan berciri kerakyatan.”
Euis juga bercerita mengenai program-program Direktorat Jenderal IKM yang dipimpin olehnya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tembus 6% di akhir periode pemerintahan. Program-program tersebut terdiri dari program utama dan program pendukung. Untuk program utama, kegiatan yang dilaksanakan Ditjen IKM adalah pengembangan produk IKM, pengembangan sentra IKM, pembangunan wirausaha industri, restrukturisasi mesin / peralatan IKM, fasilitasi pelayanan peningkatan Unit Pelayanan Teknis (UPT), dan fasilitasi promosi dan pameran.
Sedangkan program pendukung yang dilaksanakan Ditjen IKM adalah Balai Pengembangan Industri Persepatuan Indonesia (BPIPI), Tenaga Penyuluh Lapangan (TPL) – IKM Program Beasiswa, Program Desa Industri Mandiri (DIM), Swarna Festival, Pusat Pengembangan Industri Kreatif Bali Creative Industry Center (BCIC), dan Pengembangan Produk melalui Pendekatan One Village One Product (OVOP).
Agar semua program-program yang diperuntukkan bagi IKM sampai ke daerah, Ditjen IKM memiliki dana dekonsentrasi, sebagai kepanjangan tangan di masing-masing provinsi. Sehubungan dengan dekonsentrasi, Euis berkata, “Dekonsentrasi lebih ditekankan kepada pemberian fasilitas dan pelatihan-pelatihan kepada IKM termasuk yang berada di daerah tertinggal dan perbatasan.
Selain itu, pada 2016, pemerintah pusat telah memberikan Dana Alokasi Khusus (DAK) kepada 191 kabupaten / kota yang berfokus untuk pembangunan atau revitalisasi sentra IKM dalam rangka penguatan ekonomi di daerah.”
Peran pemerintah dalam promosi dan pemasaran produk-produk IKM Indonesia
Euis bertutur bahwa peran pemerintah dalam menumbuhkembangkan sektor IKM tidak berhenti di sisi bantuan pendanaan, pendidikan, alat produksi, atau pameran semata. Dalam konteks promosi dan pemasaran produk-produk IKM Indonesia, pemerintah melalui Ditjen IKM memberikan fasilitasi pemasaran produk melalui media-media cetak dan elektronik, melakukan market intelligence untuk mengetahui target pasar produk IKM, hingga bantuan peningkatan daya saing produk agar menjadi unik dan memiliki kelebihan dibandingkan produk sejenis lainnya.
Dalam hal pemberdayaan teknologi internet untuk perdagangan daring, Euis berkata, “Saat ini Ditjen IKM sudah bekerja sama dengan Indosat untuk memasarkan produk-produk IKM melalui Cipika Store. Selain bekerja sama dengan Indosat, Ditjen IKM juga bekerja sama denganTelkomsel untuk mengembangkan perdagangan daring dalam pemasaran produk IKM unggulan. Ditjen IKM menyebut bentuk kerja sama ini sebagai Telkomsel – Jarvis.”
Membangun ketahanan industri nasional
Selain hal-hal yang sudah disampaikan di atas, menjelang akhir wawancara, Euis berpesan, “IKM Indonesia tetap semangat dan optimis dalam menghadapi persaingan global dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun kekuatan dan ketahanan IKM Indonesia juga perlu bantuan dan kecintaan dari rakyat Indonesia.
Selain perencanaan, riset pasar, riset intelijen, sinergi pemerintah – swasta yang sudah dilakukan, rakyat juga perlu turut mendukung dengan penggunaan dan konsumsi produk-produk dalam negeri. Dengan mengonsumsi dan menggunakan produk-produk dalam negeri, berarti masyarakat sudah berperan serta secara langsung mewujudkan kemandirian ekonomi nasional dan memajukan perekonomian negara.”
Peran Industri Kreatif dalam Perekonomian Indonesia
Ricky Pesik, Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf), menceritakan bahwa kontribusi subsektor ekonomi kreatif terhadap perekonomian Indonesia termasuk signifikan dalam lima sampai dengan sepuluh tahun terakhir.
Ricky berkata, “Subsektor ekonomi kreatif memiliki tiga tolok ukur untuk menentukan kinerja. Saat ini, sumbangsih subsektor ekonomi kreatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sudah mencapai 7.5% dan ditargetkan mencapai 12% pada 2019. Untuk tolok ukur kedua, subsektor ekonomi kreatif dilihat dari kemampuan menyerap tenaga kerja yang sudah mencapai 12.2 juta orang dan ditargetkan mencapai 13 juta pada 2019. Sedangkan untuk kontribusi ekspor sebagai tolok ukur ketiga, subsektor ekonomi kreatif sudah memberikan kontribusi 6.4% terhadap devisa bruto dan ditargetkan mencapai 10% devisa bruto pada 2019.”
