Jilbab kini sudah dipandang sebagai budaya populer dan tidak lagi sekedar simbol religius.
Jilbab di sini, jilbab di sana. Ke mana pun kita melangkah, antara lain kota-kota besar di Indonesia, semakin mudah menemukan para wanita yang mengenakan jilbab dalam aktivitas keseharian mereka. Kepopuleran jilbab sebagai bagian dari busana perempuan Indonesia adalah pergerakan budaya yang sangat menarik untuk dijadikan bahan riset. Ya, kini jilbab sudah semakin merakyat di benak orang Indonesia dan menjadi budaya populer.
(Baca: Kultur Pop Islam di Indonesia)
Kepopuleran penggunaan jilbab menemukan pijakan awalnya pada tahun 1990an dan menjelang akhir dekade 2000an, jilbab meraih tren yang menanjak pesat dengan pertumbuhan ratusan persen setiap tahunnya. Kejadian ini sangat bertolak belakang dengan kondisi dekade 80an saat masih sangat sedikit wanita Indonesia mengenakan jilbab yang salah satu penyebabnya adalah larangan penggunaan jilbab di sekolah negeri dan pegawai negeri sipil berdasarkan SK No. 052/1982.
Larangan penggunaan jilbab yang diterapkan dalam bentuk surat keputusan oleh pemerintah pada masa tersebut bergaung hingga domain swasta, sebagai contoh larangan terhadap karyawati bank untuk mengenakan jilbab. Latar belakang larangan penggunaan jilbab tersebut antara lain pandangan penggunaan jilbab sebagai doktrin agama Islam.
Zaman terus bergerak maju, aturan-aturan pelarangan jilbab telah berguguran, dan jilbab mulai tersentuh budaya populer. Pada kondisi inilah, edukasi penggunaan jilbab semakin mudah diberikan dan semakin cepat diserap oleh masyarakat.
Kreativitas penggunaan jilbab bermekaran, dan tanpa dapat ditahan, menggeser nilai pemakaian jilbab dari menjalankan tuntunan agama ke arah mode atau busana. Bahkan, jilbab dalam masyarakat Indonesia terindikasi sudah mengalami pergeseran makna linguistik dari definisi aslinya yang turut berhubungan dengan hijab, khimar, dan kerudung.
Komunitas pengguna hijab
Kemunculan komunitas pengguna hijab sedikit banyak turut menjadi bahan bakar popularitas penggunaan hijab atau jilbab di masyarakat. Salah satu komunitas pengguna hijab tersebut adalah Hijabers Community yang didirikan oleh Syifa Fauzia bersama rekan-rekannya pada 2010.
Kini dengan posisinya sebagai Ketua Hijabers Community Indonesia, Syifa berfokus untuk memasyarakatkan tindakan menutup aurat bagi perempuan, sebagaimana yang dia ucapkan, “Kami tidak mau menghakimi seseorang dari apakah dia memakai turban, niqab, chador, atau sekedar memakai jilbab panjang atau pendek, menurut saya ngga ada bedanya karena yang pertama adalah harus menutup aurat untuk perempuan.”
Syifa menyampaikan bahwa di Hijabers Community (HC) tidak sekedar mengurus jilbab sebagai mode. Awalnya mendapat kesan tersebut karena HC memang didirikan bersama rekan-rekannya yang memiliki profesi sebagai desainer yang ingin memasyarakatkan busana muslimah dan ingin menjadikannya lebih terjangkau dan lebih merakyat.
Syifa berujar, “Hijabers Community juga ingin menjadi wadah para wanita Indonesia, khususnya perempuan muda, untuk belajar Islam, belajar ngaji, pemberdayaan perempuan, saling bersosialisasi, hingga belajar berwirausaha.”
Dengan segala kegiatannya tersebut, Syifa menyatakan bahwa kegiatan operasional HC bersifat non profit. Sedari awal, HC sudah menarik minat perusahaan dan produk-produk yang ingin menjadi sponsor dan pendana acara-acara HC. Syifa berkata, “Alhamdulillah, uang dari para sponsor yang besar kami letakkan dalam satu akun yang kemudian uang tersebut kami gunakan untuk menjalankan acara-acara HC, termasuk gathering HC setahun sekali yang kami namakan Hijab Day.”
Jilbab kontemporer dan plus minus dalam bisnis
Jilbab meraih popularitasnya di era modern Indonesia bukan dengan jalan mulus. Jilbab kontemporer alias jilbab yang sudah terpapar dampak modernisasi menuai reaksi baik positif maupun negatif di masyarakat.
Dari sisi positif, seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, tidak lagi ada larangan penggunaan jilbab, jilbab tidak lagi dipandang sebagai doktrin Islam per se, jilbab semakin variatif dari sisi desain serta warna, jilbab semakin merakyat, harga jilbab semakin terjangkau, dan mudah ditemukan di mana-mana. Dari perspektif ilmu marketing, popularitas jilbab juga menambah kekayaan bahasan mengenai segmentasi konsumen Indonesia.
Sedangkan sisi yang dipandang negatif oleh sebagian kalangan mengenai jilbab kontemporer adalah penggunaan jilbab masa kini yang dianggap banyak menyalahi aturan agama, tidak sesuai syarat syar’i, dan semakin melenceng dari tujuan awal bahwa jilbab digunakan agar tidak menarik perhatian, khususnya perhatian lawan jenis.
Selain hal-hal tersebut, ada juga pandangan bahwa promosi dan pemasaran jilbab mulai dipandang terlalu komersial dan melanggar etika.
