Amsterdammer (Penduduk Amsterdam) itu pemaaf, heroik, terbuka, aktif, artistik, blak-blakan, penuh humor, melawan otoritas, dan… agak anarkis.
Amsterdam dikenal sebagai kota ‘sex, drugs, and rock-and-roll’ sejak akhir dekade 60an. Namun jangan pernah berpikir bahwa stigma generasi bunga tersebut masih melekat di era modern. Kini, Amsterdam adalah merek yang sangat menarik di mata pebisnis dan turis. Selain urusan bisnis dan wisata, Amsterdam memiliki DNA toleransi tingkat tinggi dan sikap liberal yang bisa membuat gegar budaya bagi yang jarang hidup beraneka warna.
Masih ada lagi tentang Amsterdam. Pada Agustus 2010, Distrik Kanal Amsterdam yang berawal usia di abad 17 dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Kota tersebut juga dikenal sebagai ikon internasional perencanaan kota dan arsitektur.
Jika informasi tersebut dirasa kurang, Amsterdam juga rutin masuk daftar berbagai versi kota terbaik dunia, antara lain Anholt-GfK Roper City Brands Index (baca: Merekayasa Kota Melalui Strategi Merek), Saffron European City Brand Barometer, dan Creative City International – The Vitality Index.
Jelas bahwa Amsterdam memiliki modal yang sangat kaya dari sisi warisan budaya maupun kontur alam untuk melakukan city branding. Moto ‘I amsterdam’ pun tersemat sejak September 2004 dan menjadi contoh kasus kesuksesan city branding dan city marketing di berbagai literatur penelitian bisnis dan tata kelola pemerintahan kota.
Lahirnya I AMsterdam
Ya, itu bukan salah ketik. I AMsterdam atau I Amsterdam adalah bentuk penulisan yang rutin kita baca saat mempelajari city branding ala Amsterdam. Proses munculnya moto tersebut tidak muncul begitu saja. I Amsterdam adalah cerita yang berproses dan inilah kisahnya.
Langkah Pertama: Riset Pasar. Tingkat kepentingan riset sebagai langkah pertama proses marketing telah disebut di semua literatur city branding dan city marketing. Pemangku kepentingan dan pengelola Amsterdam mengetahui bahwa di awal abad 21, kota tersebut perlahan tergeser dari posisi puncak untuk urusan tujuan wisata, kegiatan konvensi, dll.
Meningkatnya persaingan dengan berbagai kota lain di Eropa, khususnya Barcelona, Berlin, Dublin, dan Rotterdam menyadarkan perlunya penyegaran merek Amsterdam.
Dari hasil studi, diketahui bahwa Amsterdam kurang menonjolkan kelebihan dan nilai-nilai utama yang dimiliki, antara lain kreativitas (creativiteit), inovasi (innovatie), dan semangat perdagangan (handelsgeest).Ketiga nilai tersebut ditentukan setelah menciptakan profil kota Amsterdam yang terbagi menjadi 16 bagian. Pada diagram jaringan grafis dapat terlihat persepsi awal kota (merah) dan perubahan persepsi yang diinginkan setelah melakukan kegiatan pemasaran (hitam).
Langkah Kedua: Pembentukan Visi.
(1) Kota budaya;
(2) Kota kanal;
(3) Kota pertemuan;
(4) Kota pengetahuan;
(5) Kota bisnis;
(6) Kota tinggal
Keenam hal di atas adalah dimensi-dimensi prioritas Amsterdam. Dari keenam dimensi tersebut terlihat bahwa Amsterdam lebih dari sekedar kota seks, obat, dan kanal. Amsterdam juga tempat yang hebat untuk hidup dan bekerja. Maka perlu ada moto merek yang percaya bahwa merek Amsterdam tidak hanya menyorot aset-aset kota, tetapi sekaligus katalis perubahan kota yang riil.
Langkah Ketiga: Grup Audiens yang Dituju. Perlu ada konsep merek bervariasi yang menarik bagi ketujuh tipe audiens yang dipilih, antara lain:
(1) Pengambil keputusan bisnis perusahaan-perusahaan internasional;
(2) Penyedia jasa logistik;
(3) Pelaku sektor kreatif (perusahaan desain, media penyedia konten, desainer, TIK, busana);
(4) Pekerja berpengetahuan;
(5) Penjelajah kota yang aktif dan tertarik dengan atmosfer kota besar Amsterdam;
(6) Pengunjung internasional antara lain turis asing dan partisipan acara yang tertarik dengan fasilitas Amsterdam dan sekitarnya;
(7) Penduduk kota Amsterdam dan sekitarnya sebagai para duta besar kota.
Merek Amsterdam dan kegiatan marketing yang dilakukan harus menonjolkan karakter intrinsik yang sangat sulit dibedakan di antara grup audiens pengguna kota. Namun, tetap terasa konsensus bersama yang menjadi asosiasi pertama Amsterdam dan menjadi kondisi awal untuk beranjak ke tahap berikut yang menjadikan penduduk percaya dengan nilai-nilai inti kota, merasakan ruh kota, bangga dengan kota.
Merek dan moto Amsterdam berarti mengundang kita menjadi bagian darinya. Saya Amsterdam (I amsterdam) dan Anda juga dapat menjadi bagian darinya!
