Layanan pelanggan yang buruk adalah salah satu hal yang membuat konsumen kita kecewa dan menyingkir.
Pada Desember 2014, harga saham Sprint Corporation anjlok cukup tajam setelah laporan kuartalan, yang menunjukkan penurunan 60% kepercayaan investor. Kemudian, survei Consumer Reports terbaru menyebut Sprint sebagai salah satu perusahaan penyedia layanan komunikasi terburuk untuk tahun kedua secara berurutan.
Padahal, Sprint Corporation sudah berusaha sebaik mungkin meningkatkan pelayanan pelanggan. Selama tiga tahun sebelumnya, Sprint menutup 99.9% keluhan pelanggan dengan Better Business Bureau (BBB), sehingga mendapatkan rating A untuk pelayanan pelanggan. Sebagai pelengkap, kampanye Sprint bertajuk “Potong Setengah Tagihan Anda” terbukti sangat efektif serta menambah 527.000 pelanggan baru dalam tiga bulan. Terakhir, Sprint masih berdarah-darah dalam melayani pelanggan pasca bayar.
Jadi, apa yang salah di sini? Mengapa terjadi hal-hal yang seakan-akan bertolak belakang?
Sprint sudah memberikan penawaran yang terlihat sangat baik bagi para konsumennya. Sprint berhasil meningkatkan kemampuan kompetitif. Namun, Sprint masih menderita penyakit fatal bernama reputasi buruk dalam pelayanan pelanggan. Mari kita telusuri kasus ini lebih mendalam dan menjadikan pelajaran untuk mencegah dan menghindari hal serupa terjadi para perusahaan kita.
Sejarah Sprint
Sepuluh tahun terakhir, Sprint sudah mencoba memperbaiki reputasi pelayanan pelanggan yang buruk sedikit demi sedikit. Langkah tersebut sebenarnya mulai menampakkan hasil. Sprint kemudian melakukan beberapa merger dalam bentuk akuisisi Nextel (2005) dan pembelian Sprint oleh Softbank (2013). Melalui langkah-langkah tersebut, diharapkan perubahan dramatis pada area yang penting bagi pelanggan, yatu harga dan kekuatan jaringan (Glenn Derene, Consumer Reports 2014).
Sebagai konsekuensi penurunan harga dan peningkatan teknologi infrastruktur, Sprint melakukan PHK terhadap lebih dari 2.700 petugas kontak pelanggan dan 330 teknisi, termasuk juga penutupan 55 toko ritel. Laba pun tercipta, termasuk terciptanya persepsi masyarakat jika Sprint lebih peduli dengan dirinya daripada para pelanggan.
Sprint menyadari keadaan tersebut dan sudah mencoba membalikkan persepsi publik beberapa kali. Antara lain dengan pengumuman pergantian presiden perusahaan dan direktur perusahaan, Marcelo Claure. Sayangnya meski sudah melakukan langkah tersebut, Consumer Reports tetap meletakkan Sprint dalam daftar perusahaan dengan pelayanan pelanggan terburuk dalam industri telekomunikasi selama dua tahun berturut-turut.
Per 2015, Sprint juga mengalami level migrasi pelanggan pasca bayar tertinggi ke penyedia telekomunikasi lainnya. Setara dengan hilangnya 272.000 pelanggan hanya dalam tiga bulan.
Kesalahan fatal pelayanan pelanggan
Berdasarkan penelusuran, berikut ini kesalahan-kesalahan fatal yang menyebabkan Sprint ada pada papan bawah dan mengambil momentum pada arah yang salah.
Pertama, memotong biaya dengan mengurangi jumlah pegawai dukungan pelanggan. Salah satu area kunci yang menyebabkan Sprint berhasil meningkatkan pendapatan adalah PHK staf dukungan pelanggan. Sayangnya yang diPHK adalah petugas garda depan penciptaan pengalaman pelanggan berkesan.