Salah satu contoh pemasaran jilbab yang sempat kontroversial adalah kasus iklan jilbab dengan sertifikasi halal MUI. Berdasarkan penelusuran penulis, isu jilbab dengan sertifikasi halal MUI lebih banyak menuai reaksi negatif daripada positif, baik dari kalangan ulama maupun non-ulama.
Awal mula kontroversi yang muncul di masyarakat adalah konten iklan jilbab halal tersebut. Menurut versi produsen jilbab halal MUI, kerudung halal itu ditentukan dari jenis kainnya. Perwakilan produsen menyatakan bahwa beberapa jenis kain mengandung gelatin babi dari pengemulsi (zat emulsifier) yang biasa digunakan saat proses pencucian bahan tekstil.
Lalu, klaim produsen mengenai pengemulsi dan gelatin babi segera memperoleh jawaban-jawabannya. Berikut adalah jawaban yang sudah dirangkum dari berbagai sudut pandang:
Hasanudin Abdurakhman, Manajer Pengembangan Bisnis Grup Toray, beropini bahwa dari perspektif sains dan proses produksi kain, salah satu fungsi alat-alat filtrasi seperti karbon aktif atau membran adalah pencuci dan filtrasi bahan-bahan pengotor. Contoh bahan-bahan pengotor antara lain protein (catatan penulis: gelatin merupakan protein yang diperoleh dari hidrolisis kolagen yang secara alami terdapat pada tulang atau kulit binatang), lemak, virus, dan bakteri.
Artinya bahan tersebut berfungsi menyucikan, bukan mengotori, dan meski terbuat dari bahan haram pun tidak akan menghasilkan air yang mengandung bahan haram. Kalau sampai mencemari, tentunya tidak akan dipakai sebagai penyaring.
Ammi Nur Baits, Dewan Pembina Konsultasisyariah.com, menyampaikan bahwa dalam kaidah ilmu fiqih, hukum asal segala sesuatu adalah suci dan semua benda yang dihukumi najis harus berdasarkan dalil. Tanpa adanya dalil, pernyataan najis tidak dapat diterima, karena bertolak belakang dengan hukum asal. Jika ada benda suci, misalnya kain, tidak boleh dihukumi najis, sampai ada bukti najisnya. Dengan prinsip tersebut, barang gunaan yang tidak dikonsumsi, seperti jilbab, baju, atau lainnya, pada dasarnya tidak memerlukan sertifikat halal.
Ammi juga menambah penjelasannya dengan basis sejarah. Rasulullah SAW dan para sahabatnya mengenakan kain impor dari Mesir, Syam, atau Yaman karena Madinah bukan produsen kapas. Pada masa tersebut, Mesir, Syam, atau Yaman adalah negara non-muslim yang menghalalkan babi dan khamr. Meski demikian, tidak ditemukan riwayat atau catatan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat memeriksa kesucian pakaian impor tersebut. Bahkan mereka menggunakannya.
Syifa Fauzia, Ketua HC Indonesia, berkata, “Dari segi iklan yang disampaikan, saya beropini sebagai konsumen bahwa itu teknik marketing masing-masing produk. Oke memang itu cukup kontroversial, dan kembali ke pribadi masing-masing karena saya juga tidak berposisi sebagai kompetitor.”
Sedangkan Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat–obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Lukmanul Hakim, mengatakan MUI tidak pernah memberikan sertifikat halal bagi suatu merek jilbab. Yang sebenarnya mendapat sertifikasi halal dari pihaknya adalah bahan dari kerudung tersebut. Perusahaan pembuat kerudung itulah yang mengajukan pada pihak LPPOM MUI untuk mendapat sertifikasi halal.
Sehubungan dengan kontroversi yang terjadi, pengelola merek yang sempat mencantumkan logo halal MUI untuk produk jilbabnya akhirnya menarik materi iklan yang menuai polemik dan mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada publik.
Jika kita menilik dari perspektif marketing, kita dapat mengambil pelajaran penting bahwa marketing sebagai cabang ilmu bisnis yang berorientasi kepada konsumen harus benar-benar memahami dan mengetahui kebutuhan konsumen, termasuk hal-hal yang berhubungan dengan sisi emosi konsumen.
Sejalan dengan proses marketing, para marketer tetap harus memikirkan etika yang berlaku di masyarakat, baik secara hukum resmi maupun budaya, demi menghindari terjadinya kampanye marketing yang menuai respon negatif. Karena bagaimana pun, meski ada bagian-bagian dari masyarakat yang bukan bagian dari segmentasi konsumen produk, mereka secara tidak langsung turut melihat dan merasakan imbas setiap kegiatan pemasaran yang dilaksanakan.
Para marketer, meski menginginkan sorotan tinggi terhadap merek dan produk yang dikelola, tentunya menginginkan sorotan tersebut memberikan kesan dominan positif, bukan dominan negatif dan kontroversial, secara berkelanjutan di benak konsumen.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
terima kasih share infonya Mas, ada kontaknya ketua Hijabers Community Indonesia? atau kalo mau gabung dimana ya? ehhe
Fashion bikin lupa diri.
Jilbab tidak bisa menjadi tolok ukur atau kadar keimanan seseorang. Yang ada sekarang menggabungkan bisnis dengan syariat. Boleh saja. Tapi kurang etis ketika jilbab keluar dari substansi.
Perempuan muslim indonesia sudah banyak menggunakan hijab atas kesadaran menutup aurat dan trend kekinian. Ada proses perubahan kepada hal baik dari sikap dan cara berpakaian yang sopan.