Langkah Keempat: Menyusun Kegiatan Marketing. Mengorganisir kegiatan pemasaran dan merek kota adalah keputusan besar, tidak hanya dari perspektif konsep bauran pemasaran tetapi juga dari konsep pengembangan merek kota (Kavaratzis, 2004). Maka, dibentuk koordinator utama kegiatan marketing Amsterdam yang kepemilikannya dibagi antara pemerintah dan pihak swasta. Entitas ini disebut Amsterdam Partners.
Langkah Kelima: Implementasi. Setelah Amsterdam Partners dibentuk dan strategi utama ditentukan, Amsterdam Partners segera berhadapan dengan “masalah” menjadikan konsep menjadi kebijakan dan proyek riil. Keputusan yang kemudian diajukan adalah 6 Proyek Utama Pemasaran Kota, yang salah satunya adalah kampanye merek. Kesemua proyek didesain saling mendukung dan terintegrasi satu sama lain, dengan tujuan utama memasarkan Amsterdam.
Keenam Proyek Utama Pemasaran Kota Amsterdam tersebut adalah acara dan festival, ramah tamah, kebijakan pers internasional, portal internet baru, Proyek Mutiara, dan kampanye merek.
Langkah Keenam: Evaluasi. Sebuah model evaluasi diciptakan, sehingga kontribusi-kontribusi aktivitas marketing di masa depan dapat diukur dan tujuan-tujuan terukur terhubung dengan ketujuh grup audiens yang dituju. Kemudian, diagram jaringan yang menggambarkan asosiasi dan citra Amsterdam akan diperbarui setiap empat tahun, dengan tujuan melacak perubahan dan preferensi karakteristik kota.
Apakah I AMsterdam Bekerja Baik?
Jawabannya ya. Berbagai pengukuran menunjukkan naiknya jumlah turis, bisnis berjalan baik, dan Amsterdam kembali meraih posisi Lima Teratas Kota Eropa yang berbasis pada kekuatan merek dan aset-aset budaya. Bahkan, nilai merek Amsterdam sebenarnya jauh lebih baik dari perhitungan semula.
Buktinya? Perhatikan orang-orang Indonesia atau non-Indonesia yang kita kenal saat mengunjungi Amsterdam. Perhatikan tulisan di blog dan foto-foto mereka yang diunggah di jejaring sosial. Umumnya, kita akan melihat huruf-huruf tiga dimensi setinggi dua meter berwarna merah dan putih yang melafalkan moto merek Amsterdam.
Tiada lain tiada bukan huruf-huruf tiga dimensi tersebut adalah I amsterdam. Satu set permanen I Amsterdam terpampang di depan identitas kota yang popular, Rijksmuseum. Huruf-huruf tersebut dipasang pada 2005 dan kini, figur tersebut menjadi fasilitas kota yang paling sering difoto. Amsterdam Partners memperkirakan lebih dari 8000 kali figur I amsterdam difoto saat hari cerah. Sebuah contoh inovatif yang mengeksploitasi kekuatan C2C (consumer-to-consumer) marketing.
Set kedua I amsterdam menyambut para pengunjung Bandara Schiphol Amsterdam; sementara set ketiga I amsterdam berkeliling kota Amsterdam dan muncul saat acara-acara besar kota diadakan. I amsterdam sudah menjadi bagian kota dan bagian dari pengalaman turis yang mengunjungi Amsterdam.
Sebagai efek popularitas, I amsterdam terus muncul dan menyebar di jejaring internet melalui blog, majalah daring, situs berbagi foto, dan penelusuran gambar Google. I amsterdam tidak sekedar menjadi identitas budaya; I amsterdam sudah menjadi ikon penunjuk kota.
Gambaran perilaku ini menunjukkan fakta bahwa para pengunjung kota Amsterdam sangat tertarik mengabari teman-temannya mengenai keunikan dan kreativitas Amsterdam. Para pengunjung ini telah melakukan city branding dan city marketing positif secara sukarela. Huruf I amsterdam telah menciptakan kesan yang melekat erat di pikiran orang-orang yang sudah bersentuhan dengan Amsterdam.
Pelajaran I AMsterdam
City branding adalah kisah berproses yang tidak dapat dan terlarang diimplementasikan secara parsial. City branding membutuhkan konsistensi tindakan, kesamaan konsensus dalam menyampaikan pesan, keseragaman komunikasi, dan waktu mencukupi untuk mendapatkan hasil memuaskan.
Artikel ini telah bercerita mengenai proses pembentukan merek kota Amsterdam, serta berfokus pada langkah-langkah yang mendahului kampanye periklanan. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan menonjolkan pentingnya pengukuran-pengukuran yang memberikan pengaruh dan membentuk merek sebuah kota. Inilah inti dari kesuksesan city branding kota Amsterdam.
(Andika Priyandana, dari berbagai sumber)
Catatan: Versi tersunting artikel ini telah dimuat di Majalah Marketing edisi Agustus 2015
Wow keren om, jadi pengen berwisata juga ne
27 Juli 2016?
Lo jeli 🙂
Yang betul 2015. Soalnya buat Majalah Marketing edisi Agustus 2015 🙂