Ricky memiliki optimisme bahwa Bekraf mampu mencapai target pemerintah. Optimisme tersebut antara lain ditunjukkan melalui data lampau yang menunjukkan bahwa industri kreatif selalu mampu untuk tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
“Saat ini Indonesia memiliki 16 subsektor ekonomi kreatif. Keenam belas subsektor ekonomi kreatif tu adalah kuliner, kriya, busana, aplikasi & game developer, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, film, animasi & video, fotografi, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, serta televisi & radio,”
Ricky melanjutkan penyampaiannya, “Dari keenam belas subsektor ekonomi kreatif ini, tiga subsektor mampu memberikan kontribusi nyata terhadap penerimaan negara. Tiga subsektor tersebut adalah kuliner, busana, dan kriya. Untuk sementara, subsektor lainnya belum mampu memberikan kontribusi nyata, Maka di sini Bekraf berperan untuk meningkatkan subsektor ekonomi kreatif selain kuliner, busana, dan kriya.”
Ricky menyatakan bahwa peran Bekraf ditunjukkan dengan enam program utama, yaitu:
(1) Mengembangkan riset unggulan,
(2) Bantuan akses permodalan,
(3) Bantuan ketersediaan infrastruktur,
(4) Bantuan akses pasar,
(5) Meningkatkan manfaat keekonomian,
(6) Memperkuat kelembagaan bisnis milik para pelaku ekonomi kreatif.
Bekraf juga bertugas untuk menyiapkan ekosistem yang mendukung subsektor ekonomi kreatif, antara lain dengan menciptakan sinergi optimal antara dunia pendidikan, bisnis, komunitas, dan pemerintah. Bekraf juga sangat mendorong kesadaran para pelaku subsektor ekonomi kreatif dalam hal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).
Mengenalkan nama Indonesia di dunia internasional
Teti Nurhayati, CEO PT Matatero, memiliki pendapat yang senada dengan Ricky Pesik mengenai kemajuan pesat industri kreatif Indonesia dalam satu dekade terakhir.
Teti berkata, “Sekarang sudah banyak komunitas-komunitas yang mengikuti pameran-pameran di luar negeri tanpa bantuan dari pemerintah. Dengan biaya sendiri. Mereka rutin mengikuti pameran dari yang terdekat seperti Malaysia, Singapura sampai yang jauh seperti Jepang, Eropa dan Amerika Serikat.”
Teti beropini bahwa salah satu penyebab kemajuan pesat industri kreatif Indonesia adalah kekayaan sumber daya alam (SDA) dan kekayaan budaya yang terkomunikasikan dengan baik sehingga banyak dicari dan diminati pasar internasional. “Indonesia itu kaya dengan SDA dan budaya, itu sebenarnya keunggulan dari Indonesia. Bicara busana, kain di suatu daerah Jawa saja bisa berbeda. Batik pun kita ada macam-macam, Batik Pekalongan,Batik Cirebon dll. Itu yang tidak dipunyai oleh budaya luar. Kita punya variasi produk yang sangat banyak.”
Mengenai kelemahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki Indonesia, Teti berfokus pada dua hal, yaitu kualitas produk dan koneksi. Teti berujar, “Dari sekian banyak variasi produk yang digarap dengan benar masih sedikit. Untuk pameran di luar negeri kita kan tidak sembarangan membawa produk. Pameran itukan seperti promosi branding kepada pihak luar mengenai Indonesia jadi jangan kita kenalkan Indonesia yang jelek, harus dengan produk yang keren.”
Teti juga memberi masukan kepada pemerintah untuk memajukan industri kreatif nasional. “Satu hal yang saya kurang setuju dari langkah pemerintah adalah masalah konsistensi. Pemerintah akan menggilir siapa saja yang berhak melakukan pameran. Jadi tahun ini datang besok tidak. Ini tidak bisa kalau di Amerika atau Eropa, karena harus berkesinambungan ikut atau rutin ikut pameran.”
Dalam masukannya, Teti turut menyampaikan ide penyediaan panggung atau tempat pameran di luar negeri secara gratis. “Yang selama ini saya lihat, para pelaku UKM ini mereka selalu semangat jika ada kesempatan pameran di luar negeri dan mereka pun sanggup bayar biaya perjalanan mereka sendiri untuk bisa ikut pameran di luar negeri. Untuk stand/booth itu yang menjadi masalah mereka, mereka harus bayar lagi booth dan tempatnya tidak strategis. Pemerintah perlu memperhatikan hal seperti ini, memperhatikan booth. Pemerintah harus menyediakan booth gratis, besar dan strategis bagi pelaku ukm yang ingin mengembangkan pasar ke luar negeri.”
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi April 2016.