Datang bersama gelombang pop culture (budaya populer) Islami, lahirlah identitas baru generasi muda Islam terkini di Indonesia.
Wanita-wanita berhijab dengan padu padan busana penuh warna mengelilingi pelataran mal di Jakarta Selatan, anak-anak remaja mendendangkan nasyid sembari berjalan menelusuri trotoar kota, televisi di sebuah restoran menayangkan iklan kosmetik menunjukkan wajah cantik dengan riasan yang ditujukan bagi muslimah.
Ya, Indonesia telah menyaksikan perubahan besar dalam pengejawantahan Islam, khususnya dalam lima belas tahun terakhir. Islam yang dulu lebih dikenal sebagai teologi per se yang para pemeluknya berpegang kepada Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW. Namun Islam di Indonesia pada era terkini di abad 21 mulai mengalami pemaknaan yang jauh lebih luas.
Islam masa kini di Indonesia menjadi lebih dari sekedar ritual religius sejak para pelaku usaha dan pebisnis menjadikannya sebagai kultur populer dalam balutan merek untuk media, budaya, dan produk-produk komersial. Sebuah kombinasi yang sebenarnya terlihat agak tidak biasa tetapi fakta lapangan menunjukkan tren kultur pop Islam yang terus meningkat.
Bukti lainnya yang dapat ditunjukkan selain yang sudah disampaikan di alinea pertama adalah ledakan publikasi buku-buku bertema Islam yang ditujukan bagi kaum muda. Kisah-kisah cinta dengan tema Islam bertebaran mulai dari novel, sinetron, hingga bioskop.
Ajang kecantikan muslimah, lomba nasyid, bahkan lomba menyanyi grup cewek dengan tema Islami pun ada! Fenomena ini, sedikit banyak harus diakui sudah membuat terkejut dan was-was sebagian komunitas Islam, khususnya golongan yang cenderung konservatif dan puritan.
Bisa jadi, inilah wajah baru proporsi terbesar pemeluk Islam di Indonesia pasca rezim almarhum mantan Presiden Soeharto. Inilah fenomena baru pemahaman Islam yang membuat Islam di Indonesia semakin penuh warna. Sepenuh warna tema-tema dalam Pameran Buku Islami yang dimulai saat krisis ekonomi tahun 1998. Dalam pameran tersebut, kita bisa menemukan tema romantis, pelajaran memasak, doa, busana, tafsir Alquran, wisata, puasa, hingga seks.
Konstruksi identitas pemuda pemudi Islam
Remaja ada di persimpangan proses pembentukan identitas sembari berpindah dari masa kanak-kanak ke masa kedewasaan dan mencoba menemukan jalan mereka keluar dari kepompong keluarga. Proses pencarian jati diri menggiring mereka untuk mencari panutan-panutan dan sumber otoritas. Akibatnya, remaja menjadi penyerap banyak hal dari pengaruh kultur populer yang berbaur dengan agama.
Konsumsi media cetak, televisi, dan tentunya internet turut kuat membentuk kepribadian para remaja Indonesia. Sering kita dengar keluhan-keluhan mereka mengenai masalah pribadi, keluarga, hingga media tempat curahan hati mereka, tetapi di saat yang sama mereka tetap lekat dan percaya bahwa media dapat menyediakan salah satu perspektif referensi yang ada di luar tradisi konvensional.
Melalui media televisi, mereka melihat dakwah-dakwah Islam dengan gaya yang relatif berbeda dengan zaman Zainuddin MZ. Kini, para pendakwah Islam lebih memperhatikan penampilan dan gaya saat menyampaikan ceramah. Karenanya bukan hal aneh jika baju koko yang biasa dikenakan salah satu pendakwah ‘selebriti’ sempat menjadi tren di kalangan anak muda.
Melalui media cetak berupa buku-buku pengembangan diri Islami, mereka belajar Islam saat mereka mengalami masalah-masalah khas remaja seperti cekcok dengan teman sepermainan, kesepian mencari dambaan hati, hingga sedih karena merasa gagal ujian.
Melalui radio, mereka mendengarkan nasyid hingga musik-musik bernuansa Islam lainnya yang racikan aransemennya sudah jauh dari tema padang pasir. Kini, mereka mendengarkan musik-musik bertema Islam dengan nuansa musik tradisional Indonesia, pop, hingga musik cadas.