Kedua, layanan back-end. Pada 2012, J.D. Power and Associates, menghargai Sprint sebagai perusahaan dengan Best Customer Buying Experience dalam dunia industri telepon, menunjukkan pelayanan front-end yang prima kepada konsumen. Tetapi, level migrasi pelanggan pasca bayar sebesar 2.18% mengindikasikan layanan back-end yang kurang diperhatikan.
Ketiga, merger membawa masalah. Usaha Sprint memperkuat diri melalui akuisisi ternyata menggiring pada berkurangnya kepuasan pelanggan. Berdasar survei J.D. Power Customer Experience pada 2013, Sprint terjatuh ke peringkat tiga, antara lain disebabkan pergantian pimpinan perusahaan (hasil dari merger dengan Softbank dan akuisisi Clearwire) yang berpengaruh terhadap pelayanan pelanggan.
Keempat, keluhan daring. Menurut survei Dimensional Research, 86% responden menyatakan bahwa komentar negatif di dunia daring berpengaruh terhadap keputusan pembelian mereka. Sprint memberikan perhatian yang rendah terhadap keluhan-keluhan di internet.
Kelima, melupakan basis. Meski Sprint sudah merekrut pelanggan baru secara aktif, insentif kurang tersedia bagi para pelanggan lama, yang kemudian meningkatkan level migrasi dan menghasilkan penurunan jumlah pelanggan pasca bayar.
Keenam, stigma harga yang berpusat pada perusahaan. Harga adalah titik menyakitkan bagi konsumen Sprint. Informasi yang menyebabkan Sprint menurunkan harga beberapa waktu terakhir. Meski demikian, Sprint tidak mampu berkompetisi dengan model berpusat pada konsumen seperti yang ditunjukkan program T-Mobile “Un-carrier”, yang menyediakan konsumen kebebasan tanpa kontrak dan tanpa biaya penghapusan.
Lari sprint menuju solusi pelayanan pelanggan
Bisnis yang merendahkan pentingnya pelayanan pelanggan ditakdirkan kehilangan keunggulan kompetitif mereka. Membangun pelayanan pelanggan bisa sia-sia jika persepsi konsumen luput dari perhatian. Berikut ini beberapa solusi yang diharapkan bisa menghindari kasus Sprint dan menciptakan kesempatan komentar positif pelanggan.
Pertama, perhatikan dunia internet. Jangan remehkan komunikasi dunia internet. Jika perlu, dedikasikan karyawan untuk mengelola gelombang negatif di internet. Jadilah jujur dan mudah dihubungi dalam forum internet.
Kedua, berinvestasi pada perilaku yang berpusat pada konsumen. Hindari fokus hanya pada pendapatan. Lakukan investasi pada pelatihan yang membawa pengalaman pelanggan berkesan. Pastikan setiap level di perusahaan kita menjadikan konsumen sebagai prioritas.
Ketiga, buat perubahan dengan mengutamakan konsumen di dalam pikiran. Utamakan keberlangsungan mulus pengalaman pelanggan jauh mendahului perubahan organisasi. Lakukan proses secara transparan yang membuat mereka merasa aman dan percaya diri.
Keempat, bangun integritas merek. Seringkali persepsi konsumen negatif timbul karena perasaan tidak adanya kehadiran bagian dari perusahaan dalam menangani keluhan pelanggan. Ciptakan citra jujur, bersahabat, dan berpusat pada konsumen, meski konsumen tidak melihatnya.
Kelima, revitalisasi citra. Saat persepsi negatif muncul, lakukan langkah agresif mendesain ulang citra. Akui kesalahan masa lalu dengan jujur dan sediakan insentif untuk menciptakan rasa percaya yang positif. Buat konsumen merasa mereka menjadi prioritas.
Seburuk apa pun reputasi perusahaan, selalu ada jalan kembali memenangkan hati konsumen. Jangan lambat dalam mengambil jalan menuju pencerahan. Dengan perhatian mendalam terhadap kepuasan pelanggan dan investasi penciptaan konsistensi merek, kita bisa mengubah persepsi publik yang penuh racun menjadi pahlawan yang berpusat pada konsumen.
(Andika Priyandana; sumber: avidian.com)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Service Excellence edisi Oktober 2015