Mengenang Mohamad Roem dan Room – Rooijen melalui kumpulan foto.
“Tong, Mamah halal bihalalnya di rumahnya Mohamad Roem ya.”
Ucapan Ibu sontak membawa ingatanku kembali ke masa-masa menempuh pendidikan dasar, saat mata pelajaran Sejarah. Dalam ingatanku yang terbatas, Mohamad Roem adalah wakil Indonesia dalam Perjanjian Roem – Rooijen (1949). Namun sebenarnya, beliau terlibat di lebih dari satu perundingan dengan pihak Belanda. Mohamad Roem juga terlibat dalam Perundingan Linggarjati (1946), Perjanjian Renville (1948), dan Konferensi Meja Bundar (1949).
Dalam tulisan ini, saya tidak akan berpanjang lebar mengenai kiprah beliau di semua perundingan tersebut. Namun saya memilih menelisik kisah beliau dengan fokus pada Perjanjian Room – Rooijen, khususnya kisah seusai perjanjian tersebut. Latar belakang ketertarikan saya membuat tulisan ini adalah hasil kunjungan menemani Ibu saya halal bihalal alumni MIPA UI di rumah Mohamad Roem dan kemudian melihat foto-foto beliau, termasuk kunjungannya ke Belanda dan bertemu dengan Jan Herman Van Rooijen.
Mohamad, bukan Mohammad
Pada papan nama di dekat pintu masuk rumah, tertera nama ‘Mohamad Roem’, bukan ‘Mohammad Roem’. Saat saya melangkah masuk ke dalam rumah, saya melihat banyak foto dengan nama ‘Mohamad Roem’, bukan ‘Mohammad Roem’. Nama ‘Mohamad Roem’, bukan ‘Mohammad Roem’ juga tertera di berkas yang mencatat penganugerahan bintang Mahaputera Adipradana.
Foto-foto Mohamad Roem secara langsung memberi kesan bahwa beliau adalah sosok yang bangga dengan identitas diplomat. Beliau tidak canggung menunjukkan memasang foto-foto saat dirinya masih aktif berdiplomasi untuk Bangsa Indonesia, yang antara lain diitunjukkan dengan foto dirinya sedang terlihat berdiskusi intens dengan Mohammad Hatta. Namun ada satu foto yang sangat menarik, yaitu foto beliau dengan Jan Herman Van Rooijen. Yang membuat menarik adalah, foto tersebut adalah foto versi wajah beliau yang jauh lebih tua dibandingkan dengan wajah beliau dalam foto-foto Perjanjian Roem – Rooijen.
Mohamad Roem: Seorang guru bagi para diplomat Indonesia
Bagi saya, wajah tua Mohamad Roem bersama Jan Herman Van Rooijen menunjukkan karakter beliau sebagai seorang diplomat sekaligus negawaran sejati. Karakter yang diitunjukkan beliau membuat dirinya patut menjadi salah satu guru bagi para diplomat Indonesia di era modern.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, Perjanjian Roem – Rooijen memberikan beban tanggung jawab yang berat bagi Mohamad Roem. Beliau harus memastikan keutuhan wilayah RI agar tidak mengecil. Mohamad Roem juga harus bernegosiasi urusan kepemimpinan Pemerintah Federal Sementara dan menjaga hubungan luar negeri RI dengan negara-negara lain demi galangan dukungan untuk kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, Perundingan Room – Rooijen membuka jalan bagi terselenggarakannya Konferensi Meja Bundar dan kemudian pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan RI oleh Belanda pada 27 Desember 1949.
Mohamad Roem menjalani perannya dengan masa lalu yang tidak mengenakkan dengan pihak Belanda. Dirinya pernah dihardik ‘Inlader’ berkali-kali semasa sekolah. Meski demikian, beliau memilih sangat menekankan jalur diplomasi demi kemerdekaan Indonesia. Dalam negosiasi pun, beliau rutin menunjukkan sikap menghargai pendapat yang berseberangan dengannya.
Terhadap Jan Herman Van Rooijen, Mohamad Roem menunjukkan sikap negarawan dan diplomat sejati dengan tetap menjalin komunikasi dan bahkan pertemuan kembali meski mereka pernah ada di pihak yang berlawanan. Sikap serupa ditunjukkan Mohamad Roem dengan tidak mendendam kepada Soekarno meski pernah dipenjarakan tanpa jalur pengadilan. Roem tidak mendendam, namun tidak melupakan.
Memang, Mohamad Roem adalah seorang diplomat kawakan dan negarawan bangsa Indonesia.