Melalui internet, para pemuda dan pemudi Islam Indonesia melihat gaya para selebriti dan model dalam mengenakan hijab, abaya, baju terusan, peci, syal, hingga sepatu dengan penuh gaya. Melalui internet pula, mereka membaca kisah-kisah percintaan para pesohor yang identik dengan tampilan Islami bak opera sabun, dan bahkan disertai kisah kawin cerai dalam waktu singkat. Atau, mereka mengetahui bahwa ada para bintang yang semula begajulan menjadi lebih tertib dalam menjalani hidup dan tentunya, lebih Islami.
Muslim, muslimah, dan pemerintahan
Jika kita memperhatikan angka dan tren kultur pop Islam yang semakin bertambah kuat di Indonesia, lantas bagaimana dengan pandangan mereka terhadap pemerintahan Indonesia?
Harap diketahui bahwa bangsa Indonesia dahulu masih kuat mempraktikkan agama Islam yang berakulturasi dengan keyakinan dan kepercayaan lokal serta agama lain yang sudah eksis lebih dulu. Ambil contoh pada akhir periode Orde Lama sekitar tahun 60an, jutaan penduduk Indonesia khususnya yang tinggal di Pulau Jawa banyak yang mempraktikkan agama Islam dengan sentuhan-sentuhan khas Hinduisme dan kejawen.
Namun seiring perkembangan waktu serta tingkat pendidikan yang semakin baik, semakin banyak penduduk Indonesia meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang dirasa tidak rasional. Jumlah penduduk Indonesia yang menjadi semakin Islami terus bertambah, jumlah muslim dan muslimah yang menunaikan ibadah haji juga terus bertambah seiring perbaikan ekonomi, semakin banyak pula perempuan yang mengenakan hijab.
Apakah fenomena ini berkorelasi positif dengan pandangan bahwa politik dan pemerintahan yang benar adalah yang berlandaskan pada agama Islam?
Hal yang menarik adalah mayoritas muslim dan muslimah Indonesia terindikasi memilih memandang Islam dan melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam Islam sebagai ranah pribadi. Keengganan mayoritas pemeluk Islam membawa Islam ke ranah politik dan pemerintahan terlihat dari gagalnya berbagai usaha dalam pemilu dan gagalnya usaha menerapkan standar religius dalam institusi-institusi pemerintahan secara mayoritas. Dalam konteks pemilu, suara mayoritas sebenarnya pernah diraih partai-partai berbasis Islam pada 1955. Tetapi karakter tidak solid dan konflik internal menyebabkan perolehan tersebut tidak dapat dioptimalkan.
Dalam pemilu terakhir di tahun 2014, persentase populasi pemberi suara sah yang mendukung partai dengan warna Islam yang kuat pun hanya sekitar 31.41 persen (PPP, PKB, PKS, PAN, PBB), sebuah penurunan persentase sangat signifikan saat dibandingkan dengan pemilu 1955 yang mencapai sekitar 55 persen (Masyumi dan NU) – dengan catatan pemilu 1955 memiliki cakupan sangat terbatas dibandingkan dengan Pemilu 2014. Persentase 2014 juga secara signifikan berada di bawah persentase penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Saat dibandingkan dengan tahun 2009 dengan perolehan sekitar 27,51 persen (PKS, PKB, PPP, PBB, PAN, PKNU, PPNUI) dan tahun 2004 dengan raihan sekitar 36.91 persen (PKB, PPP, PKS, PBB, PAN, PPNUI), perolehan angka tersebut tetap menggambarkan bahwa keterlibatan pergerakan berbasis Islam dalam politik mendapat tempat yang kecil dalam benak masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
(Andika Priyandana; dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Januari 2016
Suntingan 22.04.2019: Selain suntingan minor, PAN akhirnya dimasukkan sebagai parpol Islam setelah sebelumnya para pendiri dan mantan ketua umum menyatakan bahwa PAN adalah parpol nasionalis terbuka.
Betul, jaman sekarang hijabers sudah keren2 dan modis loh *saya salah satunya #plak
terima kasih share infonya!
Saya agak sangsi dari segi etika sosial. Cinta karena budaya dan cinta karena tren beda lho.
Ping-balik: Generasi Muda Islam di Indonesia | WebLog Andika Priyandana